MoU Penyadapan Sudah Disepakati Meski Banyak Ditentang, Apa yang Sebaiknya Dilakukan?

“Tiba-tiba enggak ada angin, enggak ada hujan, Kejaksaan melakukan MoU dengan empat operator itu. Ada apa? Dan jelas dari sisi human rights ini mencemaskan, menakutkan. Oleh sebab itu, butuh penjelasan. Dan pihak yang bisa menjelaskan itu adalah pihak Kejaksaan Agung,”

โ€”Anggota Komisi III DPR-RI Fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman

Nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) penyadapan antara Kejaksaan Agung dan empat perusahaan penyedia layanan selular menuai banyak penolakan.

Pasalnya, Kejaksaan Agung disebut tak memiliki wewenang untuk melakukannya. Selain itu, jangankan undang-undang khusus, aturan jelas yang menjadi pagar atau pakem dari implementasi MoU itu pun masih belum rampung dibuat.

Data percakapan seseorang adalah privasi yang menjadi bagian dari hak asasi manusia. Siapapun, termasuk Negara, tidak bisa sekonyong-konyong masuk ke ranah pribadi tersebut, kecuali ada alasan jelas dan dilakukan dengan prosedur yang benar.

Absenmya pedoman penyadapan, tentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), karena dengan adanya MoU penyadapan itu, hak pribadi masyarakat terancam keamanan dan kerahasiaannya.

Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (2/7/2025), Ketua Komnas HAM Anis Hidayah menyebut kita semua patut khawatir akan penyadapan yang dilakukan tanpa aturan dan tanpa adanya pengawasan.

“Satu, penyadapan tanpa pengawasan itu berpotensi melanggar due process of law dan prinsip proporsionalitas dalam pembatasan hak asasi manusia. Yang kedua, penyadapan dengan tanpa standar prosedur pengawasan yang jelas itu juga berpotensi melahirkan perampasan hak privasi,” jelas Anis.

Karena sifat penyadapan yang rahasia, tidak ada satupun dari kita yang tahu apakah saat ini data percakapan kita tengah disadap atau tidak. Apakah esok kita akan menjadi target sadap atau tidak.

Oleh karena itu, Komnas HAM menyerukan agar Kejaksaan Agung menunda implementasi MoU ini dan terlebih dulu melengkapi hal-hal yang seharusnya dilengkapi sebagai aturan dan batasannya.

Terdapat potensi pelanggaran HAM yang besar dalam hal ini. Oleh karena itu, Anis mengajak semua masyarakat dan lembaga seperti Komnas HAM untuk terus memantau dan mengawasi agar penyadapan oleh Kejaksaan Agung ini tidak dijalankan dulu sebelum ada kejelasan pedoman yang mengaturnya.

Pada intinya, Komnas HAM tidak membenarkan tindak penyadapan, kecuali dilakukan untuk kepentingan negara, itupun harus didasari aturan yang sangat ketat, karena menyangkut hak asasi terkait privasi.

“Secara konseptual, penyadapan itu hanya bisa dilakukan untuk kepentingan keamanan negara dan juga kepentingan penegakan hukum. Itu pun dengan aturan yang sangat jelas. Jadi saya kira di luar itu tentu tidak boleh dilakukan,” sebutnya.

Jika Komas HAM mengusulkan untuk menunda, Direktur Kebijakan Publik Raksa Inisiatif Wahyudi Jafar mendorong agar MoU itu batal demi hukum.

Ia menjelaskan, dalam Undang-Undang Telekomunikasi Pasal 40 disebutkan melarang semua jenis penyadapan. Artinya, penyadapan ini bertentangan dengan undang-undang dan sudah seharusnya dibatalkan demi hukum.

Dan sepanjang landasan hukum untuk penyadapan ini belum diundangkan, Wahyudi berpandangan untuk diberlakukan sratus quo.

“Artinya penyadapan yang dilakukan oleh Kejaksaan seperti halnya penyadapan yang dilakukan sebelumnya, tidak memperluas, karena memang di sini belum ada batasan terkait dengan tindak pidana apa saja yang boleh dilakukan upaya paksa penyadapan,” sebut Wahyudi.

“Karena memang penyadapan ini kan the last mechanism, sehingga pengawasannya juga harus bertingkat, tidak semata-mata menggunakan izin pengadilan sebagai bentuk judicial scrutiny,” lanjutnya.

Soal pengawasan bertingkat, Wahyudi mengatakan jika UU penyadapan sudah dibuat, maka Komisi III DPR bisa membentuk subkomisi lenyadapan dan melakukan audit berkala pada institusi yang berwenang melakukan penyadapan. Periksa, apakah semua tindak penyadapan yang dilakukan sah atau ada yang melanggar hukum, atau jangan-jangan ada yang menyalahi kewenangan.

“Kalau terjadi abusif misalnya, bagaimana mekanisme pemulihannya. Ini yang juga harus disediakan mekanisme pemulihan atau remedi, ketika misalnya terjadi penyalahgunaan dalam konteks upaya paksa penyadapan,” usul Wahyudi.

BDM bersama narasumber, dari kiri ke kanan: Benny K. Harman, BDM, Wahyudi, Pujiono, dan Anis Hidayah.

Sementara itu, DPR sebagai lembaga pengawas mengaku akan mendesak Mahkamah Agung untuk menjelaskan kepada publik untuk apa MoU ini sesungguhnya disepakati.

Apakah untuk mendapatkan informasi, keperluan penegakan hukum, atau yang lain.

Anggota Komisi III DPR dari Fraksi Partai Demokrat Benny K. Harman mengatakan  penyadapan untuk kepentingan penyidikan sedari dulu sudah kerap dilakukan oleh teman-teman dari Polri maupun KPK. Namun, mengapa tiba-tiba Kejaksaan Agung juga membuat MoU untuk hal serupa?

“Tiba-tiba enggak ada angin, enggak ada hujan, Kejaksaan melakukan MoU dengan empat operator itu. Ada apa? Dan jelas dari sisi human rights ini mencemaskan, menakutkan. Oleh sebab itu, butuh penjelasan. Dan pihak yang bisa menjelaskan itu adalah pihak Kejaksaan Agung,” jelas Benny.

Baginya, penyadapan adalah bagian tidak terpisahkan dari tugas aparat penegak hukum, namun dikhususkan bagi kejahatan luar biasa seperti korupsi, narkoba, terorisme, dan kejahatan kemanusiaan.

Jika diterapkan pada kejahatan non luar biasa, maka harus melalui proses yang sangat ketat sebagai bentuk pertanggungjawaban. Akuntabilitas dan transparansi pun sangat diperlukan dalam hal ini.

Menanggapi semua usulan yang datang, Ketua Komisi Kejaksaan Pujiono Suwadi justru mengatakan MoU yang sudah ditandatangani itu tidak begitu esensial. Ada atau tidak ada MoU ini tidak memengaruhi kewenangan jaksa untuk melakukan penyadapan.

“Jadi Mas Wahyudi, Bu Anis, enggak usah terlalu mempermasalahkan MoU. Justru yang jadi PR adalah bagaimana kita menyikapi, setelah ini apa,” kata Pujiono.

Karena sudah terlanjur disepakati, dan undang-undang khusus yang bisa menjadi dasar kuat belum dibuat, maka Puji mendorong agar Kejaksaan Agung membuat pedoman di internal mereka sendiri.

Pedoman itu berisi ketentuan jangka waktu penyadapan, cakupan pidana apa saja yang bisa dilakukan penyadapan, apa saja yang dibutuhkan, bagaimana pengawasannya, dan seperti apa prosedurnya.

Pedoman itu mungkin akan ditolak untuk dijadikan sebagai barang bukti yang sah oleh pengadilan, namun pedoman itu setidaknya bisa memberi batasan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang atau abuse of power.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *