Penulisan Ulang Sejarah Nasional, Untuk Apa?

“…soal pelanggaran HAM tahun 98 itu tidak disebut. Orang mungkin akan menduga bahwa ini paket untuk memberikan legitimasi kepada Orde Baru, di mana Prabowo itu adalah pewarisnya atau pelanjutnya,”

โ€” Sejarawan BRIN, Prof Asvi Warman Adam

Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan sedang menggarap penulisan ulang atau pemutakhiran sejarah nasional Indonesia. Proyek penulisan ini direncanakan akan selesai dalam waktu dekat dan menjadi hadiah ulang tahun ke-80 Republik Indonesia, Agustus nanti.

Proyek pemerintahan Prabowo-Gibran ini banyak menuai polemik, karena dikhawatirkan akan dijadikan satu-satunya versi sejarah yang diakui negara, dan tidak mengakui sejarah yang datang atau ditulis dalam versi lain.

Selain itu, penulisan ulang sejarah bangsa ini juga dicurigai menjadi jalan untuk memuluskan langkah Presiden ke-2 Soeharto untuk mendapst gelar pahlawan nasional. Pasalnya, nampak ada upaya menghilangkan catatan kelam era Orde Baru, salah satunya soal pemerkosaan massal Mei 1998 yang belakangan tak diakui terjadi oleh Menteri Kebudayaan Fadli Zon.

Dalam program Satu Meja KompasTV (18/6/2025), sejumlah narasumber hadir dan berbicara apa pendapatnya tentang polemik ini.

Komisioner Komisi Nasional Perempuan Sondang Frishka Simanjuntak mengaku tak tahu persis apa tujuan utama dari proyek penulisan ini. Hanya saja, ia membaca adanya kemungkinan bahwa ini terkait dengan kepentingan politik tertentu.

“Kepentingan politik tentunya berkaitan dengan para penguasa yang berada saat ini. Dan juga ada yang ingin mungkin diuntungkan dengan munculnya penulisan sejarah ulang. Siapa yang diuntungkan itu yang perlu kita lihat,” kata Frishka.

Adapun soal pernyataan Fadli Zon yang meragukan peristiwa perkosaan massal para perempuan keturunan Tionghoa di Jakarta, Komnas Perempuan sangat menyayangkannya.

Bagaimana bisa, penanganan kasus pelanggaran hal asasi manusia itu mundur? Dulu pemerintah melalui Komnas HAM telah membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dan menemukan fakta-fakta soal kejadian ini. Negara di bawah kepemimpinan Presiden Habibie pun telah mengakuinya bahkan meminta maaf untuk itu.

“Jadi sebenarnya kan di sini kita jangan mundur, Ini sudah ada langkah-langkah yang dilakukan sejak 25 tahun yang lalu dengan membentuk TGPF, kemudian juga sudah dibentuk Komisi Penyelidikan oleh Komnasham di tahun 2003. Jadi harusnya itu maju untuk melanjutkan, jangan lagi mundur-mundur ke belakang,” serunya.

BDM bersama Prof Asvi Warman Adam, Sondang Frishka Simanjuntak, dan Prof Anhar Gonggong.

Kembali pada tujuan penulisan ulang sejarah, Sejarawan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Asvi Warman Adam mencurigai ini sebagai upaya untuk memberi legitimasi pada Soeharto dan Orde Baru. Terlebih Presiden Prabowo yang berkuasa saat ini memiliki hubungan dekat dengan Presiden Soeharto dan Orde Baru.

Ini terlihat dari adanya upaya untuk memperlihatkan keberhasilan Orde Baru dan menafikkan pelanggaran HAM yang banyak terjadi di masa itu.

“Konsep pada bulan Januari itu terlihat memperlihatkan keberhasilan Orde Baru, bahwa pelanggaran HAM itu hanya sekedar ekses dan penghilangan aspek yang merugikan Prabowo Subianto, misalnya soal pelanggaran HAM tahun 98 itu tidak disebut. Orang mungkin akan menduga bahwa ini paket untuk memberikan legitimasi kepada Orde Baru, di mana Prabowo itu adalah pewarisnya atau pelanjutnya,” jelas Asvi.

Sejarawan Anhar Gonggong sangat khawatir jika kecurigaan Prof Asvi benar terjadi. Menutup-nutupi peristiwa atau fakta masa lalu semacam itu adalah kesalahan besar dalam penulisan sejarah.

“Apa yang dilakukan selama Orde Baru itu kan banyak sekali hal-hal yang positif dan negatif. jadi menurut saya kalau sampai dia mau menulis dan mau menjadikan Orde Baru seakan-akan hanya baiknya saja, ya salah. Enggak ada gunanya nulis, merugikan negara,” ujar Anhar.

Anhar pun dengan tegas menyampaikan penolakannya jika penulisan ulang sejarah ini dilakukan hanya mau menunjukkan sisi positifnya saja, dan menyembunyikan sisi negatif yang selama ini menjadi catatan kelam perjalanan bangsa Indonesia.

Ketua Komisi X DPR-RI dari Fraksi Partai Nasdem Furtasan Ali Yusuf tak mempermasalahkan pandangan sinikal dari para sejarawan atau pihak lain yang muncul ke permukaan.

Namun, ia lebih fokus pada tujuan utama penulisan sejarah ini, yakni sebagai kado ulang tahun ke-80 bagi Indonesia.

Hanya saja, ia berpesan agar pengerjaan proyek ini tidak dilakukan dengan terburu-buru. Saat ini target yang diberlakukan adalah buku Sejarah versi baru ini harus terbit di hari kemerdekaan, 17 Agustus 2025, bagi Furtasan itu waktu yang terlalu dekat.

“Tolonglah dalam penulisan sejarah ini jangan terburu-buru, ini jangan ditarget Agustus 2025, ini perlu waktu, perlu uji publik. Jadi, (kalangan) umum tidak curiga,” kata Furtasan menceritakan apa yang ia sampaikan pada Menbud Fadli Zon saat rapat dengan Komisi X.

Apalagi, ketika rapat itu dilaksanakan buku sejarah baru yang dimaksud juga belum rampung dikerjakan, bukunya belum jadi.

Atas dasar itu pula, Furtasan juga tidak bisa menilai ke mana arah sesungguhnya pemutakhiran sejarah ini, apakah untuk melayangkan jalan Soeharto menuju pahlawan nasional, atau bukan.

Budiman Tanuredjo bersama Prof Asvi Warman Adam.

Sosiolog UGM Muhammad Najib Azca terus terang sangat menyesalkan apabila penulisan ulang sejarah ini dibuat hanya untuk alat pembenar bagi langkah-langkah politik pemerintah.

“Saya yakin para tokoh yang sekarang, katakanlah Pak Prabowo, mungkin punya beberapa catatan di masa lalu. Tapi saya kira dengan posisi yang sekarang, dengan posisi beliau yang sudah terpilih sebagai presiden Indonesia, harusnya siap untuk maju ke depan dengan melakukan refleksi kritis di masa lalu. Artinya tidak justru menyusun sejarah sekadar untuk pembenaran bagi beberapa langkah-langkah jangka pendek,” ujar Najib.

Di titik inilah sipil harus kritis dan terus mengarahkan pandangan mata juga perhatiannya. Masyarakst harus menolak upaya penunggalan narasi sejarah dan pemolesan sejarah yang dilakukan pemerintah hanya untuk langkah politik tertentu.

Selain itu, kalangan sipil juga penting untuk bersukap proaktif, memberikan masukan atau kritik terhadap pemerintah terjaut hal ini.

“Jangan sampai akhirnya buku ini menjadi (sejarah) versi tunggal yang menyisihkan cerita-cerita lain yang saya kira sesungguhnya signifikan membangun kesejahrahan kita,” kata dia.

Melihat dari proses penulisan yang ia ketahui sejauh ini, melibatkan banyak tokoh dan sejarawan, Furtasan menilai proyek ini sudah berjalan di jalur yang tepat. Kini, kita tinggal menanti hasil akhirnya.

Namun, ia juga sepakat dengan pernyataan Najib yang meminta masyarakat, khususnya masyarakat yang paham sejarah, untuk proaktif mengawal penulisan ini. Hal itu demi terciptanya buku sejarah baru yang lebih inklusif dan relevan.

“Jangan sampai nanti sejarah ini sudah ditulis, tapi nanti basi lagi. Oleh karena itu semua pihak wajib mencermati betul layak terbitnya itu seperti apa,” kata Furtasan.

Komnas Perempuan selama ini telah melakukan bebragai upaya pengungkapan kebenaran bersama masyarakat sipil juga kementerian/lembaga. Khususnya terkait pelanggaran HAM soal pemerkosaan ratusan Perempuan keturunan Tionghoa di Mei 1998.

Suara korban sudah diperdengarkan, berbagai produk hikum pernah dilahirkan, bahkan Presiden ke-7 Joko Widodo juga telah membuat penyelesaian dengan jalur nonjudisial.

Oleh karena itu ia berharap agar narasu yang dihasilkan dalam buku sejarah baru justru berbunyi sebaliknya.

“Jangan sampai narasi yang dihasilkan nanti menjadi sebuah narasi impunitas, sehingga (memungkinkan) orang-orang yang seharusnya bertanggung jawab di dalam dokumen-dokumen yang sudah dihasilkan ini, seperti memberikan mereka, memuluskan (jalan) untuk mereka bisa mencalonkan lagi,” tegasnya.

Sebagai seorang sejarawan senior, Anhar mengaku untuk menuliskan sejarah secara utuh dibutuhkan waktu yang panjang. Tidak bisa pemutakhiran sejarah dilakukan dalam wsktu yang instan.

Ia pun menyarankan agar peluncuran buku sejarah baru kali ini ditunda.

“Kalau sekarang terlalu mepet dan itu mengapa saya katakan (perlu waktu) sekitar 2 tahun lebih mungkin, karena harus ada penelitian ulang. Dan ini bukan memerlukan waktu satu dua hari, ini memerlukan waktu yang panjang. Menurut saya, saya pikir tunda (rencana peluncuran buku sejarah baru di 17 Agustus 2025) untuk menghasilkan sesuatu yang lebih baik untuk masa depan,” Anhar menyarankan.

Asvi pun sepakat dengan saran yang diberikan Anhar. Baginya, masih ada waktu dan anggaran untuk melakukan penulisan secara lebih mendalam.

Pemerintah menganggarkan dana untuk proyek ini tanpa memberi batasan sampai bulan Agustus, melainkan Desember tahun ini. Jadi, masih ada waktu lebih panjang untuk bisa menggarapnya dengan lebih sempurna.

Jika Anhar mengatakan perlu waktu 2 tahun untuk menggarap ulang naskah sejarah nasional, Asvi menyatakan waktu yang lebih lama, yakni 5 tahun.

“Dalam arti menerbitkan setiap tahunnya itu temuan-temuan baru, metode baru, ataupun perspektif baru sejarah yang belum ditulis selama 20 tahun belakangan ini. Jadi diperlukan 4 tahun untuk itu (usia Indonesia 80 tahun), dan kemudian tahun kelima baru dibuat semacam buku pegangan untuk pengajaran sejarah berdasarkan bahan yang sudah terkumpul dari 4 tahun ini,” usul Asvi.

Jika ini dilakukan, ia berpandangan pemerintahan Prabowo akan mewariskan sesuatu yang baik untuk masa depan bangsa. Mengerjakan dengan hati-hati meski lambat, jauh lebih baik daripada tergesa-gesa dan menimbulkan banyak kecurigaan publik.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *