“Indonesia Negara Hukum” Hanya Teks Mati di UUD 1945?

“…Bayangkan, pemerintah, DPR, tidak menghargai lembaga yang dibuat oleh konstitusi. Dalam hal tertentu, bahkan adaย hakim MK yang di-recall oleh DPR. Jadi memang pejabat kita enggak menghormati (status negara hukum Indonesia),”

โ€”Ketua YLBHI, Muhammad Isnur

“Negara Indonesia adalah negara hukum”. Demikian bunyi Pasal 1 ayat 3 konstitusi tertinggi di negeri ini, Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Negara hukum, berarti seluruh aspek kehidupan berbangsa dan bernegara, juga penyelenggaraan pemerintahan di negeri ini didasarkan pada aturan hukum, bukan kehendak perorangan atau kelompok.

Supremasi hukum semestinya menjadi sesuatu yang ditaati, kepastian yang tak bisa ditawar apalagi dilobi. Namun, masihkah hukum menjadi panglima di negeri ini? Atau jangan-jangan, ia hanya sekadar menjadi teks mati yang tertulis di konstitusi?

Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur membagikan pandangannya mengenai Indonesia negara hukum bersama Budiman Tanuredjo dalam siniar Back to BDM.

Diskusi diawali dengan penilaian Isnur soal penegakan hukum di Indonesia, yang menurutnya sangat buruk dan tidak mengalami perkembangan dari tahun ke tahun.

Mengacu pada sejumlah survei, misalnya dari World Justice Project dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas), poin untuk penegakan hukum di Indonesia dari tahun ke tahun stag di angka 3-4 dari nilai maksimal 10.

“Terutama yang paling buruk itu di angka misalnya hukum acara pidana, bagaimana orang ditangkap semena-mena, bagaimana pemerintah menghargai konstitusi, bagaimana pemerintah menghormati hukum yang ada, itu sekitar itu (3-4 dari 10),” kata Isnur.

Tingkat kepuasan publik terhadap penegakan hukum juga seringkali menempati posisi terbawah. Padahal kembali lagi, konstitusi telah menuliskan Indonesia merupakan negara hukum. Tapi kualitas penegakan hukum masih belum bisa dikatakan baik.

“Dia (teks konstitusi) akhirnya hanya sekedar tertulis di kertas,… dead letter,” ucapnya.

Isnur menjelaskan, ada sejumlah hal yang tidak beres dari keadaan hukum dan cara kita memosisikan hukum di Indonesia.

Pertama, banyak poin dalam berbagai undang-undang (UU) yang bertentangan dengan UUD 1945 sebagai sumber hukum tertinggi yang harus dirujuk oleh semua produk hukum di bawahnya, termasuk UU. Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai lembaga yang bertugas memastikan UU sesuai dengan UUD 1945, banyak membatalkan UU yang dibuat oleh DPR dan presiden.

Ini terkait dengan masalah kedua, yakni aparat pemerintahan yang memiliki pemahaman, penguasaan, dan penghormatan yang buruk terhadap negara hukum. Terlihat dari bagaimana DPR menolak putusan MK yang menganulir UU yang mereka susun. Padahal MK merupakan lembaga tertinggi yang diberi kewenangan untuk menguji UU, sesuai dengan aturan konstitusi.

“Anggota DPR, partai, pemerintah, terus menentang putusan konstitusi. Dan bilang bahwa putusan MK bertangan dengan UUD ’45. Ini lucu banget. Bayangkan, pemerintah, DPR, tidak menghargai lembaga yang dibuat oleh konstitusi. Dalam hal tertentu, bahkan ada hakim MK yang di-recall oleh DPR. Jadi memang pejabat kita enggak menghormati (status negara hukum Indonesia),” jelas Isnur.

Bagi pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu, hal Ini menunjukkan betapa anggota DPR tidak menghormati MK, konstitusi, dan sistem yang berlaku, sekaligus menunjukkan betapa DPR tidak mau diatur dengan prinsip pemisahan kekuasaan.

Kekuasaan terkait undang-undang di negeri ini memang tidak absolut diberikan pada satu lembaga, melainkan dibagi-bagi. DPR diberi kekuasaan untuk membuat UU, MK menguji UU terhadap UUD 1945,  pemerintah dalam hal ini presiden beserta jajarannya menjalankannya, dan untuk pengawasan dilakukan oleh gabungan lembaga meliputi DPR, MK, dan Komisi Yudisial (KY).

“Itu menurut saya karakter otoritarian, di mana dia (DPR) mau membuat, dia berkuasa, tapi enggak mau diatur. Padahal dia sendiri atau mereka sendiri sejak awal membuat (UU) enggak pakai aturan. Maksudnya tergesa-gesa, terburu-buru, banyak kekurangan sana-sini,” jelas Isnur.

Isnur membaca, DPR merasa kehadiran MK yang merupakan produk hasil reformasi, hanya mengganggu hasrat kekuasaan mereka. Karena, setiap UU yang DPR buat, khususnya yang memuat pasal-pasal yang mendukung kekuasaan mereka, selalu dibatalkan oleh MK.

Budiman Tanuredjo berbincang dengan Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam Back to BDM.

Kemudian masalah yang ketiga, adalah masyarakat yang memiliki indeks literasi dan kesadaran hukum yang sangat rendah tentang hukum.

Isnur berharap agar masyarakat paham apa saja hak-hak yang dimilikinya di bidang hukum. Jangan sampai hak mereka dirampas, hak mereka dicederai, namun mereka tidak menyadarinya.

Salah satunya adalah hak untuk bersuara dalam proses perumusan undang-undang, atau aturan hukum lainnya. Setiap warga negara memiliki hak konstitusi yang sama untuk menyatakan dukungan atau rasa keberatan terkait keputusan yang dibuat oleh negara, dan negara harus memberi ruang untuk suara tersebut bisa disampaikan dan dipertimbangkan.

Belum lama ini, ada salah seorang anggota DPR dan sejumlah menteri kabinet mengatakan di persidangan MK yang tengah membahas UU TNI, bahwa ibu rumah tangga dan mahasiswa tidak memiliki legal standing untuk menggugat RUU TNI, karena mereka bukan bagian dari TNI dan tidak memiliki keterkaitan dengan TNI.

Isnur menyebut hal itu sangat memalukan disampaikan oleh DPR dan seorang menteri di bidang hukum. Apakah mereka tidak tahu bahwa sejak 2003 MK berdiri, lembaga itu terbuka memfasilitasi seluruh warga negara yang ingin menguji undang-undang tentang apapun itu.

Tapi, bagi Isnur hal “memalukan” itu hanya taktik untuk mengalihkan pembahasan agar tidak menyentuh substansi.

“Mereka mencoba menutupi kekeliruannya dengan menyerang, kill the messenger, (menyebut) warga negara enggak punya hak, itu sebenarnya dia tidak punya dalil substansi,” ungkap Isnur.

Hal ini sebagaimana terjadi di awal-awap MK berdiri, saat DPR dan pemerintah masih belajar bersidang di MK.

“Itu sama persis, semua menteri yang datang, DPR yang datang seperti ini. Ndilalah kok 2025 masih seperti ini juga argumentasinya. Itu menurut saya tidak berkembang pengetahuan dan aspek penghormatan hukum di pemerintah dan DPR,” sebutnya.

Terkait legal standing, Isnur menegaskan dalam UU MK disebutkan, semua warga negara yang dirugikan hak konstitusionalnya oleh undang-undang tertentu, memiliki legal standing yang sama untuk mengajukan pengujian UU terkait di MK.

Apalagi UU TNI, pasal-pasal di dalam UU itu tidak hanya berdampak pada para TNI atau pihak-pihak yang terkait, tapi seluruh masyarakat Indonesia. Jadi, tidak semestinya DPR dan Menteri Hukum mengalienasi kelompok masyarakat tertentu dan menyebutnya tidak memiliki legal standing untuk mengujinya di MK.

Hal lain, masyarakat memiliki hak untuk turut berpartisipasi dalam setiap pembahasan UU, dan hak itu selama ini tidak diberikan secara penuh dan baik oleh lembaga pembuat UU. Padahal UU yang dibuat akan berlaku dan berdampak bagi seluruh masyarakat, tanpa terkecuali.

“Ketika prosesnya dipotong, prosesnya tersembunyi, prosesnya ugal-ugalan, maka itu kerugian semua orang. Kerugian mahasiswa, anak yang baru lahir bahkan, karena setiap undang-undang berdampak ke dia. Misalnya, kalau ada penyalahgunaan TNI oleh kekuasaan karena undang-undangnya tidak benar, yang rugi masyarakat semuanya. Karena masyarakat bayar pajak, masyarakat punya hak sebagai supremasi sipil, masyarakat punya hak untuk TNI yang profesional. Jadi menurut saya itu sangat keliru,” jelas Isnur.

Tapi, dalil mahasiswa dan ibu rumah tangga tidak memiliki legal standing untuk menggugat UU TNI karena tidak memiliki keterkaitan, nampaknya tidak berlaku pada kasus uji materi batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden beberapa tahun lalu yang juga diakukan oleh seorang mahasiswa.

Semua proses berjalan lancar dan “tidak diganggu” oleh kekuasaan, hingga gugatan dikabulkan, batas usia capres dan cawapres berhasil diturunkan dari 40 menjadi 35 tahun dan meloloskan Gibran Rakabuming Raka melaju sebagai wakil Prabowo Subianto ketika itu.

Dengan singkat Isnur menyebutnya sebagai standar ganda. Mengapa mahasiswa tidak boleh menggugat UU TNI, sementara mahasiswa lain boleh menggugat batas usia capres cawapres? Keduanya padahal sama-sama tidak memiliki kepentingan langsung dengan materi yang diujikan.

Negara memang seharusnya bersikap demikian, membiarkan siapapun untuk turut terlibat dalam proses pembuatan aturan yang akan berlaku secara menyeluruh di masyarakat. Tidak membeda-bedakan. Tidak berlaku pengelompokan kelas utama atau kedua untuk didengar dalam proses pembahasan aturan hukum, termasuk undang-undang. Semua memiliki hak yang sama, semua wajib didengar suaranya.

Indonesia memasuki era otoritarianisme

Melihat bagaimana kekuasaan dan hukum diperlakukan di negeri ini, Isnur yakin menyimpulkan bahwa Indonesia sudah meninggalkan era demokrasi dan masuk ke sistem otoriter, meski tidak mutlak menerapkan prinsip-prinsip otoritarianisme.

Perhatikan bagaimana DPR membuat undang-undang. Publik tidak dilibatkan secara maksimal dalam pembahasannya, merek tidak diberi ruang untuk menyuarakan kepentingannya. Pembahasan rancangan undang-undang selalu dilakukan secara tertutup, tidak ada draft resmi yang dipublikasikan sehingga bisa menjadi rujukan publik untuk menilai.

Lebih gamblang, bagaimana anggota DPR dalam hal ini dari Fraksi PDIP, Bambang Pacul mengatakan, keputusan soal undang-undang tidak ada di tangan mereka yang notabene hanya “korea-korea” alias kroco-kroco, melainkan ada di tangan para pimpinan partai politik.

“Itu kan mengerikan. Anda DPR, Anda fraksi, Anda Komisi III, urusan undang-undang di depan Pak Mahfud bilang begitu. Artinya apa, undang-undang diputuskan oleh segelintir orang, itu cirinya apa, cirinya otoritarian,” tegas pria yang menyelesaikan pendidikan magisternya di Universitas Pancasila itu.

Belum lagi bagaimana ketika ada anggota DPR yang mengaku capek mengetahui UU yang mereka buat kerap dianulir MK. Isnur melihatnya betapa para legislatif itu tidak mau menjadikan hukum sebagai panglima negara. Yang merek inginkan adalah hukum ada di bawah kekuasaan mereka. Mereka kendalikan hukum.

Maka kita bisa memahami, mengapa DPR me-recall atau menarik mundur hakim yang mereka usung di MK, bahkan DPR berulang kali merevisi UU tentang MK.

“Pernah ada satu masa Undang-Undang MK direvisi hanya dalam 7 hari. Diubah tuh usia hakimnya, diperpanjang, diperpendek. Jadi bukan substansi, tapi bagaimana kekuasaan itu menskemakan agar hakim MK sesuai dengan kehendak saya. Itu yang mengerikan. Jadi hukum ini bukan rule of law, tapi rule by law. Hukum dipakai untuk kekuasaan,” ungkap Isnur.

Inilah yang kemudian dikenal dengan istilah autocratic legalism, di mana hukum dijadikan sebagai alat legitimasi untuk kehendak kekuasaan.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam Back to BDM.

Sejak kapan Indonesia masuk ke era oritarian?

Isnur menyebutnya YLBHI sudah mendeteksi sejak tahun 2015. Penjelasannya, ketika itu terbit Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 78 Tahun 2015 yang mengatur upah buruh berdasarkan laju inflasi, padahal dalam UU Kerenagakerjaan, besaran upah didasarkan pada hasil survei kebutuhan hidup layak.

“Lah, gimana ceritanya PP menentang undang-undang. Itu sudah 2015 kami temukan polanya,” ujarnya.

Contoh lain terjadi pada UU TNI. Dalam UU itu disebutkan hanya ada 10 jabatan sipil yang bisa diisi oleh anggota aktif TNI. Tiba-tiba, Ketua Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) yang tidak masuk dalam 10 jabatan dalam UU, dijabat oleh anggota TNI yang masih aktif.

Untuk mendukung langkah itu dibuatlah Peraturan Presiden (Perpres). Lagi-lagi, di sini terjadi hukum yang lebih rendah bertentangan demgan hukum di atasnya. Perpres bertentangan dengan UU.

Itu di level peraturan hukum atau konstitusi, di level masyarakat juga terdapat ciri-ciri yang menunjukkan betapa Indonesia ini sudah bukan lagi negara yang menjunjung tinggi nilai demokrasi.

Isnur mencontohkan bagaimana masyarakat yang kritis selalu dikriminalisasi, dicari-cari pasal untuk bisa membungkam dan menghentikan kritisisme yang mereka suarakan.

Misalnya, ada dua orang di Indramayu, Jawa Barat yang khawatir akan dampak penggunaan batu bara dalam pembangunan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) bagi lingkungan mereka.

Dalam sebuah upacara, mereka mengibarkan bendera Merah Putih, namun secara tidak sengaja terbalik.

“Mereka dipidana dengan undang-undang bendera, dianggap menghina bendera. Padahal mereka mencintai Merah Putih. Dicari-cari pasalnya,” kata Isnur yang pada saat itu mendampingi mereka.

Kasus lain, masyarakat di Pulau Kodingareng, Sulawesi Selatan yang menolak kegiatan penghisapan pasir laut yang merusak wilayah pantainya, justru dikriminalisasi dengan pasal perusakan rupiah.

Pasalnya mereka diberi amplop oleh perusahaan yang berkepentingan, mereka merobek amplop itu sebagai bentuk penolakan. Tanpa diketahui, di dalamnya terdapat lembaran rupiah yang turut tersobek.

“Jadi sehari-hari masyarakat menghadapi pasal, dicari untuk menjerat mereka. Bahkan bila perlu ada rekayasa untuk membuat seolah mereka melakukan kesalahan. Jadi di level atasnya, hukum dibuat untuk mengendalikan kebijakan. Di level bawah, aparat-aparat ini melakukan kriminalisasi dengan nyari-nyari pasal. Kalaupun pasalnya enggak ada, di diada-adain deh,” papar Isnur.

“Misalnya sekarang ada politisi yang karena kalah pemilihan presiden, sekarang tiba-tiba didakwa, itu banyak kan kayak begitu. Jadi di level atas bawah itu kena semua sekarang,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *