“Sejarah bukan soal setuju atau tidak setuju. Ia adalah jejak, ia adalah luka, ia adalah pengingat. Ketika seorang menteri menyatakan tidak ada bukti pemerkosaan massal dalam tragedi Mei ’98, kita harus bertanya, apakah ini ketidaktahuan, atau upaya sistematis menghapus ingatan? Bukti memang istilah yuridis, tapi Mei bukan sekedar perkara hukum. Ia adalah kejahatan tanpa pertanggungjawaban. Presiden BJ Habibie, Presiden pada waktu itu bahkan pernah menyampaikan permintaan maaf. Maka ketika hari ini ada yang justru menyangkal, kita sedang menyaksikan bukan hanya pengingkaran sejarah, tapi penghinaan terhadap penderitaan korban. Bangsa ini butuh kejujuran moral. Karena bangsa ini yang menyangkal luka tidak akan pernah bisa sembuh,”
Sebagai sebuah negara, Indonesia memiliki perjalanan sejarah yang tidak semuanya manis untuk dikenang, terutama di era sebelum reformasi.
Pada pertengahan Mei 1998, pergolakan terjadi di tengah masyarakat hingga banyak menimbulkan kerugian, khususnya dialami oleh Warga Negara Indonesia (WNI) keturunan China yang ada di Jakarta dan beberapa daerah lain.
Usaha dan toko-toko mereka dirusak serta dijarah, kalangan perempuan dari mereka pun banyak menjadi korban pemerkosaan oleh kalangan yang konon disebut berbadan tegap dan berambut cepak.
Tak main-main, melansir informasi dari laman resmi Komisi Nasional Perempuan, jumlahnya mencapai ratusan orang perempuan keturunan China yang mengalami pelecehan seksual hingga pemerkosaan pada saat itu.
Dan hingga kini, belum ada pernyataan apalagi upaya tanggung jawab yang jelas dari pemerintah untuk menuntaskan pelanggaran hak asasi manusia 27 tahun lalu itu.
Yang terjadi kini, justru Menteri Kebudayaan Fadlu Zon tak mengakui telah terjadi pemerkosaan massal pada perempuan-perempuan keturunan Tionghoa di masa lalu. Padahal, di era pemerintahan Presiden Habibie, pemerintah telah mengajukan permohonan maaf terhadap para korban dan keluarganya atas pelanggaran HAM besar yang terjadi.
Penyangkalan ini tak pelak melahirkan kontroversi, apalagi pernyataan itu dilontarkan di tengah upaya Pemeritahan Prabowo menyusun ulang sejarah nasional Indonesia, melalui Kementerian yang dipimpin Fadli Zon.
Apa yang disampaikan Fadli Zon, ditakutkan menjadi salah satu bukti bahwa pemerintah sedang berusaha untuk memoles sejarah masa lalu, menutup rapat tragedi yang terjadi, dan hanya menampilkan kisah sesuai dengan kebutuhan kekuasaan.
Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (18/6/2025) yang mengangkat tema “Penulisan Ulang Sejarah Tuai Polemik, Sarat Kepentingan Politik?”, sejumlah narasumber hadir untuk berdiskusi membahas hal ini.
Salah satunya adalah Sejarawan, Prof Anhar Gonggong. Dalam kesempatan itu, ia berada di Jakarta dan menyebut benar terjadi perusakan terhadap toko-toko orang keturunan China dan pemerkosaan terhadap perempuan-perempuan dari kalangan yang sama.
“Pada konteks ketika itu, saya sendiri (mengetahui), karena kebetulan waktu saya mau pulang ke rumah di hadang di Pondok Gede, pasar Kebakar, besoknya saya mendengar dari berbagai anggota masyarakat bahwa ada hal-hal seperti yang dimaksud tadi, ada wanita Tiongkok yang di perkosa tapi jumlahnya enggak disebut,” ujar Anhar.
Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah mempublikasikan laporannya dan menyebut jumlah kasus berdasarkan temuannya. Setidaknya ada lebih dari 50 korban yang ditemukan oleh TGPF. Jumlah ini yang menjadi polemik kemudian, Menteri Kebudayaan Fadli Zon tak mengakui jumlah itu sebagai kejadian “massal”.
Fadli Zon sempat mempertanyakan adakah buku yang memuat peristiwa pemerkosaan massal di tahun 1998? Ia menyebut tak ada bukti atau fakta konkret yang bisa dipegang untuk membenarkan klaim massal itu.

Sejarawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Prof Asvi Warman Adam menyebut ada buku yang telah memuatnya. Buku itu adalah buku Sejarah Nasional Indonesia edisi pemutakhiran yang diterbitkan Balai Pustaka pada 2007.
“Di dalam buku itu ada kalimat yang mengatakan terjadi perkosaan terhadap sejumlah besar perempuan-perempuan keturunan China. Sejumlah besar perempuan itu diperkosa, itu kan massal. Itu menurut saya sama saja, apakah massal ataupun sejumlah besar,” kata Asvi.
Memang namanya tidak dibuka secara gamblang siapa saja perempuan yang menjadi korban kejahatan itu. Para korban pun tak ada yang berani muncul untuk buka suara, bisa malu, takut, berada di bawah ancaman, dan sebagainya. Namun bukan berarti mereka tidak esksis. Mereka ada.
“Misalnya mereka takut bertemu dengan wartawan Tempo. Tapi bukan berarti mereka tidak ada. Buktinya, itu salah satunya Ita martadinata yang ketika akan bersaksi di luar negeri, itu malah terbunuh,” ungkap Asvi.
Masih menanggapi hal yang sama, Ketua Komisi X DPR-RI dari Fraksi Partai Nasdem, Furtasan Ali Yusuf mengaku tak pernah mendengar secara langsung Fadli Zon berbicara hal itu di forum rapat dengan DPR, jadi ia pun mengetahuinya dari pemberitaan di media.
Terkait ada tidaknya kejadian pemerkosaan massal tahun 1998, Furtasan mencoba objektif.
“Saya waktu kejadian ’98 juga memang ada di Jakarta, tahu persis (kondisi krusial) itu. Tapi kan tidak bisa lihat. Tapi kalau sudah dibentuk tim pencari fakta dan ada buktinya, saya pikir itu kan petunjuk ya sebetulnya, tinggal kita diskusikan saja. Kalau memang itu adalah ada faktanya ya harus diakui dong. Tapi kalau misalnya tidak ada, ya kita jelaskan memang tidak ada,” sebut Furtasan.
Sosiolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Muhammad Najib Azca menyebut data yang dipaparkan TGPF sebagai bukti atau petunjuk awal yang sugnifikan dan otoritatif, sehingga bisa dipercaya akurasi datanya.
“Artinya tidak tepat kalau hanya dianggap sebagai rumor seperti yang disampaikan oleh Saudara Fadli. Saya kira ungkapan itu tidak empatik, tidak menggambarkan respon negara yang mestinya lebih empatik terhadap korban dalam konteks sebuah peristiwa yang saya kira sangat dramatis,” ujarnya.
Yang harus dilakukan sekarang adalah melakukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap data awal yang sudah terkumpul dan mencermatinya dengan lebih baik. Najib menyebut, TGPF mengumpulkan data itu masih dalam situasi yang sulit secara psikologis, situasi yang mencekam. Sehingga dimungkinkan belum optimal.
Merespons pernyataan Menteri Kebudayaan Fadli Zon yang menyebut periatiwa pemerkosaan massal itu tidak didukung dengan bukti kuat, Komisioner Komisi Nasional Perempuan Sondang Frishka Simanjuntak langsung membantahnya dengan menunjukkan sebuah buku yang diterbitkan Komnas Perempuan, yang memuat jumlah korban secara detail, serta mengkategkrikan dari mana informasi korban pemerkosaan 1998 didapat.
Jadi ia dapat memastikan, korban-korban yang disebutkan dalam buku itu bukan sebatas angka, namun ada inisial nama, termasuk dicantumkan pula lokasi kejadiannya. Jadi data itu adalah sesuatu yang nyata, bukan karangan imajinatif atau fiktif belaka.
“Tidak mungkinlah imajinatif. Apalagi yang melakukan pencarian ini adalah orang-orang yang dipilih langsung, ditetapkan oleh negara waktu itu, ditetapkan secara resmi, dan terdiri dari kementerian/lembaga yang waktu itu sangat berkuasa seperti Departemen Keamanan dengan Panglima ABRI, ada Kejaksaan, ada Kementerian Peranan Wanita,” jelas Frishka.
Upaya beautifikasi sejarah…
Pemerintah nampak hendak merekonstruksi sejarah nasional dengan nada yang lebih positif, membangun kesan yang lebih baik. Salah satunya dengan tidak mengakui adanya kejadian pemerkosaan massal terhadap masyarakat keturunan Tionghoa di tahun 1998 dan lebih menonjolkan hal-hal baik yang ada dari masa lalu kita.
Apa yang ingin dicapai pemerintah sesungguhnya dengan proyek ini?
Frishka membayangkan penulisan sejarah dengan nada positif ini diupayakan untuk mengubah citra pemerintahan Orde Baru yang saat ini dimaknai cukup negatif dengan segala bentuk otoritarianisme dan korupsi di dalamnya.
“Jadi mungkin dia dengan tone positif ingin merubah image, ingin merubah citra, atau mungkin malah ingin menyimpangi fakta yang sudah ada, karena fakta jelas bicara, di situ kita maju. Kalau ingin tone positif, maka perbuatlah sesuatu untuk memberikan pemulihan kepada para korban yang sudah ada,” tegas Frishka.
Dari sudut pandang sejarawan, upaya pemerintah untuk menuliskan sejarah secara positif bagi Asvi membatasi kemerdekaan mereka untuk menulis berdasarkan fakta.
Dengan menyampaikan keinginannya menuliskan sejarah secara positif, bagi Asvi, Fadli Zon juga sudah bisa dikatakan melakukan intervensi terhadap proyek ini.
“Kita bandingkan dengan apa yang dilakukan pada masa sebelumnya, menteri yang ada pada waktu itu apakah Yono Sudarsono, Yahya Muhaimin, Malik Fajar, mereka tidak mendikte editor utamanya. Mereka diberikan bebebesan penuh,” ungkapnya.
Sementara apa yang terjadi saat ini bukan hanya ada kesan mendikte, tapi juga penulisan sejarah yang dilakukan tidak sesuai dengan metodologi keilmuan. Ini mengacu pada adanya protes yang dikemukakan kelompok arkeologi kepada editor umum dan editor umum malah meminta petunjuk pada menteri.
Namun ia lebih ingin mengomentari pendapat Fadli Zon yang menyebut alangkah malunya Indonesia jika dunia mengetahui bangsa ini memiliki riwayat perkosaan massal.
“Pertanyaannya, siapa yang melakukan perkosaan massal itu? Apakah semua bangsa Indonesia? Apakah cuma golongan atau kelompok tertentu? Bukan semua orang Indonesia pemerkosa. Jadi pikiran bahwa ini memalukan bangsa Indonesia itu tidak tepat,” ujarnya.
Sementara itu, Anhar menyampaikan sebagai seorang sejarawan tak sependapat dengan rencana beautifikasi sejarah sebagaimana rencana Fadli Zon. Sejarawan tidak bisa menghilangkan kenyataan, fakta harus ditampilkan apa adanya. Jika tidak ingin ditampilkan dalam bagian utama buku, setidaknya tetap dimasukkan dalam catatan kaki.
“Mikul duwur mendem jero, tidak ada dalam sejarah, istilah itu salah kalau digunakan, karena sejarah harus menunjukkan fakta yang benar, analisa yang tepat dan sesuai dengan metode yang harus digunakan,” tegas Anhar.

Furtasan pun sependapat dengan para sejarawan, bahwa sejarah seyogyanya ditulis apa adanya, apapun yang terjadi hendaknya diceritakan tanpa ditutupi.
Layaknya sebuah perjalanan, pasti ada yang baik dan ada yang tidak baik. Ia menduga Fadli Zon ingin mengubah kondisi agar situasi lebih baik ke depan.
“Barangkali gambarannya supaya apa yang sudah terjadi mungkin ya akan dilakukan lebih baik lagi lah ke depan. Jangan sampai ada dendam-dendam, segala macam,” ujarnya.
Furtasan menyebut, pada saat rapat Komisi, Fadli Zon menjelaskan alasan utama melakukan penulisan ulang sejarah untuk mengisi periode sejarah yang masih kosong, yakni setelah reformasi hingga masa kini.
Sejarah yang sudah ada ditulis terakhir saat reformasi dan menceritakan perjalanan bangsa sebelumnya. Padahal, hemat Fadli Zon, generasi masa kini juga perlu tahu apa yang terjadi dengan Indonesia dari masa reformasi hingga setelahnya.
Penulisan sejarah oleh pemerintah banyak dikhawatirkan akan membentuk satu format sejarah resmi dan mengalienasi versi sejarah yang lain, misalnya yang datang dari masyarakat atau aktivis.
“Saya kira ini problematik kalau ada klaim bahwa ini adalah sejarah resmi,” kata Najib.
Ia juga mendorong agar pemerintah tidak melakukan pemolesan atau beautifikasi terhadap sejarah. Sejarah adalah cermin diri, ia harus menampilka apa adanya cerita dari diri bangsa ini.
“Jadi jangan sampai dilakukan beautifikasi. Kalau saya khawatir kalau tone positif itu maknanya adalah beautifikasi terhadap sejarah. Saya kira itu problematik, seharusnya cermin itu apa adanya. Apa sejarah peristiwa yang terjadi, bagaimana itu justru menjadi pembelajaran kita untuk ke depan,” pungkasnya.
Leave a Reply