Budiman Tanuredjo
Isu premanisme sempat mencuat. Lalu menghilang, digantikan isu lain. Seperti biasa, begitulah cara kita mengelola kegelisahan: hangat sesaat, panas, dingin dalam sekejap. Tak tuntas, tak menyentuh akar. Unfinished.
Ini contoh masalah tak selesai. Melacak jauh ke belakang soal isu premanisme. Kompas, 19 Januari 1972 menulis: Kadapol Widodo Budidarmo: Tjara2 Pemberantasan Gang: โTunggu dan Lihatโ, Kompas 13 Juni 1980: โSi Premanโ akan ditindak tegas oleh Muspidaโ, Kompas 21 Juni 1983: Ashadi Siregar menulis: Menghadapi Gali dan Perjalanan Kebudayaanโ. Kompas, 16 April 1984 ada berita, Preman Medan Kini Setor Uang kepada Pemdaโ.
Empat puluh tahun kemudian, tahun 2025, kita kembali mendiskusikan soal preman.
Dalam percakapan siniar Ruang Tamu BacktoBDM, pekan lalu, saya bertanya pada Sudirman Saidโmantan Menteri ESDM di era Jokowi. Ia mengiyakan keresahan soal premanisme jalanan. Seorang pengusaha mengamini soal gangguan premanisme yang merepotkan dunia usaha. Praktik itu tak bisa dibenarkan. Tapi menurut Sudirman, ada yang lebih merusak: premanisme politik. Premanisme berdasi.
Kerusakan akibat perilaku preman berdasi bukan sekadar pada fisik atau materi, tapi menghantam ke jantung negara: moralitas, etika, dan kesadaran berkonstitusi. Kita mulai merasa tabu untuk mempercakapkan integritas. Kita kehilangan bahasa untuk menyebut yang benar sebagai benar, dan yang menyimpang sebagai menyimpang. Kita merasa salah tingkah ketika berbicara soal moralitas. Hari gini kok bicara moralitas. Ini zaman edan, menurut pujangga Surakarta Ronggowarsito.
Dalam pengertian klasik, preman adalah sosok yang memaksakan kehendak melalui ancaman, kekerasan, atau intimidasiโbiasanya di luar hukum. Tapi dalam praktik kekuasaan, premanisme bukan sekadar tindakan. Ia adalah cara berpikir: menghalalkan segala cara untuk mempertahankan kuasa dan mengamankan sumber daya. Machiavelli mungkin tak perlu lahir di Florenceโkarena ide-idenya subur di sini.
Hari-hari ini, negara tengah gencar menertibkan pungli, parkir liar, pengganggu investasi. Tentu patut diapresiasi. Tapi mari jujur: premanisme sejati justru tidak selalu berkeliaran di jalan, tapi berseliweran di gedung-gedung pemegang otoritas, di ruang sidang, di ruang tempat peraturan diketok palu, di ruang pencari keadilanโฆ
Premanisme politik memanfaatkan legalitas untuk memperkaya kelompok, mengamankan jabatan, dan mengunci akses kekuasaan. Kita menyaksikan dalam kasus pagar laut, penggelembungan anggaran laptop, pengoplosan bahan bakar, kredit ugal-ugalan tanpa jaminan, penambangan di pulau kecil, jualan vonis hakim. Bekas Pejabat MA Zarof Rizar yang mengaku telah khilaf mengumpulkan uang Rp1 triliun di rumahnya. Ia pun lupa dari mana uang itu berasal. Khilaf saja terkumpul Rp1 triliun, apalagi kalau sadar. Akal sehat publik dikesampinglan. Ugal-ugalan, tapi berbalut legalitas.
Mas Dirman sempat mengirim sampul buku Politik Jatah Preman, karya Ian Douglas Wilson. Saya telah membacanya. Disertasi Wilson di Murdoch University, Australia, menggambarkan betapa eratnya relasi antara kekuasaan formal dan kekerasan informal dalam sejarah politik pasca-Orde Baru. Premanisme bukan lawan negaraโtapi justru bagian dari arsitekturnya.

Di sini, preman tak hanya bersepatu bot, tapi juga berdasi. Tak lagi mengangkat parang, tapi mengetuk palu sidang. Tak sekadar meminta pungli di terminal, tapi menyusun regulasi untuk menyelamatkan kroni. Kita menyebutnya: preman berdasi.
Preman berdasi menggunakan hukum untuk membajak hukum.
โข Aturan diubah demi memperpanjang usia pensiun.
โข Konstitusi diakali untuk meluluskan seseorang.
โข Perundangan dirancang demi menghindari jeratan hukum.
โข Hukum dibuat untuk memperluas kewenangan.
โข Lembaga pengawas dilemahkan secara sistematis.
โข Pegawai antikorupsi disingkirkan.
โข Ketokan palu vonis hakim didiskon dengan imbalan materi
โข Aturan dibuat untuk bisa melakukan penunjukan langsung tanpa tender
โข Peraturan dibuat untuk menguasai kembali aset hutan. Bahasa lain dari nasionalisasiโฆ
Inilah praktik yang disebut constitutional hardballโkonsep yang diperkenalkan oleh Mark Tushnet. Yakni ketika aktor politik menggunakan celah hukum untuk merusak norma demokrasi demi keuntungan sepihak. Lebih jauh, Kim Lane Scheppele menyebut gejala serupa sebagai autocratic legalism: saat hukum digunakan untuk mengubah hukum, suara oposisi disepikan, dan sistem demokrasi dikunci dari dalam.
Kita hidup di masa ketika hukum dibengkokkan, institusi dijinakkan, dan konstitusi diperalat. Demokrasi didekorasi di permukaan, tapi diintimidasi dari dalam. Anggota DPR kehilangan otonomi individu. DPR ada tapi terasa seperti tak ada. DPD ada tapi tak ketahuan manfaatnya atau apa suaranya. Inilah yang oleh Steven Levitsky dan Lucan Way disebut sebagai competitive authoritarianism: sistem demokrasi prosedural yang dijalankan oleh aktor-aktor otoriter. Seakan-akan ada kompetisi tapi kompetisisi terpimpin.
Premanisme hari ini tak hanya beroperasi dari pinggiran, tapi dari jantung kekuasaan. Kekuasaan eksekutif, yudikatif, dan legislatif. Mereka tak lagi mengancam dengan kekerasan, tapi dengan undang-undang, dengan ketokan palu hakim. Tak lagi mengintimidasi secara fisik, tapi dengan tafsir hukum yang dimonopoli.
Mereka tidak sekadar mencuri di terminal. Mereka menyabotase demokrasi dari dalam. Maka ketika negara memberantas premanisme jalanan, tapi memelihara preman berdasi, sesungguhnya yang terjadi bukan reformasi struktural, melainkan hanya pembersihan kosmetik. Kita tertib di luar, tapi rusak dari dalam.
Premanisme hanya bisa dihentikan jika kita memulihkan kesadaran etis tentang kekuasaan. Dan itu harus dimulai dari generasi baru: generasi yang berani bersuara, belajar, dan berpolitik dengan hati nurani serta akal sehat. Generasi yang tidak tersandera atau saling sandera. Karena demokrasi tak akan mati karena satu preman, tapi karena banyak orang baik yang memilih diam.
Leave a Reply