Diserang Israel dan AS, Dubes Dian Wirengjurit Yakin Iran Tak Akan Menyerah

“Kalau surrender rasnya tidak. Ini hanya menunggu waktu. Tapi kalau dibilang menyerah, sampai sekarang belum ada tanda-tanda Iran akan menyerah…”

โ€” Dubes Indonesia di Teheran 2012-2016, Dian Wirengjurit

Dalam dua pekan terakhir, situasi di Iran mengalami ketegangan pasca Israel dan Amerika Serikat mengirimkan rudal-rudal mereka ke sejumlah kawasan fasilitas nuklir di negara itu.

Tak tinggal diam, Iran pun melakukan pembalasan terhadap keduanya sehingga meletusnya konflik di wilayah Timur Tengah itu tak bisa terelakkan.

Menengok sejarahnya, Iran memang dilanda perseteruan panjang dengan AS sejak tahun 1950-an. Seteru itu dilatarbelakangi persoalan pengelolaan minyak bumi dan nuklir. Tensi makin memanas ketika AS membunuh pimpinan militer Iran Qasem Soleimani pada tahun 2020 di Bandara Bagdad.

Sebagai negara yang lama ada dalam pusaran konflik, bagaimana sesungguhnya kondisi masyarakat Iran dan negara itu yang selama ini berjalan di bawah sanksi ekonomi Amerika Serikat sejak jatuhnya rezim Shah Reza Pahlevi di tahun 1979?

Duta Besar Indonesia di Teheran 2012-2016, Dian Wirengjurit menceritakan masyarakat di Iran, khususnya yang datang dari kelas menengah atau menengah ke bawah merasakan hidup yang cukup berat di bawah sanksi yang diberlakukan.

“Kebutuhan dasar mereka makannya roti, setiap pagi ada berapa macam roti. Roti itu waktu saya di sana mungkin kalau dirupiahkan itu Rp100 satu roti yang lebar itu. Sekarang Rp1000-Rp1.500. Memang berat buat mereka, karena naiknya hampir berapa kali lipat, tapi tetap bisa mereka nikmati kok,” kata Dian saat membagikan pengalamannya di siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Dian Wirengjurit Dalam Back to BDM.

Meski dikenai sanksi yang memberatkan, pemerintah Iram disebut Dian selalu berupaya agar setiap kebutuhan rakyatnya bisa terpenuhi, memastikan masyarakat hidup bebas dari kekhawatiran.

Kondisi negara itu bagi alumni University of Wollonggong Australia itu tetap tenteram, penduduknya ramah, seolah tidak ada hal berat yang tengah melanda mereka selama puluhan tahun.

“Masyarakatnya itu sangat welcome sama orang asing, termasuk western. Dalam kondisi seperti sekarang sanksi yang berat, mereka tetap berusaha mempromosikan pariwisata. Di kampung-kampung tetap ada hotel dan kalau lihat masuk ke hotel, itu mereka pasang bendera dari banyak negara untuk menunjukkan bahwa mereka itu terbuka. Mereka sangat senang masih ada yang mau berkunjung, masih ada yang mau menikmati (negerinya),” jelas Dian.

Keramahan masyarakat Iran pun tak perlu dieagukan, bahkan Dian menyebut keramahannya sama dengan keramahan bangsa Indonesia di tahun 80-an.
Dian mengaku selalu diperlakukan ramah oleh masyarakat, khususnya saat melakukan perjalanan ke kampung-kampung.

“Mereka tuh salam. ‘Dari mana?’, ‘Indonesia’. ‘Mampir ke rumah saya’. Dan itu disampaikan dengan benar (sungguh), itu kan tidak direncanakan. Tapi saya datangi (rumah mereka), keluar tuh cemilan segala macam. Dan di sana (budaya masyarakatnya) sangat peminum teh, setiap rumah tangga kita datang pasti langsung disuguhi teh. Ketika dia lihat gelas kita kosong sedikit, pasti diganti 5 menit kemudian, 10 menit kemudian. Bahwasanya keramahan seperti itu tetap eksis,” ungkap Dian.

Tak jauh berbeda dengan Indonesia, masyarakat Iran juga multikultural dan multireligius. Ada Islam san Yahudi hidup berdampingan. Islam pun ada aliran Syiah dan Suni yang sama-sama diberi tempat. Perbedaan bukan masalah bagi mereka.

Di Bawah Ancaman AS

Iran sudah lama hidup di bawah ancaman dan tekanan Amerika Serikat, terhitung sejak rezim Shah Reza Pahlevi yang didukung AS digulingkan 46 tahun yang lalu. Saat itu Iran berganti rezim dan menjadi Republik Islam Iran di bawah kepemimpinan Ayatollah Khomeini.

Saat digulingkan, Shah Reza pergi ke luar Iran bersama dengan kroninya, sementara aset yang ia tinggalkan di dalam negeri banyak disita.

Atas upaya penyitaan itu, protes pun banyak diarahkan pada rezim Khomeini. Akhirnya, sanksi turun, sebagian pejabat dan tentara Iran yang pro dengan rezim Khomeini diberlakukan blacklist. Begitu juga dengan pengusaha dan berbagai profesi lain yang pro Khomeini menerima sanksi yang sama.

Kemudian di tahun 2002, sebuah organisasi nonprofit di Amerika di mana NGO ini bertentangan dengan rezim Iran yang baru, mengadakan konferensi pers dan mengumumkan bahwa Iran memiliki program senjata nuklir, lengkap dengan foto-foto sebagai bukti.

“Kalau kita mau kritis, kok sebuah NGO punya kemampuan satelit, bikin foto, bikin image dari mana-mana segala macam. Tapi orang tahu dari siapa itu kira-kira,” sebut Dian.

Sanksi pun diberikan pada Iran semakin ketat, karena diduga menambah program nuklirnya. Menerima tekanan semacam itu, Iran tak lantas menciut, Dian menyebut Iran bukan negara ecek-ecek. Iran terus melanjutkan program nuklir, sesuai dengan aturan Non-Proliferation Treaty (NPT), di mana negara itu menjadi salah satu anggotanya.

“Program nuklirnya memang ada dan itu tidak salah, karena diakui semua negara yang anggota NPT kan boleh membuat program nuklir, kecuali senjata nuklir. Setahu saya Iran masih dalam koridor itu, buktinya setelah 2002 sampai sekarang belum pernah ada yang bisa membuktikan bahwa mereka bikin senjata nuklir,” kata dia.

Budiman Tanuredjo dan Dian Wirengjurit.

Setahu Dian, senjata nuklir memiliki sejumlah komponen yang harus terpenuhi: pengayaan uranium, roket, dan warhead. Semua harus ada dan pernah diujicobakan. Iran sama sekali belum pernah menguji coba senjata nuklir miliknya. Tidak seperti negara-negara penghasil senjata nuklir di luar NPT: Israel, India, Pakistan, dan Korea Utara.

Kepemilikan senjata nuklir di Iran adalah tuduhan yang dijadikan alasan AS dan Israel melakukan serangan.

Adapun terkait fasilitas nuklir yang mereka kembangkan, Iran sudah belajar banyak dari Irak dan Syiria. Iran mengembangkan fasilitas nuklirnya disebar dalam beberapa lokasi, tidak tunggal sebagaimana dimiliki Irak dan Syiria sebelumnya.

Dengan begitu, jika satu atau beberapa hancur, pengembangannya hanya akan tersendat, bukan terhenti.

Tak Gentar Hadapi AS

Seperti yang Dian gambarkan, Iran dan warganya sudah lama menghadapi tekanan dan sanksi dari AS. Meski kondisinya berat, Iran tetap mampu berdiri dan menjaga harga dirinya dengan cara tak menyerah apalagi bertekuk lutut pada AS.

Hal yang sama juga akan dilakukan Iran dalam konteks konflik hari ini dengan AS. Iran tak akan menyerah pada AS, Khomeini tak akan menyerah pada Trump.

Di mata Dian, Iran adalah negara yang mewakili Persia, satu kebudayaan yang sudah ada sejak ribuan tahun lalu dan teruji dalam berbagai gempuran dan pergolakan.

Kalah-menang pertempuran sudah sama-sama pernah dirasa oleh Iran. Bangsa Iran memiliki semangat militansi dan kebanggaan yang sangat tinggi. Iran bukan hanya pusat peradaban, tapi Iran adalah pusat Islam Syiah di antara negara-negara Arab yang mengelilinginya, bahkan di antara negara lain di dunia.

“Iran punya semacam kewajiban untuk mempertahankan itu dari gempuran apapun. Jadi kalau dikatakan sekarang Khomeini surrender, saya masih juga punya pandangan lain. Bukan surrender tapi hanya masalah taktik dan strategi,” ujar mantan Tenaga Ahli Menteri ESDM bidang Hubungan Luar Negeri itu.

“Kalau surrender rasnya tidak. Ini hanya menunggu waktu. Tapi kalau dibilang menyerah, sampai sekarang belum ada tanda-tanda Iran akan menyerah, karena masih menunggu. Karena Iran juga pasti punya truff, kartu truff di belakangnya siapa dan apa yang akan dilakukan oleh para pemain besar yang lain,” lanjutnya.

Meski tak menyerah dan akan terus melakukan perlawanan jika negaranya diserang, Dian membaca konflik antara Iran dengan Israel dan AS tak akan memicu pevlcahnya perang dunia ketiga.

Dian Wirengjurit berdiskusi dengan Budiman Tanuredjo dalam Back to BDM.

Perang, apalagi yang akan menggunakan senjata nuklir, tentu akan menghancurkan wilayah-wilayah di sekitarnya. Secara geografis, Iran dikelilingi oleh negara-negara Arab yang saat ini sudah makmur, sejahtera.

Jika perang terjadi, negara-negara sekitar pasti akan terdampak secara langsung, wilayah mereka akan menjadi medan perang. Hal itu pasti tidak dikehendaki oleh siapapun yang berada di Timur Tengah. Apalagi jika Iran akan membalas hal yang sama kepada Israel, misalnya. Dampaknya pasti akan sama buruknya bagi negara-negara di sekitar Israel.

“Rasanya pemimpin se-unpredictable Trump sendiri juga harus mikir itu. Karena kalau saya lihat sejarah, Iran itu tidak punya sejarah memulai dulu ekspansi, tidak. Tapi kalau kita lihat Amerika, mungkin hampir sepanjang sejarah modern ini Amerika hobinya menginvasi, dengan atau tanpa alasan,” sebut dia.

Jadi, rasanya tidaj akan sampai menimbulkan perang dunia ketiga. Apalagi, sebagian besar alat-alat perang berbagai negara masih mengandalkan BBM, termasuk Israel yang sudah menghabiskan banyak untuk serangan-serangannya di Gaza.

Menurut perhitungan data yang dimiliki Israel, ketahanan energi negaranya tak akan bertahan sampai satu bula depan. Itu mengapa, Israel mengajak AS untuk menyerang Iran, sementara Israel sendiri lebih banyak diamnya. Israel tak akan lagi jor-joran menggunakan senjata militernya.

“Sekarang dia dalam kondisi ya sudah lelah, sudah bosan, sudah suntuk lah dengan ini, rakyatnya termasuk, bahkan tentaranya. Makanya kan ada saja video yang tentara Israel sudah bilang stop, rakyatnya, rabinya sudah bilang stop, segala macam. Masyarakatnya juga enggak akan membiarkan kalau 29 hari jor-joran BBM rakyat enggak terpenuhi. Apa bukannya (malah akan menimbulkan) pergolakan dalam negeri? Terlalu gegabah kalau meneruskan (serangan),” ungkap Dian.

Amerika Serikat memang dikenal kerap ikut campur dalam urusan perang negara lain. Bagi Dian hal itu bisa dijelaskan secara sederhana dan logis. Mengapa AS kerap cawe-cawe dalam urusan konflik militer, karena masyarakat Amerika banyak yang hidup dari industri militer, dari pabrik perakitan senjata.

“Industri militernya itulah yang menghidupi. Jutaan tenaga kerja itu hidup dari militeri. Kalau kita sudah bikin senjata, enggak ada yang beli, celaka. Kalau sudah ada senjata, ada yang dijual, kalau tidak dipakai (akan) usang, kadaluarsa. Jadi analisanya memang senjata diproduksi) untuk dipakai. Karena dengan dipakai itu negara mana pun akan membeli yang baru,” terang Dian.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *