Dua Wajah Connie Rahakundini

Budiman Tanuredjo

Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, Selasa 17 Juni 2025, sore hari agak ramai. Sedang ada hajatan di sana. Peluncuran buku karya Prof Dr Connie Rahakundini Bakrie berjudul โ€œDari Mimpi Peradaban menuju Kelahiran Bangsa Berkesadaran.โ€ Sejumlah tokoh hadir sana. Ada mantan Kepala BIN AM Hendropriyono, mantan Gubernur Jakarta Anies Baswedan, mantan Wakil Kapolri Nanan Sukarna, politisi PDI Perjuangan Ahmad Basarah dan Panda Nababan.

Buku itu sendiri dibahas oleh Hendropriyono, Puti Guntur Sukarnoputri, Soraya Haque, Akbar Faizal, dan Rocky Gerung. Peluncuran buku diawali dengan monolog Connie, tokoh yang beberapa kali saya undang sebagai narasumber di Satu Meja KompasTV. Connie lebih banyak dikenal sebagai guru besar di ilmu pertahanan dan militer. Ilmu-ilmu keras. Ia adalah guru besar di Saint Petersburg, Rusia.

Pembahasan buku karya Connie Bakrie di TIM (17/6/2025). Dari kiri ke kanan: Rocky Gerung, Soraya Haque, Akbar Faizal, Putih Guntur Soekarno, AM Gendropriyono, Connie Rahakundini Bakrie, dan pemandu acara.

Buku yang ditulis Connie, bukankah buku tentang pertahanan atau militer, atau politik global yang selama ini dia sering suarakan. Buku yang terbit dalam dua bahasa Indonesia dan Inggris, lebih merupakan refleksi invididual Connie terhadap relasi manusia dengan manusia, manusia dengan Tuhan dan manusia dengan alam. Connie beberapa kali menyebut tiga pokok penting dalam bukunya: negara paripurna, peradaban, dan bangsa berkesadaran (conscious nation).

Dalam bukunya Connie banyak memetik frase-frase pemikir besar seperti Socrates, Lao Tze, Sun Tzu, Albert Einstein, Confusius, Rabindranath Tagore, dan sejumlah pemikir.

Bagi saya buku Connie mempertontonkan dua wajah Connie. Pada satu sisi, dalam berbagai forum media, ia mempertontonkan akumulasi pengetahuan tentang isu defence, militer, globalisasi, serta politik militer. Tapi dalam bukunya dia banyak menulis soal spritualitas, tentang alam, tentang pengendalian diri.

Pada satu sisi: ia begitu deterministik, penuh energi, ketika berbicara soal tiran. Tapi dalam bagian bukunya Connie menulis: Untuk membunuh seorang tiran di luar sana, engkau harus terlebih dahulu menggulingkannya dari dari dalam dirimu sendiriโ€ฆ

โ€œโ€ฆ Sang Tiran tidak akan terasingkan dengan suara pemilu, dengan dentuman senjata. Ia harus dilucuti dengan menyusupkan nalar kritis ke alam kesadaranmu. Ketika engkau menguasai diri sendiri, dunia mulai berubah. Ini bukan filsafat. Ia adalah akar dari geopolitik, perang seni dan masyarakat. Bangsa adalah cerminan dari rakyatnya. Dan rakyat adalah pantulan dari kedalaman batin.โ€

Connie Rahakundini Bakrie dalam acara peluncuran bukunya di Taman Ismail Marzuki (17/6/2025).

Menarik meresapi kata-kata Connie soal politik. Ia menulis demikian:

Politik, seperti yang kita ketahui, sudah mati.
Ia telah menjadi teater banal-diperankan oleh boneka, ditulis oleh ketakutan, dan dibiayai oleh pecundang
Yang paling nyaring akan naik ke permukaan
Yang paling pijak terbenam ke dalam dasar realitas
Janji diperdagangkan dengan suara
dan kepemimpinan digantikan oleh kompradorโ€ฆ

Tetapi politik pada galibnya adalah suci
Ia adalah alkemia takdir kolektif
Ia adalah arsitektur impian masyarakat
Ia cara kita merancang realitas bersamaโ€ฆ

Politik lama dibangun dengan ketakutan:
kontrol, intrik, pengawasan, dan manipulasi
Ia tumbuh dari kehausan kuasa
Dan berbuah dalam perpecahan

Namun politik masa depan lahir dari kejernihan
Ia terbuka, mengalir, dan teguh pada visi bersama
Pemerintahan yang sadar adalah pemerintahan yang mendengar ke dalam
Sebelum berbicara ke luarโ€ฆ

Connie pun berbicara soal budaya masa depan:

Budaya masa depan harus merebut kembali media sebagai
Instrumen pencerahan, bukan propaganda
Cermin kesadaran, bukan megafon ketakutan
Panggung kebersamaan, bukan arena polarisasi
Jurnalis dan pencipta konten bukan lagi sebagai pengguggah sensasi, tetapi sebagai penjaga frekuensi batin publik โ€“ penata ritme emosi kolektif, kurator bagi kestabilan jiwa sosial..

Connie menulis soal masyarakat yang jujur adalah masyarakat dimana:

pemimpin tidak berdusta, media tidak manipulatif, dan warga tidak berpura-pura.
Ia adalah masyarakat tak terintimidasi kala bersuara, berbeda atau bermimpiโ€ฆ

Saya memahami huruf demi huruf, kata demi kata, kalimat demi kalimat yang ditorehkan Connie adalah hasil eksamen dalam tradisi Ignasian atau pemeriksaan batin terhadap situasi kemasyarakatan. Kalimat itu merespon realitas secara substantif dengan cara lembuh, menyentuh kesadaranโ€ฆ.

Wajah Connie di televisi dan podcast berbeda dengan wajah Connie di buku ini. Lebih spiritual, lebih ke kearifan lokal, lebih pada pengendalian diri sendiri sebagai satu faktor kunci. ***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *