“Kalau diam saja ya jangan. Kalau aktif ya aktifnya yang wajar saja deh. Kita enggak mungkin berperan, titik. Kita tidak punya leverage,”
โDuta Besar Indonesia di Teheran 2012-2016, Dian Wirengjurit
Konflik yang melibatkan Iran, Israel, dan Amerika Serikat belum juga menemui titik damai sekalipun gencatan senjata telah diumumkan dan dilaksanakan sejak 24 Juni 2025.
Baik Israel maupun Iran masih terus melancarkan serangan di tengah masa ini. Belum didapati kesepakatan antar pihak yang berkonflik. Perang pun masih dimungkinkan berlangsung panjang.
Akibat konflik yang penuh dengan ketidakpastian itu, dunia pun secara langsung maupun tidak akan turut terdampak.
Lantas siapa yang seharusnya bertugas meredakan ketegangan di wilayah Timur Tengah ini? Apakah Indonesia bisa ambil bagian dalam proses perdamaian itu?
Diplomat senior yang pernah menjadi Duta Besar Indonesia di Teheran 2012-2016, Dian Wirengjurit membagikan pandangannya tentang upaya meredakan konflik di Timur Tengah, Iran khususnya, bersama Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM.
Tanpa mencoba menutup-nutupi, Dian langsung menyebut dalam kondisi seperti ini organisasi internasional bahkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tidak bisa berfungsi menciptakan perdamaian.
“PBB kita tahu, Dewan Keamanannya saja yang yang pegang 5 negara itu (AS, Inggris, Perancis, Rusia, dan Tiongkok), apapun resolusi yang tidak sesuai sama dia pasti diveto,” kata pria yang menempuh S-1 di Hubungan Internasional Fisip UI itu.
Oleh karena organisasi internasional tak bisa berfungsi, baginya inisiatif dari negara-negara yang memiliki pengaruh di Timur Tengah, Mesir, Qatar, dan Turki, lebih efektif untuk dikonsolidasikan. Mengapa 3 negara itu? Karena ketiganya sama-sama mengakui dan diakui baik oleh Israel maupun Iran.
Ketiganya pula memiliki dampak, tahu masalahnya, dan punya jalur diplomasinya.
Dari pembacaan Dian, ketiga negara tersebut sesungguhnya sudah mulai bergerak melakukan pendekatan. Namun ia paham, mendamaikan Iran dan Israel bukanlah hal yang mudah.
Namun, ada masa kurang dari satu bulan di mana Israel akan mengalami krisis pasokan BBM akibat terlalu banyak menggunakannya untuk melakukan serangan di Iran dan Gaza. Untuk informasi, hampir sebagian besar kendaraan militer dan senjata perang di dunia masih menggunakan BBM sebagai bahan bakarnya.
Di masa itu, Israel akan mengerem serangan ke Iran agar cadangan BBM dalam negeri mereka tidak makin menipis yang bisa mengganggu kepentingan rakyatnya sendiri.

Ditambah sudah timbul rasa jenuh dan jengkel dari rakyat, tokoh-tokoh agama, bahkan prajurit tentara di Israel yang selama ini melihat negaranya terus-menerus terlibat konflik dengan negara lain, karena mereka merasakan langsung akibat konflik itu dalam kehidupan mereka sehari-hari.
“Saya kira waktu sebulan ini kritikal. Makanya kita tunggu, mudah-mudahan benar kali ini Trump bilang hanya situsnya (Iran yang disasar) dan tidak akan berlanjut. Mudah-mudahan dalam situasi seperti ini, kepala dingin tetap dikedepankan oleh semua pihak sehingga peluang diplomasi (bisa) ditata kembali,” jelas Dian.
Dalam kondisi yang jenuh dan mulai harus berpikir cadangan BBM nasionalnya, Israel sebenarnya bisa saja menghentikan perang dengan Iran dan meminta AS untuk juga berhenti.
Namun, jika Trump tidak menghendakinya, konflik pasti akan terus berlangsung.
“Buat saya kuncinya di Trump. Kalau dia masih seperti ini, egonya lebih dikedepankan, dunia masih tidak akan tentram, ferutama Timur Tengah,” sebut pengajar di Lemhannas dan Wantannas itu.
Hal lain yang ingin disampaikan Dian, orang seperti Trump dan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu tidak akan mempan dilobi menggunakan jalur diplomasi.
Terlebih Trump yang ia anggap memiliki mental “hanya berani dengan anak kecil”, Trump berani ikut campur pada perang Israel dan Rusia, karena yang ia lawan adalah Iran. Sementara perang Ukraina-Rusia yang jelas-jelas Ukraina ingin masuk ke dalam NATO (The North Atlantic Treaty Organization), Amerika tak berani memberi bantuan militer pada Ukraina untuk menyerang Rusia.
“Imbangannya (untuk melawan AS) harus datang dari dua lawan seimbangnya: China dan Rusia yang berani tegas sama Trump,” tegasnya.
Sejauh ini China dan Rusia tidak terlibat terlalu jauh dalam konflik di Timur Tengah. Kedua negara itu hanya sebatas mengirimkan pesawat dan logistik perang untuk Iran. Tapi, jika AS kembali melakukan serangan pada Iran, Dian menyebut China dan Rusia sudah siap bertindak lebih jauh yang akibatnya bisa fatal untuk AS.
“Dari yang kita baca saja, saya menangkapnya Rusia dan China sekarang sudah lebih siap menghadapi kemungkinan berikutnya yang kalau diulang oleh Trump, (akibatnya) fatal. Rusia dan China akan lebih terbuka untuk membantu Iran,” ungkap Dian.
Di tengah kondisi perang Iran-Israel dan AS yang penuh ketidakpastian ini, dunia juga menanti Presiden Trump bisa bertemu secara langsung dengan Ayatollah Khomeini. Meski terlihat mustahil, namun tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Siapa pihak yang bisa membuat mereka bertatap muka? Itu yang masih menjadi pertanyaan bersama.
“Kalau sama Jong-un yang maki-makian aja bisa, mau ketemu. Tiga kali loh dia ketemu sama Jong Un, (apalagi dengan Ayatollah Khomeini),” ujar Dian.
Peran Indonesia
Jika sebelumnya Dian hanya menyebut negara-negara tertentu yang bisa mendinginkan suasana, misalnya Turki, Mesir, Qatar, China, dan Rusia. Lantas bagaimana dengan Indonesia? Adakah kita bisa ikut berperan dalam mewujudkan perdamaian di Timur Tengah?

Baginya, Indonesia belum memiliki posisi atau daya aruh (laverage) yang kuat untuk bisa terlibat dalam mendamaikan konflik itu. Indonesia sebagai negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia, Indonesia sebagai negara nonblok, tidak cukup untuk dimainkan, bahkan Dian menyebut tidak laku untuk ditawarkan pada konteks perang di Timur Tengah ini.
“Leverage seperti itu sudah tidak laku dalam konteks dunia sekarang. Arab Saudi dan Iran yang mendamaikan siapa? China. Yang bisa mengumpulkan fraksi-fraksi Palestina siapa? China. Artinya apa? Leverage-nya itu bukan lagi membawakan agama lah, solidaritas nonblok lah,” terang Dian.
Meski tak memiliki kekuatan yang cukup, Indonesia tetap bisa berpartisipasi dalam upaya perdamaian sebagaimana azas politik luar negeri yang dianut: bebas-aktif.
Jangan diam dalam situasi seperti ini, lakukan apa yang bisa dilakukan, terlepas dari apakah akan berdampak atau tidak.
“Kalau diam saja ya jangan. Kalau aktif ya aktifnya yang wajar saja deh. Kita enggak mungkin berperan, titik. Kita tidak punya leverage,” kata penulis buku Iran: Nuklir, Sanksi, Militer dan Diplomasi (2022) itu.
Hal paling maksimal yang bisa Indonesia lakukan adalah mengeluarkan imbauan moral. Dan itu sudah terjadi.
Menteri Luar Negeri kita sudah menyampaikan pernyataan bahwa Indonesia mengecam, hanya mengecam ketika negara lain sudah sampaikan mengutuk terjadinya serangan Israel ke Iran. Kecaman itu pun tidak langsung dikeluarkan sesaat serangan pertama terjadi, melainkan selang beberapa waktu.
“Kita coba mengeluarkan statement saja kita harus tunggu waktu gitu loh,” ujarnya.
Padahal, Kementerian Luar Negeri saat ini memiliki 3 posisi wakil menteri. Satu untuk urusan Timur Tengah, satu untuk ekonomi dan perdagangan internasional, satu lagi untuk urusan politik dan perjanjian internasional.
“Kira-kira wamen kita yang Timur Tengah diberdayakan enggak? Enggak kedengaran. Terus buat apa sebagai wamen?” pungkas Dian.
Leave a Reply