“Saya kira memang kita harus menggalang kekuatan untuk memastikan supaya penyelesaiannya harus dilakukan secara damai, secara diplomatis. Harus dieskalasi. Menurut saya yang rugi sebetulnya kan bukan hanya satu-dua negara, tetapi ini pengaruhnya terhadap stabilitas kawasan, geopolitik, maupun geoekonomi global,”
โKepala Lemhanas, Ace Hasan Syadzily
Perang yang terjadi antara Iran dan Israel terus berlanjut, meski Amerika Serikat dalam hal ini Presiden Donald Trump, telah menyerukan kesepakatan gencatan senjata bagi kedua belah pihak.
Pasalnya, tak lama setelah gencatan senjata resmi dimulai Selasa (24/6/2025), Israel kembali menyerang Iran dengan nenembakkan rudal-rudal ke arah Teheran, namun serangan tersebut berhasil dihalau oleh sisgem pertahanan udara Iran.
Dan tanpa perlu waktu lama Iran pun membalas serangan tersebut. Jadi sersng-menyerang masih terus berlangsumg di tengah situasi gencatan senjata di mana seharusnya semua pihak berkonflik tidak melakukan serangan bersenjata apapun.
Menyikapi serangan yang terus dialamatkan pada negerinya, Iran mengancam akan menutup Selat Hormuz dan parlemen Iran telah menyetujuinya. Jika benar ditutup, maka pasokan energi global akan terhambat dan dampaknya akan dirasakan secara luas oleh negara-negara di dunia.
Sebagai informasi, Selat Hormuz terletak di perairan antara Iran dan Uni Emirat Arab, menghubungkan Laut Arab dengan Teluk Persia. Selat ini menjadi rute maritim terpenting dalam transit pasokan energi global.
Meski belum diterapkan, wacana Iran untuk menutup Selat Hormuz ini patut menjadi perhatian pemerintah Indonesia agar bisa mengantisipasi dampak-dampak yang mungkin akan timbul.
Anggota Komis I DPR-RI dari Fraksi PKS, Sukamta menyebut jika benar ditutup, dampak sangat serius dipastikan akan dialami oleh Indonesia. Ini mengingat pasokan minyak dan gas nasional kita selama ini mengandalkan impor di mana 50 persen di antaranya berasal dari Qatar dan Arab Saudi.
Sebagai konsekuensi lanjutannya, maka harga migas di Indonesia akan naik.
“Itu akan berdampak pada produksi, kemudian transportasi, logistik, pasti akan naik. Dan ada kemungkinan secara umum seluruh dunia akan ada kenaikan inflasi dan penurunan pertumbuhan (ekonomi),” kata Sukamta saat hadir dalam Satu Meja The Forum KompasTV (25/6/2025).
Namun, ia yakin Presiden Prabowo telah mengantisipasinya dengan cara mencari alternatif negara pemasok minyak dan gas untuk Indonesia, misalnya dari Rusia. Terlebih, belum lama ini Presiden baru saja melaksanakan kunjungan kenegaraan ke negara yang dipimpin Vladimir Putin itu.
Duta Besar Indonesia untuk Iran 2012-2016 Dian Wirengjurit mengamini dampak itu. Namun ia menambahkan hal lain yang juga akan terjadi jika wacama penutupan Selat Hormuz benar akan dieksekusi, yakni kemungkinan Iran akan keluar dari NPT (Non-Proliferation Nuclear Treaty) di mana selama ini Iran menjadi bagian daripada perjanjian internasional tersebut.
“Ini lebih parah lagi, berarti Iran tidak terikat dengan aturan NPT yang melarang negara-negara anggotanya membuat senjata nuklir. Buat saya ini akan berdampak Iran melanjutkan upaya memperkaya (uranium)nya lebih intensif. Jadi bayangkan selat ditutup, kemampuan Iran untuk memperkaya dipercepat. Artinya pembuatan senjata nuklir yang namanya breakoutโ breakout itu masa antara merakit sampai bisa diluncurkanโ itu diperkirakan sekarang kurang dari sebulan,” jelas Dian.
“Walaupun belum ada bukti karena belum pernah dicoba ya, riskan, belum dicoba, tapi dipakai. Tapi kalau Iran juga dalam posisi terdesak, semua hal bisa dilakukan, dicoba,” imbuhnya.
Pengamat Militer Andi Wijayanto melihat ada 3 skenario penutupan Selat Hormuz oleh Iran. Pertama, dilakukan sabotase. Kedua, menutup secara militer menggunakan kapal perang. Dan ketiga, Iran menasionalosasi fasilitas-fasilitas yang ada di semenanjung-semenanjung di sekitar Selat Hormuz.
“Yang kedua dan ketiga itu pasti ditanggapi dengan aksi invasi Amerika Serikat dengan negara sekutunya, untuk memastikan prinsip freedom of navigation, itu kepentingan vital Amerika Serikat nomor 1, terjaga. Dan itu akan membuat eskalasi meningkat signifikan,” ungkap Andi.
Untuk saat ini, ia melihat eskalasi konflik antara Iran, Israel, dan Amerika Serikat akan meningkat jika terjadi dua hal: penutupan Selat Hormuz dan serangan darat pasukan Israel untuk menghancurkan 3 fasilitas nuklir Iran di Fordo, Iswahan, dan Nathan.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas), Ace Hasan Syadzily bisa membayangkan bagaimana harga minyak akan mengalami peningkatan yang luar biasa apabila Selat Hormuz benar-benar ditutup.
Oleh karena itu, ia berharap akan afa proses diplomasi yang berjalan untuk meredakan tension ketegangan di sana.
“Saya kira memang kita harus menggalang kekuatan untuk memastikan supaya penyelesaiannya harus dilakukan secara damai, secara diplomatis. Harus dieskalasi. Menurut saya yang rugi sebetulnya kan bukan hanya satu-dua negara, tetapi ini pengaruhnya terhadap stabilitas kawasan, geopolitik, maupun geoekonomi global,” kata Ace.
Peran Indonesia
Untuk mewujudkan perdamaian di antara negara-negara yang saat ini tengah berkonflik, apakah Indonesia memiliki kekuatan untuk turut ambil peran mendamaikan? Cukup kuatkah kedudukan Indonesia di taraf internasional untuk bisa melakukan itu?
Sukamta menilai Indonesia dengan politik luar negerinya yang berasaz bebas aktif, sudah sewajarnya untuk berperan dan tidak tinggal diam. Sementara saat ini, ia melihat Indonesia masih wait and see untuk memutuskan apakah akan turun tangan atau tidak.
“Memang wait and see itu diperlukan karena posisi kita yang jauh, kemudian leverage diplomasi kita juga tidak sebesar negara-negara besar. Tapi tetap saja, saya kira harus mempersiapkan beberapa scenario planning untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan perkembangan konflik. Paling tidak untuk mengamankan dalam negeri kita sendiri,” usul Sukamta.
Meski menganut paham bebas aktif, namun bagi Dian Indonesia belum memiliki daya pengaruh (leverage) yang cukup untuk bisa berperan mewujudkan perdamaian di Timur Tengah. Terutama dalam konteks kekuatan ekonomi.
“Kita tidak bisa bermain karena memang tidak punya leverage. Tolong diingat, masalah utama Palestina ada di dalam Palestina sendiri antara Hamas dan Fatah. Siapa yang berhasil mempertemukan Hamas dan Fatah? China. Siapa yang bisa mendamaikan Arab Saudi dan Iran? China. Loh, kok China? Bukan Islam, bukan apa, malah komunis tuh. Artinya apa? Dia punya leverage. Leverage-nya apa? Ekonomi,” tegas Dian.
Contoh nyata dari besarnya leverage China adalah kemampuan negara tersebut untuk membeli minyak juga melakukan investasi ke Iran dan Arab Saudi. Jadi kedua belah pihak saling diuntungkan, jika China meminta sesuatu, tentu akan dipertimbangkan oleh negara-negara di Timur Tengah.
“Punyakah kita kemampuan itu? Rasanya tidak,” ujar Dian singkat.
Meski demikian, Ace Hasan Syadzily nerpandangan Indonesia tetap harus melakukan upaya-upaya perdamaian, sekalipun tidak memiliki daya pengaruh yang cukup. Tapi Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, kondisi ini mungkin saja bisa dimainkan untuk mendorong terciptanya perdamaian di Timur Tengah.
“Tapi saya setuju bahwa memang yang terpenting buat kita di tengah situasi pergeseran tata hubungan internasional seperti sekarang ini, kita harus memperkuat hal-hal yang terkait dengan potensi (risiko) ketegangan yang bisa menimbulkan efeknya ke dalam negeri. Misalnya memperkuat ketahanan energi kita, meningkatkan ekonomi kita, dan lain sebagainya. Sehingga kita menjadi sangat tidak tergantung lagi,” jelas Ace.

Sementara Andi Wijayanto menyebut satu-satunya peran yang bisa dimainkan Indonesia adalah melalui peran Indonesia dalam International Atomic Energy Agency (IAEA), di mana posisi Dewan Gubernur IAEA salah satunya dijabat oleh wakil dari Indonesia, yakni Duta Besar Damos Agusman sejak 2023.
Ia menyarankan DPR, khususnya Komisi I untuk bertanya pada Kementerian Luar Negeri, bagaimana peran Indonesia dalam Dewan Gubernur IAEA selama ini.
Menurut Andi, Demos harus bisa menjaga agar Iran tidak keluar dari NPT. Untuk diketahuk, IAEA adalah organisasi internasional yang melakukan inspeksi atau pengawasan terhadap negara-negara anggota NPT seperti Iran.
“Jaga agar Iran tidak keluar dari NPT, sehingga pengawasan IAEA untuk proses atau untuk program nuklir energi Iran bisa tetap dilakukan dalam koridor NPT dalam pengawasan IAEA,” sebutnya.
“Kalau Iran keluar dari koridor NPT IAEA seperti yang dilakukan oleh India dan Pakistan, maka kita harus bersiap-siap bahwa Iran akan memiliki senjata nuklir. Kalau Iran memiliki senjata nuklir untuk menyaingi kepemilikan nuklir Israel di Timur Tengah, kalau saya langsung mengasumsikan Arab Saudi pasti juga akan segera memiliki senjata nuklir,” lanjut dia.
WNI di Iran
Sejak kondisi perang memanas, pemerintah telah berupaya melakukan evakuasi terhadap Warga Negara Indonesia (WNI) yang ada di Iran. Namun, berdasaekan data KBRI di Iran, dari 386 WNI yang ada di sana, hanya 97 orang yang sudah berhasil dievakuasi.
Banyak di antara WNI yang tidak bersedia dievakuasi dan memilih tetap tinggal di sana, dengan alasan wilayah tinggalnya masih aman dan tidak termasuk wilayah yang disasar Israel maupun Amerika.
Mantan Dubes Iran, Dian, mengatakan hari ini bukan eranya Kementerian Luar Negeri bisa melakukan evakuasi dengan paksaan, mengharuskan semua WNI di negara konflik untuk kembali ke Indonesia.
Kini, setiap WNI dihormati haknya untuk memilih, apakah mau dipulangkan ke Indonesia, atau mau tetap berada di negara yang tengah dilanda konflik itu.
“Karena banyak yang sudah menikah di sana, punya keluarga. Banyak yang sudah bekerja mapan, berada di tempat yang jauh dari konflik militer itu. Mereka punya hak untuk menentukan nasibnya. Banyak yang memilih untuk tetap tinggal bersama keluarga, tetap bekerja dengan biasa, karena kalau mereka kembali, pertanyaannya simpel, siapa yang bisa menjamin yang bekerja dapat pekerjaan yang sama? Siapa yang dapat menjamin yang berkeluarga dapat penghasilan yang sama di sana sehingga bisa membiayai keluarga?,” jelas Dian.
Dian menjelaskan, jumlah WNI yang ada di Iran dari tahun ke tahun tidak banyak berubah, hanya sekitar 380-an. Karena mereka kebanyakan merupakan mahasiswa penerima beasiswa yang kuotanya tetap, sebagian lainnya menjadi dosen. Dan mereka kebanyakan ada di Kota Qom, kota yang menjadi salah satu pusat pendidikan di Iran.
Sukamta pun setuju dengan penjelSan Dian, bahwa keputusan untuk bersedia pulang atau tidak merupakan hak prerogatif setiap WNI.
Yang pasti pemerintah telah memfasilitasi, mengupayakan, dan menyediakan rencana darurat atau contingency plan jika sesuatu hal yang buruk tiba-tiba terjadi.
“Bahwa sebagian WNI kita memilih untuk di sana dan berhitung pasti akan selamat atau menurut mereka akan selamat, saya kira kita memang tidak bisa memaksa,” kata dia.
Begitu pula dengan Ace, ia menganggap setiap orang bisa menilai dan berhitung, apakah mereka ada dalam kondisi aman atau tidak.
Yang pasti, negara harus selalu mengupayakan perlindungan terhadap WNI di manapun berada, karena itu sudah menjadi tugasnya.
“Tugas negara yang paling penting adalah melindungi warga negaranya. Walaupun tentu, soal apakah warga negara kita yang ada di sana akan kembali atau tidak, itu kan tergantung dari sejauh mana penilaian mereka terhadap situasi eskalasi yang terjadi baik antara Iran dengan Israel, maupun eskalasi antara Iran dengan Amerika Serikat,” ujar Ace.

Dalam kesempatan yang sama, bergabung pula melalui sambungan Zoom, seorang WNI yang baru saja dipulangkan dari Teheran, Iran. Ia adalah Heri Supriono.
Heri menceritakan, proses kepulangannya dari Teheran, dievakuasi ke Kota Baku Azerbaijan, baru diberangkatkan ke Doha Qatar untuk terbang dari sana. Namun, sebelum tiba di Doha, mereka terpaksa diturunkan di Jeddah Arab Saudi, karena ada serangan Iran terhadap pangkalan militer AS di Doha Qatar.
“Bandara Doha ditutup waktu itu dan kita berada di Jeddah selama 7 jam menunggu dibukanya kembali bandara. Lalu setelah itu kita ke Doha dan ke Tanah Air,” kisahnya.
Heri bekerja di Islamic Republic of Iran Broadcasting (IRIB). Kantornya sempat menjadi sasaran rudal Israel. Beruntung, ia selamat dalam kejadian itu.
“Aman, kecuali waktu diserang waktu itu. Tiga ledakan bom yang diduga dari drone dan waktu itu kita baru keluar dari gedung tempat kita bekerja, 10 menit kemudian terdengar tiga ledakan bom keras sekali,” papar Heri.
Bom jatuh di kantor pemberitaan yang jaraknya sekitar 100 meter dari tempatnya bekerja.
Banyak WNI yang memilih bertahan di Iran, Heri mengatakan meteka berada di Kora Qom, dan merekaerasa masih aman dengan kondisi saat ini.
“Kota tempat tinggal mereka yaitu Qom bukan menjadi target utama serangan Israel. Dan di kota Qom mereka merasa lebih aman, tidak seperti yang kami rasakan di Teheran yang setiap malam hampir mendengar suara ledakan beruntun,” jelas dia.
Terkait dengan serangan terhadap 3 fasilitas nuklir di Iran, Heri mengatakan hal tersebut tak luput dari pemberitaan media lokal di Iran.
Ditunjukkan ada kepulan asap tebal yang membumbung ke udara, petugas menyebut asap berasal dari sistem antirudal yang dipasang di sekitar situs nuklir.
“Menurut laporan media yang laporkan, itu adalah sistem rudalnya yang meledak (bukan situs nuklirnya),” jelas Heri.
Leave a Reply