Indonesia Menuju “Republic of Fear”

“…70 persen warga menyatakan takut berbicara. Kalau berbicara saja sudah takut, bagaimana mau mengubah. Padahal berbicara kan gerbangnya demokrasi. Inti dari negara demokrasi itu kan kebebasan berekspresi. Kalau berekspresi saja dihambat, gimana mau ada demokrasi?”

โ€”Ketua YLBHI, Muhammad Isnur

Tahun ini, Indonesia akan berusia 80 tahun. Semua berharap semakin matang angka usia suatu negara, maka akan semakin stabil tatanan politik dan sosial di dalamnya. Sayangnya, negeri ini masih harus berjuang dan memiliki pekerjaan rumah di berbagai lini yang harus segera dicarikan solusi.

Bersama Budiman Tanuredjo, Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur mendiskusikan sejumlah hal yang masih mengganggu jalan Indonesia menuju negara yang mapan, khususnya mapan secara politik dan sosial.

Benarkah Indonesia menjadi republik yang rakyatnya hidup dalam rasa ketakutan karena sistem politiknya dan pemerintahannya?

Diskoneksi DPR dengan Konstituennya

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) adalah lembaga negara yang diisi oleh 500 sekian orang yang berasal dari partai-partai politik. Mereka pada hakikatnya merupakan representasi atau wakil dari masyarakat dari tiap daerah di tataran pusat, karena dipilih secara langsung melalui proses pemilihan umum.

Melihat posisinya sebagai wakil rakyat, DPR semestinya memiliki koneksi yang baik dengan masyarakat, khususnya anggota dengan para konstituen di daerah asalnya. Sayangnya hal itu tidak terjadi di Indonesia saat ini.

Dalam siniar Back to BDM, Isnur melihat masih ada diskoneksi antara wakil rakyat dengan rakyat yang diwakilinya.

Misalnya dalam perumusan undang-undang, anggota DPR lebih mengedepankan kehendak pimpinan partai politik, ketimbang kepentingan masyarakatnya. Hal ini bisa terlihat dari pengakuan salah satu anggota DPR dari PDIP, Bambang Pacul, yang menyebut jika ada pihak yang ingin melobi undang-undang, maka jangan datang ke anggota DPR, tapi pada ketua umum-ketua umum partai mereka.

Anggota DPR telah kehilangan otonomi individualnya, dan DPR telah kehilangan otonomi kelembagaannya.

“Kia tidak melihat lagi urgensi kepentingan masyarakat di dalam perbincangan mereka buat undang-undang. Urgensinya adalah apakah ndoro pemilik partai setuju apa tidak. Itu situasi yang mengerikan. Berarti negara ini bukan dipimpin oleh demokrasi, dipimpin oleh kartel. Kartel para pemimpin partai,” kata Isnur.

Tentu tidak semua anggota DPR pasif. Dalam beberapa kesempatan, ada anggota DPR yang kritis memperjuangkan suara rakyat. Sayangnya, posisinya justru digeser ke komisi lain sehingga tak lagi bisa bersuara lantang terkait isu tertentu.

Isnur melihat anggota DPR yang kritis justru dibungkam di ruang parlemen oleh partainya sendiri. Jika tidak sesuai kehendak pimpinan partai, maka akan direposisi. Dan kejadian semacam ini ia amati sudah berlangsung sejak sekitar tahun 2006.

“Jadi ikatannya anggota DPR sudah enggak lagi bersama rakyat, sudah enggak lagi bersama lembaga parlemen, tapi dengan partainya,” ujar alumni UIN Syarif Hidayatullah Jakarta itu.

Hubungan antara anggota DPR dan rakyat hanya terjadi di masa kampanye saja. Ketika suara telah didapat, keduanya tak lagi terkoneksi, karena di banyak kejadian, saluran-saluran yang ada untuk jalur komunikasi antara keduanya terhambat atau sengaja dimampatkan.

Terbukti dari tidak adanya keterlibatan publik yang proporsional dalam tiap agenda pembahasan undang-undang. Misalnya UU Omnibuslaw Cipta Kerja, yang padahal dampaknya langsung dirasakan oleh masyarakat secara luas.

Akhirnya, masyarakat tidak berkesempatan untuk bicara dan mengakses keputusan politik yang dirumuskan para wakilnya di DPR.

DPR Kurang Terbuka…

Masalah lain, masyarakat juga tidak banyak tahu tentang undang-undang yang tengah digodok di DPR, karena minimnya aspek keterbukaan informasi dari lembaga itu.

Selain draft yang tidak pernah diberikan secara terbuka, proses pengerjaan yang sangat singkat juga membuat masyarakat kesulitan mempelajari rancangan undang-undang yang akan diterbitkan DPR.

“Jadi problem keterbukaan di parlemen, problem mereka enggak terbuka ke seluruh rakyat Indonesia menyebabkan masyarakat juga enggak punya kesempatan memahami apalagi ngasih masukan,” sebut Isnur.

Ketika ada masyarakat atau organisasi kemasyarakatan yang mencoba menyampaikan pandangannya, mereka justru “dibantai” oleh anggota DPR di forum. Mereka disebut tidak tahu apa-apa, bukan siapa-siapa, sehingga diminta untuk mempercayakan sepenuhnya kepada para legislator saja.

Budiman Tanuredjo berbincang dengan Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam Back to BDM.

Pengajar di Sekolah Tinggi Hukum Jentera itu menyebut pemilu yang selama ini berlangsung hanya bentuk formalitas saja, demi memenuhi syarat negara demokratis yang melibatkan rakyat dalam urusan politik. Sayangnya, rakyat hanya dilibatkan di tahap pemilihan saja, tidak lebih.

Kandidat yang mereka pilih di bilik suara, belum tentu akan memerjuangkan kepentingan mereka di Senayan ketika sudah berhasil terpilih.

“Jadi kayak beli putus, masyarakat dibeli suaranya, setelah itu putus,” sebut dia.

Semua masalah ini berakar pada sistem di parlemen itu sendiri dan juga di internal partai politik yang belum ideal.

“Kita harus serius membahas ruang politik ini agar dia menjadi kembali milik rakyat, menjadi milik publik, bukan milik segelintir orang yang memiliki partai,” serunya.

DPR juga kini tak lagi menjadi wadah yang di dalamnya dipenuhi pertarungan gagasan antar anggota demi mencapai hasil terbaik bagi kepentingan rakyat. DPR tak lagi aktif menncari formulasi penyelesaian masalah dengan semangat konstitusi dan negara hukum.

Sebaliknya, DPR justru menjadi ruang kontestasi. Siapa bisa membayar berapa. Itulah yang menjadi dasar pengambilan keputusan kebijakan di Senayan sana.

“Kalau ada keputusan apa, make a deal-nya berapa? itu kan dalam banyak temuannya KPK seperti itu anggota DPR yang ditangkap. Banyak temuan KPK, ditangkap anggota DPR berkompromi, berkontestasi untuk itu,” ujar Isnur.

Kekuasaan Absolut

Sejak Presiden Prabowo Subianto terpilih bersama koalisi super besar yang mendukungnya, pernyataan bernada anti oposisi beberapa kali dinyatakan di ruang publik.

Misalnya bagaimana Prabowo meminta agar lawan politik yang tak mau diajak kerja sama untuk tidak mengganggu pemerintahannya, Prabowo yang tidak mengamini keberadaan oposisi di Indonesia, dan sebagainya.

“Gimana terjadi dinamika akal sehat, dinamika perbaikan kalau enggak ada kontestasi ide itu? Sudah pikiran yang absolut, bahwa yang benar adalah saya, kekuasaan maha benar. Tidak perlu ada kritik,” kata Isnur yang menuntaskan S-2 di Universitas Pancasila Jakarta.

Maka tidak heran, jika saat ini ada kelompok masyarakat yang disebut tidak memiliki legal standing untuk menguji undang-undang tertentu, hanya karena latar belakang profesinya. Tidak heran jika ada pejabat pemerintahan yang meminta siapapun yang kontra untuk pergi saja ke negara lain. Tidak ada ruang yang dibuka untuk diskusi apalagi kritik. Bagi Isnur, realita itu merupakan implementasi dari cara berpikir absolut para penguasa.

“Jadi mengarah pada negara absolut, walaupun absolutnya dalam tipikal yang berbeda, bukan kayak personal, kayak raja, enggak. Tapi ada satu sistem yang itu mengunci banyak hal. Sistem ini yang kemudian saling men-support satu sama lain, partai, korporasi, kemudian politisi. Saling menyumbang untuk terus mengawetkan kekuasaan,” jelasnya.

Kewenangan Kejaksaan untuk Penyadapan

Terbaru, publik dibuat kaget dengan penandatanganan nota kesepahaman antara Kejaksaan Agung dengan empat perusahaan operator selular dalam hal pemberian kewenangan penyadapan.

Memorandum of Understanding (MoU) ini disepakati tanpa adanya undang-undang penyadapan yang mendasarinya.

“Aduh, ini mengerikan sekali. Ternyata ini negara bukan negara hukum, bukan negara undang-undang, tapi negara MoU. Karena dalam banyak hal ternyata MoU lebih dihormati oleh institusi negara dibandingkan undang-undang,” demikian Isnur merespon kabar itu.

Selain tidak memiliki dasar hukum yang kuat, MoU ini juga berpotensi melanggar hak privasi warga negara. Semua orang bisa disadap, siapapun, kapanpun.

Hal ini tentu akan menimbulkan kekhawatiran dan ketakutan orang untuk bisa bebas berbicara, khususnya di percakapan telepon. Padahal sebenarnya kebebasan berbicara adalah hak setiap seorang dan dijamin oleh konstitusi.

“Kita jadi semakin khawatir, ini adalah sebenarnya cara seperti yang disebut George Orwell 1984, negara itu seperti menghidupkan matanya. Bahkan sekarang masuk ke ruang kamar kita, masuk ke kamar mandi kita. Ini kan HP di mana-mana nih, di kamar mandi, kamar kita. Dia (Kejaksaan) punya mata-mata di ruang kamar-kamar kita sekarang. Itu berbahaya sekali. Sangat berbahaya,” ujar Isnur.

Ketua YLBHI Muhammad Isnur dalam Back to BDM.

Sayangnya, tidak ada partai politik, anggota DPR, atau wakil dari pemerintah yang merespons hal ini. Semua seolah terdiam, entah karena diam-diam setuju, tidqk peduli dengan kepentingan masyarakat luas, atau bahkan mereka tersandera oleh kepentingan tertentu.

Isnur menyimpulkan hal ini sebagai bentuk tidak tecapainya tujuan kebangsaan kita, yakni kemerdekaan, kebebasan.

Kewenangan penyadapan sebuah lembaga hanya berdasar MoU, membuat kita harus menghadapi situasi kehidupan kebangsaan yang sempit dan dihantui rasa takut.

“Surveinya beberapa lembaga seperti Indikator, LSI, LP3ES itu sekarang 70 persen warga menyatakan takut berbicara. Kalau berbicara saja sudah takut, bagaimana mau mengubah. Padahal berbicara kan gerbangnya demokrasi. Inti dari negara demokrasi itu kan kebebasan berekspresi. Kalau berekspresi saja dihambat, gimana mau ada demokrasi?” tanya Isnur.

Dalam kondisi negara yang seperti ini, Isnur menyebut semua pihak harus saling tolong-menolong. Jika ada yang berani bersuara dan langkahnya dihambat, maka yang lain harus bersatu memberikan topangan. Tujuannya satu, agar suara kritis yang terlanjur disuarakan akan terus disampaikan, agar pihak yang dibungkam tetap berani bersuara.

Negeri ini memang sudah mengarah menuju negeri penuh ketakutan, republic of fear. Tak hanya masyarakatnya, bahkan pers pun sudah dibuat ketakutan untuk bebas memberitakan di negara merdeka ini.

“Banyak sekali jurnalis bikin tulisan kemarin tiba-tiba diubah bahkan di-take down dalam waktu sekian jam. Ini jurnalis saja, media saja yang punya undang-undang pers, punya semangat untuk kontrol sosial, mengalami ketakutan. Gimana masyarakat biasa,” ungkap dia.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *