Budiman Tanuredjo
Budaya baru korporasi sedang dirancang Danantara. Chief Operating Officer (COO) Danantara Dony Oskaria yang juga Wakil Menteri BUMN mengeluarkan aturan untuk mengubah budaya lama BUMN menuju budaya baru.
Direksi BUMN tak boleh main golf di hari kerja. Protokol dan ajudan berlebihan harus dihapus. Istri tak boleh ikut cawe-cawe. Ketika larangan itu muncul bisa dilihat sebagai upaya memutuskan budaya lama, budaya feodal, menjadi budaya yang lebih berorientasi pada kerja dan hasil.
Danantara adalah lembaga yang mengonsolidasi kapital dengan menggabungkan BUMN, yang digagas Presiden Prabowo Subianto. Aturan Dony itu ditegaskan kembali oleh Chief Investment Officer (CIO) Pandu Sjahrir saat hadir sebagai pembicara dalam diskusi bertajuk “Danantara Menuju Sovereign Wealth Fund Berstandar Global”, Jumat di acara President Club Forum Bisnis. Hadir sebagai pembicara lain U Saefudin Noer, Penulis Buku Fenomena Sovereign Wealth Fund.
Pandu memaparkan apa yang akan dikerjakan Danantara. Ia mengatakan, Danantara ingin meninggalkan budaya lama dan menuju budaya baru dengan standar korporasi global. Danantara baru beberapa bulan melangkah dengan segala dinamikanya. Sebagai lembaga baru, jangan dibandingkan dengan lembaga sejenis yang sudah berkiprah belasan tahun lebih dahulu.
Budaya atau kebiasaan lama pejabat BUMN boleh jadi itulah yang terjadi selama ini. Budaya ajudan, budaya protokol yang berlebihan, kini masih ditambah tim media untuk mencitrakan pejabat BUMN, memang akan menambah beban anggaran. Lapangan golf kerap dijadikan ajang lobi bisnis nakal. Apa yang dicanangkan Dony dan diperkuat Pandu adalah ikrar simbolik yang hendak merombak budaya kekuasaan di Indonesia yang selama ini sarat dengan privilege, feodalisme, dan nepotisme.
Budaya feodal yang ditengarai Dony sebenarnya juga terjadi di kalangan elite negeri ini. Seorang pejabat selalu datang lengkap, diawali tim advance yang memastikan pejabat duduk dimana, parkir dimana. Sekarang masih ditambah dengan tim media untuk melaporkan aktivitas si pejabat. Aktivitas itu tentunya aktivitas terkurasi untuk membentuk citra diri.
Langkah Danantara perlu diapresiasi. Perubahan budaya semacam itu tidak cukup hanya dengan pernyataan niat. Ada sejumlah prasyarat krusial yang harus dipenuhi agar perubahan tersebut benar-benar mengakar dan tidak menjadi gimmick semata. Prasyarat tersebut antara lain keteladanan dari pemimpin tetringgi.
Perubahan budaya kerja harus dimulai dari atas. Pemimpin utama Danantara—jika ini menyangkut presiden atau pejabat tinggi harus menjalankan secara konsisten gaya hidup yang bersih, sederhana, dan efisien. Tanpa teladan ini, perubahan hanya akan menjadi slogan kosong.
Perlu juga adalah pelembagaan etika. Harus ada perangkat kelembagaan yang mengawal nilai-nilai baru tersebut. Kode etik pejabat publik yang tegas. Aturan pembatasan konflik kepentingan keluarga inti. Reformasi SOP protokoler (termasuk jumlah ajudan, fasilitas perjalanan, penggunaan kendaraan dinas). Tanpa perangkat kelembagaan, budaya lama akan dengan mudah kembali.
Isu lain adalah rekrutmen berbasis meritokrasi. Budaya kerja yang profesional hanya mungkin ditegakkan jika perekrutan komisaris, direksi, staf berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan koneksi. Jabatan strategis tidak diisi oleh “orang dekat” atau “tim sukses.” Praktik patron-client dikikis secara sistematis. Perubahan budaya harus dikawal oleh kontrol sosial. Akses publik terhadap laporan kekayaan pejabat. Transparansi aktivitas pejabat. Media yang bebas untuk mengkritik pelanggaran etik. Ini memberi tekanan moral agar perubahan bukan basa-basi.

Dalam perspektif, Paul Pierson, dengan teori path dependency, menjelaskan bagaimana kebijakan dan praktik masa lalu menciptakan jalan kebiasaan yang sulit diubah. Budaya kekuasaan Indonesia merupakan akumulasi dari sistem birokrasi kolonial, warisan Orde Baru, dan pengaruh politik transaksional pasca-reformasi.
Dalam kondisi ini, mengubah budaya kerja bukan sekadar soal kehendak politik, tapi juga menginterupsi lintasan sejarah yang telah lama mapan. Tanpa momentum politik yang kuat atau krisis sistemik, perubahan seperti yang dijanjikan Danantara akan mudah kembali ke pola lama—karena itulah jalur yang paling “mudah dan dikenali” oleh sistem birokrasi dan politik kita.
Budaya kerja yang menekankan simbolisme kekuasaan (golf, ajudan) adalah ekspresi dari kekuasaan tradisional atau kharismatik. Danantara tampaknya ingin menggeser ke legitimasi legal-rasional, di mana pejabat dinilai bukan dari penampilan atau silsilah, tapi dari kinerja dan kepatuhan hukum. Namun pergeseran ini tidak mungkin berhasil tanpa dukungan kelembagaan.
“Danantara harus mengikuti standar global,” ujar U. Saefudin Noer, banker yang meneliti dan menulis buku soal “Fenomena Sovereign Wealth Funds” Saefudin menjelajahi SWF di sejumlah negara. Saefudin menjelajahi SWF di Norwegia (Government Pensiun Fund), Future Fund di Australia, Khazanah di Malaysia, Temasek di Singapura, State Oil Fund di Azerbaijan dan SWF lain. Namun sayangnya Saefudin justru tidak menyentuh SWF yang ada di Indonesia. Tentunya, ada kisah di balik itu semua. Saefudin mendukung arah Danantara menuju SWF berstandar global dengan memastikan mandat yang diberikan, good corporate governance, dan protokol investasi.
Komunikasi internal maupun eksternal menjadi penting untuk membangun budaya korporasi baru. Sebagaimana dikatakan Duta Besar Sumadi Brotodiningrat dan Duta Besar Bagas Hapsoro perlunya panduan kepada duta besar untuk “memasarkan” apa itu Danantara.
Komunikasi Danantara sempoyongan saat Ray Dalio merumorkan dirinya mundur. Selain Chief Operasional Officer dan Chief Investment Officer perlu juga dipikirkan Chief Communication Officer untuk branding kelembagaan Danantara. Namun, Danantara tetap membutuhkan satunya kata dan perbuatan. Jangan sampai aturan hanya dikatakan tapi tidak dilaksanakan. ***
Leave a Reply