Kewenangan Penyadapan Kejaksaan Tuai Polemik

“Penyadapan kini dilegalkan lewat MoU, tapi pertanyaannya sederhana, mengapa melalui nota kesepahaman, bukan menunggu undang undang. Bukankah momunikasi adalah ruang paling privat dalam demokrasi. Ketika negara bisa menyadap semua percakapan, kita harus bertanya dimana batas antara keamanan dan kebebasan. Kita tidak menolak penegakan hukum, tapi hukum harus dijalankan dengam dasar hukum, bukan sekedar kesepakatan antar lembaga. Karena tanpa kontrol dan batas negara bisa berubah dari pelindung jadi pengintai,”

Kejaksaan Agung dalam hal ini Jaksa Agung Muda Bidang Intelijen (Jamintel) menandatangani Nota kesepahaman atau Memorandum of Understanding (MoU) dengan empat perusahaan penyedia jasa layanan selular di Indonesia. Dengan MoU itu, Kejaksaan Agung mendapat akses data komunikasi sehingga bisa melakukan penyadapan kapanpun dirasa diperlukan. Kerja sama itu dijalin dengan maksud penguatan intelijen dan penegakan hukum.

Sayangnya, nota kesepakatan ini banyak mengundang penolakan dari berbagai kalangan. Selain dinilai menyalahi aturan, penyadapan oleh Kejaksaan Agung juga disebut bisa melanggar privasi komunikasi yang merupakan hak mendasar setiap individu.

Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV  (2/7/2025) yang mengusung tema “Siap-Siap, Ponsel Anda Bisa Disadap”,  Ketua Komisi Kejaksaan Pujiono Suwadi menyebut tidak ada yang dilanggar dari MoU yang sudah dibuat.

MoU bisa dibuat tanpa perlu menunggu adanya undang-undang khusus soal penyadapan yang saat ini memang belum dibentuk.
“Kita itu punya 13 undang-undang sektoral yang mengatur tentang penyadapan. Ada Undang-Undang Kejaksaan, ada Undang-Undang Telekomunikasi, ada Undang-Undang ITE, termasuk juga ada beberapa putusan MK,” ujar Puji.

Berbeda dengan anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat, Benny K. Harman yang tegas menyebut MoU itu tidak memiliki landasan hukum apapun. Salah satunya belum ada aturan hukum yang bisa menjadi legitimasi Kejaksaan melakukan penyadapan.

Jika legitimasi hukumnya saja tidak ada, bagaimana mungkin Kejaksaan bisa menggandeng penyedia jasa layanan selular melalui MoU untuk mendapatkan akses sadap.

“Jadi menurut saya pertanyaan yang paling pokok adalah apakah Kejaksaan punya kewenangan untuk melakukan penyadapan atau tidak? Menurut saya hingga saat ini Kejaksaan tidak secara eksplisit diberi kewenangan oleh undang-undang untuk melakukan penyadapan,” jelas Benny.

Kejaksaan disebut memiliki kewenangan untuk itu, tapi pelaksanaannya harus menunggu undang-undang terkait diterbitkan.

“Kami (DPR) ini belum buat diminta untuk membuat undang-undang penyadapan, sampai saat ini masih dalam proses-proses,” ungkap dia.

Selama ini yang diberi wewenang khusus untuk bisa melakukan penyadapan data komunikasi adalah KPK, Polri, dan BIN.

Namun, Puji mengatakan pada Undang-Undang Telekomunikasi ada pasal yang mengatur tentang kewenangan Kejaksaan untuk melakukan penyadapan. Dalam UU itu dijelaskan, informasi yang dimiliki operator memang sifatnya rahasia, namun bisa dibuka jika ada permintaan dari Jaksa Agung, kepolisian, ataupun penyidik dari institusi lain.

“Ini juga bisa menjadi acuan. Sehingga dari dasar beberapa ketentuan itu memungkinkan untuk (Kejaksaan Agung) melakukan penyadapan,” tegas Puji.

Lagi pula, menurut Puji MoU itu hanya bentuk kesepahaman saja, bukan pelaksanaan. Sehingga bola sekarang ada di tangan DPR untuk bisa segera menyelesaikan UU Penyadapan sebagaimana diperintahkan Mahkamah Konstitusi (MK) sejak 2010.

Ketua Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) Anis Hidayah begitu menentang MoU antara Kejaksaan Agung dan empat perusahaan operator selular itu.

Bagi Komnas HAM, penyadapan yang dilakukan tanpa dasar hukum dan ketentuan yang jelas merupakan bentuk pelanggaran privasi warga negara dan tentu masuk dalam pelanggaran hak asasi manusia.

Lebih lanjut, hak privasi adalah salah satu hak konstitusional yang dijamin oleh UUD 1945, sehungga negara harus menghormati, melindungi, dan memenuhi hak tersebut.

“Jika penyadapan ini (dilakukan padahal) undang-undang secara khususnya belum ada, maka paling tidak prinsipnya itu kan harus ada standarnya, kemudian harus ada regulasinya, harus ada mekanismenya, harus ada akuntabilitas, transparansi, dan juga pengawasan,” ujar Anis.

Jika tidak ada aturan yang mendasarinya, dikhawatirkan akan muncul penyalahgunaan kewenangan yang pada akhirnya menimbulkan pelanggaran hak atas privasi.

Direktur Kebijakan Publik Raksa Inisiatif Wahyudi Jafar yang juga menjadi salah satu penggugat praktik penyadapan oleh institusi negara ke MK di tahun 2010 menyerukan pentingnya undang-undang untuk setiap pembatasan terhadap hak asasi manusia, seperti penyadapan ini.

Ketika itu, MK pun mengamini apa yang diserukan Wahyudi, sehingga dalam putusannya MK memerintahkan pada pembentuk undang-undang (DPR dan Presiden) untuk segera membentuk undang-undang khusus tata cata penyadapan.

Sayangnya, undang-undang itu belum juga digarap, bahkan belum masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) DPR tahun ini.

Ini menjadi problematis, karena penyadapan pada dasarnya adalah sesuatu yang melanggar hukum (unlawful), maka diperlukan undang-undang agar tindakan itu bisa dianggap sah (lawful).

“Dia (penyadapan) lawful ketika dia memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu. Satu, untuk keamanan nasional dalam konteks kerja-kerja intelijen. Yang kedua, penegakan hukum. pun dalam konteks penegakan hukum dia harus tunduk pada sejumlah standar,” ungkap Wahyudi.

Standar itu misalnya harus izin pada pengadilan, ada batasan waktu yang jelas, memiliki mekanisme pengawasan, transparan, dan akuntabel. Standar-standar itulah yang semestinya diatur dalam undang-undang, namun sayangnya belum juga ada.

Oleh karena masih banyaknya ketidakjelasan aturan penyadapan, maka Wahyudi menyarankan MoU antara Kejaksaan Agung dan empat operator selular harus dibatalkan demi hukum.

Ia menjelaskan, dalam Undang-Undang Telekomunikasi Pasal 40 disebutkan melarang semua jenis penyadapan. Artinya, penyadapan ini bertentangan dengan undang-undang dan sudah seharusnya dibatalkan demi hukum.

“Sebenarnya bagi operator sendiri ini juga tidak menguntungkan, karena tentunya consumer trust terhadap operator akan berkurang. Operator sebenarnya maunya clear bahwa harus ada izin pengadilan, sifatnya case by case, tidak gelondongan, informasi yang diperoleh itu hanya yang berkaitan dengan tindak pidana,” ungkap Yudi.

“Di sini yang menjadi problem, karena tidak ada pengawasan yang bertingkat, sehingga semua informasi dikumpulkan. Misalnya datang ke operator, maka satu log data akan diambil semuanya, padahal tidak semua data itu berkaitan dengan tidak pidananya,” ia melanjutkan.

Jika Wahyudi menyarankan agar MoU ini dibatalkan demi hukum, maka Anis lebih menyerukan agar Kejaksaan Agung menunda implementasi dari MoU tersebut.

Alasannya, masih banyak aturan yang belum dibuat. Riwayat percakapan seseorang merupakan privasi masing-masing individu. Jika negara berkepentingan untuk melakukan intervensi terhadap privasi itu, maka harus ada peraturan yang sangat ketat.

“Komnas HAM mendorong agar Jaksa Agung mungkin menunda dulu, implementasi dari MOU yang sudah dilakukan,” sebut Anis.

BDM bersama narasumber, dari kiri ke kanan: Benny K. Harman, BDM, Wahyudi, Pujiono, dan Anis Hidayah.

Penyadapan merupakan satu tindakan intelijen yang sifatnya adalah rahasia. Namun, Kejaksaan Agung justru mengumumkan kepada publik melalui kegiatan jumpa pers, bahwa mereka telah menandatangani Nota kesepahaman dengan pihak operator selular untuk melakukan penyadapan.

Apa yang ingin disampaikan Kejaksaan dengan mengumbar hal yang semestinya menjadi kerja senyap ini?

Puji pun mengaku masih tidak memahami apa maksud dari semua itu. Yang pasti, ia meyakinkan publik bahwa MoU hanya kesepahaman, bukan sesuatu yang menjadi dasar pelaksanaan.

Pada intinya, pihak Jaksa Agung juga Jamintel sudah menyampaikan, penyadapan ini tidak akan dilakukan pada sembarang atau semua orang, kecuali untuk proses penyidikan suatu kasus kriminal dan memburu orang.

Misalnya orang yang telah diketahui berpotensi melakukan tindakan kriminal, masuk dalam Daftar Pencarian Orang (DPO), dan sebagainya. Jadi, orang yang tidak memiliki keterkaitan dengan hal-hal teraebut tidak perlu khawatir percakapannya akan disadap.

“Bahkan di proses penyelidikan pun (penyadapan) tidak dilakukan,” kata dia.

Agar batasan dan tujuan itu bisa benar dijaga, Pujiono pun meminta Jaksa Agung untuk membuat pedoman agar tidak terjadi abuse of power dalam praktik penyadapan nantinya.

Pujiono membeberkan, dalam beberapa kasus Kejaksaan Agung kerap kali kekurangan alat bukti untuk mendukung penetapan tersangka.  Penyadapan, ini merupakan bentuk adaptasi Kejaksaan untuk mendapatkan alat bukti kuat yang kini bentuknya sudah bermeramorfosis, tak lagi bentuk konvensional.

Diharapkan, dengan penetapan tersangka yang lebih cepat akan menghasilkan proses penegakan hukum yang lebih efisien sesuai kehendak masyarakat.

Publikasi yang dilakukan Kejaksaan Agung terkait MoU penyadapan ini menurut Benny ada baiknya dipahami sebahai peringatan dini atau early warning system bagi siapapun yang akan melakukan tindak kejahatan, termasuk korupsi.

“Jadi untuk mengingatkan publik Indonesia jangan korupsilah. Kalau you korupsi maka saya akan sadap, itu berarti orang (akan) takut,” ujarnya.

Sepakat dengan Pujiono, bagi Benny pedoman atau SOP penting untuk disusun oleh Kejaksaan Agung sebelum memulai penyadapannya. Kasus apa saja yang bisa disadap, bagaimana mekanismenya, berapa lama batas waktunya, dan sebagainya.

Kalau tidak ada kejelasan pedoman seperti sekarang, Benny khawatir ini akan menjadi momok dan menebarkan ketakutan di masyarakat. Tidak ada yang tahu pasti, jika suatu hari riwayat percakapan pribadi kita akan disadap penyidik Kejaksaan. Kejaksaan Agung pun diminta untuk menjelaskan ini secara gamblang di publik.

Anis dari Komnas HAM juga menyatakan hal yang sama. Masyarakat patut khawatir, karena  penyadapan ini belum jelas standar dan batasannya, sekalipun sejumlah regulasi sektoral mengatakan hanya untuk penyidikan kasus. Tapi siapa yang bisa menggaransi, bahwa masyarakat umum tidak akan disadap, karena transparansinya tidak ada, toh penyadapan juga barang rahasia, masyarakat tidak akan tahu apakah percakapannya tengah disadap atau tidak.

“Jadi pertama, hak atas informasi  masyarakat itu juga tidak terpenuhi. Yang kedua, hak atas rasa aman, karena saya kira di era digital ini di ruang digital masyarakat makin kehilangan hak atas rasa aman, terutama dalam hal penyampaian pendapat dan ekspresi.  Dengan adanya MoU ini saya kira kekhawatiran itu makin meningkat,” ucapnya.

Survei Komnas HAM tahun 2020 menemukan 32 persen masyarakat khawatir berpendapat secara digital, karena ada kemungkinan menerima intimidasi, doxing, serangan balik, dan sebagainya.

Dengan adanya MoU ini, bukan tidak mungkin persentase itu akan mengalami peningkatan, karena sekali lagi, penyadapan dilakukan secara rahasia, dalam diam, tidak ada yang tahu apakah kita sedang disadap, pun tidak ada yang tahu juga siapa yang sedang atau akan disadap selanjutnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *