Rezim Silih Berganti, Korupsi Tak Juga Teratasi…

“… kita seperti di ruang treadmill effect, udah lari, enggak ke mana-mana, udah gembrobyos, tapi enggak ke mana-mana,”

โ€”Akademisi sekaligus Politisi Partai Demokrat, Ahmad Khoirul Umam

Korupsi di Indonesia bukanlah hal yang baru terjadi kemarin sore. Kejahatan kerah putih ini sudah berlangsung lama sejak sebelum masa kemerdekaan dan masih terus terjadi hingga hari ini.

Bukan didiamkan, Negara juga pemerintah dari rezim ke rezim telah berupaya memberantas korupsi yang merugikan rakyat melalui berbagai cara, misalnya mengaktifkan sejumlah lembaga untuk menyelidiki dan menangkap pelaku korupsi, membentuk Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pasca reformasi, juga menggencarkan pendidikan antikorupsi di tengah masyarakat.

Namun, semua upaya itu ternyata belum mampu benar-benar menumpas korupsi. Yang terjadi justru korupsi semakin menjamur, pelakunya bisa siapa saja, dan jumlahnya kian menggila. Bayangkan, ratusan triliun rupiah kerugian negara ditemukan untuk satu kasus korupsi. Jelas, di luar nalar berpikir manusia normal.

Lantas apa kesulitan yang dihadapi Indonesia, dalam hal pemberantasan rasuah ini?

Doktor Ilmu Politik yang fokus pada kajian antikorupsi, Ahmad Khoirul Umam menyebut kebutuhan utama dalam upaya memerangi korupsi adalah adanya garis komando tegas dari pimpinan tertinggi. Seorang pemimpin tertinggi, untuk konteks Indonesia adalah presiden, harus memiliki keinginan politik (political will) yang kuat dan terukur untuk bisa menumpas korupsi. Ia harus tahu, sektor-sektor mana yang harus diperbaiki, dan memperbaikinya secara bertahap.

“Kalau misal tidak, maka kita seperti di ruang treadmill effect, udah lari, enggak ke mana-mana, udah gembrobyos, tapi enggak ke mana-mana,” kata Umam dalam siniar Back to BDM.

Terlebih, Indonesia menggunakan multi anticorruption agencies strategy untuk memberantas korupsi. Tak hanya KPK yang dikerahkan, tapi juga kejaksaan, kepolisian, juga inspektorat lembaga pengawas lainnya.

Lembaga-lembaga itu harus diorkestrasi dengan komando dan keinginan politik yang kuat dari pemimpin tertinggi. Jika tidak, maka fokus pemberantasan korupsi tak akan berjalan harmoni.

Untuk itu, dukungan dan masukan konstruktif harus terus diberikan pada Presiden, karena itu sangat diperlukan.

Political will itu bukan sesuatu yang sifatnya personally entrench, memang dia orangnya hebat, dia memang orangnya tegas, enggak. Saya memercayai bahwa itu sesuatu yang politically nurtured, dia dibentuk oleh politik,” ujarnya.

Ahmad Khoirul Umam dalam Back to BDM.

Jadi, tekanan politik yang proporsional harus terus dilakukan saat Presiden memutuskan, misalnya untuk memperkuat dan mengintegrasikan sejumlah lembaga untuk menangani korupsi di Indonesia. Semua harus terus saling menguatkan, semua harus terus saling mengingatkan.

Di tahun 2019, KPK sempat “dilemahkan” melalui UU KPK yang direvisi. Tak berhenti disitu, puluhan pegawai KPK yang dinilai berintegritas juga disingkirkan melalui Tes Wawasan Kebangsaan (TWK).

Umam melihat hal-hal itu sebagai upaya oligarki menyerang KPK, karena KPK terlalu kuat dan berani mengganggu kepentingan mereka. Hal semacam ini lumrah terjadi, tak hanya di Indonesia, ketika lembaga antikorupsi bekerja agresif menyasar jantung-jantung kekuasaan, maka lembaga itu juga akan diserang balik oleh kekuasaan.

“Apa yang terjadi di KPK itu adalah repetisi dari sejarah yang sudah menghilangkan praktis barangkali 7 lembaga antikorupsi di Indonesia. Ketika dia sudah menyasar jantung kekuasaan dan ada yang merasa tidak nyaman,” sebut Pengamat Politik dari Universitas Paramadina itu.

Umam menjelaskan, yang terjadi pada KPK hari ini melalui revisi UU KPK bukanlah upaya menata ulang KPK, tapi merepresentasikan sifat kekuasaan secara umum di Indonesia, baik kekuasaan eksekutif, legislatif, dan level yang lebih mikro di sekitaran KPK itu sendiri yang menginginkan KPK dikurangi kewenangan dan otoritasnya.

Pemberantasan korupsi di Indonesia saat ini memang tidak hanya mengandalkan kerja KPK, tapi juga kepolisian dan kejaksaan. Maka, ego sektoral masing-masing institusi pasti akan muncul dan menghasilkan benturan dan friksi tertentu. Agar itu tidak terjadi, maka perlu peran presiden untuk menyinergikan dan mengimbangkan peran ketiga lembaga negara itu.

“Kalau misal itu bisa dilakukan tanpa ada benturan-benturan institusional yang jauh lebih optimal, saya pikir (pemberantasan korupsi yang maksimal) bisa dilakukan. Dan itu bisa dilakukan hanya kalau ada backup dari Presiden,”

Lembaga yang saat ini terkesan lebih lincah membongkar kasus korupsi adalah Kejaksaan Agung, bukan KPK yang loyo pasca revisi UU KPK. Presiden juga nampak memberikan dukungan besar pada Kejaksaan Agung melalui penugasan TNI untuk mengamankan kerja-kerja kejaksaan.

Namun perlu diingat, mengacu UU KPK yang baru, lembaga itu masuk ke ranah eksekutif, artinya langsung di bawah kekuasaan presiden. Maka, Umam mengatakan alat kekuasaan ini harus dimanfaatkan dengan baik agar tidak berujung mubazir.

Budiman tanuredjo dan Ahmad Khoirul Umam dalam Back to BDM.

Menilik sejarah dibentuknya, KPK merupakan lembaga yang didirikan khusus untuk menangani korupsi saat lembaga lain yang sudah eksis ketika itu yakni kejaksaan, tidak bisa maksimal mengerjakan tugas pemberantasan korupsi.

Tapi sekarang, KPK dilemahkan, seolah-olah dibuat tidak relevan lagi dalam pemberantasan korupsi. Di sisi lain, kejaksaan kini tampil sebagai lembaga yang siap, matang, dan lincah dalam hal penanganan korupsi.

Apakah ini upaya untuk mengalihkan peran utama pemberantasan korupsi dari KPK, kembali ke kejaksaan?

Terlepas dari revisi dan upaya pelemahan lain yang telah dilakukan terhadap KPK, Umam menilai KPK sudah mencoba meyakinkan publik bahwa mereka tetap independen, bebas intervensi, dan mampu bekerja secara profesional.

Agar kesan kinerja kejaksaan atau kepolisian lebih mentereng ketimbang KPK tidak muncul, Umam berpandangan perlu adanya formulasi yang sama di setiap lembaga untuk menentukan kasus mana yang harus dijadikan prioritas. Misalnya, kasus yang memiliki dampak besar terhadap sosial, ekonomi, masyarakat, dan negara adalah prioritas yang harus didahulukan.

“Itu yang perlu ditata lebih optimal, mana yang diprioritaskan. Ketika strategi memprioritaskan itu clear, maka asumsi-asumsi seperti tadi bisa ter-minimalizer dengan baik,” jelas peraih gelar Doktor dari Flinders University Australia itu.

Selama ini stigma atau anggapan yang muncul bahwa yang menjadi target sasaran adalah mereka orang-orang yang bersuara kritis, oposan, pihak yang menentang kekuasaan, kelompok di luar garis kepentingan, dan sebagainya.

“Kalau misal tidak bisa dijelaskan dengan terbuka mana yang menjadi wilayah prioritas sehingga kemudian ada kesan politisasi, maka itu menjadi sebuah kekhawatiran yang barangkali bukan hanya di level partai-partai politik, tetapi juga teman-teman kepala daerah, termasuk juga para aparat dalam konteks ini administrator kenegaraan,” papar Umam.

Selain itu, KPK sendiri juga harus bisa membuktikan lebih keras, bahwa ia bukanlah lembaga yang ada di bawah kontrol kekuasaan manapun, KPK bukan alat politik dari kekuatan kelompok tertentu.

Revisi UU KPK dan TWK bentuk operasi politik

Anggapan bahwa KPK coba dilemahkan memang tak bisa dibendung. Dipretelinya kewenangan KPK melalui revisi undang-undang, disingkirkannya pegawai dan pejabat yang berintegritas melalui TWK, keduanya menjadi dasar utama publik menilai KPK benar-benar tengah dilumpuhkan. Apalagi, dua upaya itu dilakukan saat KPK menunjukkan kinerja baiknya, membongkar kasus-kasus korupsi besar di negeri ini.

Terlebih, sebagian dari pegawai yang dinyatakan tidak lulus TWK itu ditarik masuk ke kepolisian dan sebagian lainnya masuk ke lembaga pemerintahan yang lain. Itu artinya, secara tidak lamgsung menunjukkan bahwa orang-orang itu memiliki kualitas dan kompetensi.

Uji TWK yang menyatakan mereka tidak lolos hanya bentuk operasi politik?

Secara pribadi, Umam juga tidak setuju dengan proses TWK ketika itu, karena ada banyak hal dari proses TWK itu yang tidak bisa dijelaskan secara logis. Prosesnya pun tertutup.

“Jadi kalau ada evaluasi, itu harus dibuka, terutama di internal KPK. Jangan sampai itu menjadi yurisprudensi yang nanti bisa digunakan lagi di dalam kesempatan yang lain, ketika ada ruang politik yang berubah, ada dinamika kekuasaan yang bergeser (maka operasi politik semacam itu sah dan bisa dilakukan),” kata Umam.

Keterbukaan informasi publik penting dikedepankan, demi terciptanya tata kelola pemerintahan yang transparan, kuat, dan produktif. Jangan batasi informasi yang seharusnya menjadi hak publik untuk mengetahuinya.

Ahmad Khoirul Umam dalam Back to BDM.

Revisi UU KPK 2019 yang diduga menjadi operasi melemahkan KPK, disahkan oleh DPR yang notabene adalah anggota partai politik. Pertanyaannya, apakah partai politik memang menghendaki melemahnya pemberantasan korupsi di Indonesia?

Menjawab pertanyaan ini, Umam yang kini menjadi politisi dan bergabung dengan Partai Demokrat itu justru mempertanyakan, apakah sejak awal partai-partai politik di DPR diajak berembuk secara teknis membahas pasal per pasal yang akan menjadi materi revisi UU KPK. Jangan-jaangan tidak.

Sebagaimana ia jelaskan sebelumnya mengenai target-target penumpasan korupsi yang tidak jelas, bisa jadi partai-partai politik itu sesungguhnya khawatir menjadi sasaran tembak penegakan hukum yang seolah parsial, karena dimotori kekuatan politik ekonomi tertentu.

“Kalau (kriteria target penanganan korupsi) itu bisa di-clear-kan, saya pikir teman-teman partai juga banyak yang punya cara pandang optimis. Mereka juga ingin memperbaiki negara, tetapi jangan dijadikan sebagai alat bargaining yang justru akan menyandera satu sama lain,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *