Gagasan Perubahan UUD 1945, Presiden Dipilih Langsung, Wapres Dipilih oleh MPR

Budiman Tanuredjo

Gagasan menyempurnakan UUD 1945 kembali bergulir. Politisi Golkar, Ahmad Doli Kurnia menggelar Politics and Colleague Breakfast (PCB) bertajuk โ€œMenimbang Amandemen Konstitusiโ€ dengan menghadirkan pembicara Jimly Asshidiqie, mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) dan mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP). Saya sendiri diundang sebagai wartawan yang mengikuti dinamika pembahasan UUD 1945 dan perkembangan politik kontemporer.

PCB digelar sambil sarapan pagi di Jumat pagi, 13 Juni 2025. โ€œKarena biasanya kehidupan politisi berlangsung di ruang gelap dan malam hari,โ€ ujar Doli, anggota DPR Fraksi Partai Golkar dari Daerah Pemilihan Sumatera Utara III. PCB akan menjadi titik kumpul politisi dan aktivis masyarakat sipil untuk memperbincangkan isu politik, demokrasi di ruang publik secara terbuka. Jimly pun menyambut baik PCB dengan fokus pada kajian konstitusi. โ€œSaya siap jadi dewan penasihat,โ€ ujarnya.

Reformasi konstitusi telah dirampungkan Agustus 2002. Kini, sudah 23 tahun. Dalam berita Kompas, 12 Agustus 2002, ditulis: โ€œKetua MPR Amien Rais: Perubahan UUD 1945 Lompatan Besar.โ€ Kini, tahun 2025, saatnya untuk melihat amandemen konstitusi.

โ€œSaatnya untuk melihat kembali konstitusi,โ€ ujar Doli.

Doli melihat ada sejumlah hal yang perlu didalami. Misalnya soal pemantapan ideologi negara Pancasila, penataan lembaga negara misalnya MK dan MA, MPR, DPR, dan DPD. Efektivitas sistem pemerintahan: apakah ini bikameral, unikameral, atau trikameral, soal desentralisasi, pemerataan ekonomi dan hukum, serta pemberantasan korupsi.

Jimly mengidentifikasi banyak masalah dalam Perubahan UUD 1945. Salah satu yang dia usulkan untuk pemantapan sistem presidensial dan penguatan fungsi MPR. Jimly mengusulkan โ€œyang dipilih langsung melalui pemilihan umum atau pemilihan presiden cukup hanya calon presidenโ€ฆโ€ Sedangkan calon wakil presiden diajukan oleh calon presiden terpilih untuk dipilih oleh MPR.โ€

Dengan desain itu, menurut kalkulasi Jimly, kedudukan MPR menjadi lebih kuat dan penting. Calon wakil presiden dipastikan benar-benar tokoh yang dipercaya sendiri oleh calon presiden tanpa tekanan kompromi antar kekuatan politik yang berkoalisi. Wakil Presiden akan mempunyai dukungan kuat dalam membantu Presiden karena memilih jaringan dan dukungan politik di MPR.

Jimly mengatakan, meskipun Wapres dipilih MPR, statusnya tetap sebagai wakil kepala negara dan wakil kepala pemerintah, tidak dikonstruksikan sebagai kepala pemerintahan seperti Perdana Menteri di Prancis atau Perdana Menteri Rusia. Wapres meski dipilih MPR tetap bertugas mewakili, membantu dan mendampingi Presiden sebagain kepala negara dan kepala pemerintahan.

Dari kiri ke kanan: Sekretaris PCB Zaenal Budiyono, Ahmad Doli Kurnia, Jimly Asshidiqie, dan Budiman Tanuredjo dalam PCB (13/6/2025).

Jika melihat teks konstitusi pasal 6A UUD 1945 ditulis: โ€œPresiden dan wakil presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyatโ€. Namun dalam pasal 18 ayat 4: โ€œGubernur, Bupati dan Walikota masing-masing sebagai Kepala Pemerintah Daerah Provinsi, Kabupaten dan Kota dipilih secara demokratis.โ€

Ada dua tafsir di sana. Untuk Presiden dan Wapres dipilih satu paket secara langsung oleh rakyat. Adapun kedua, pemilihan gubernur, walikota dan bupati โ€“ tanpa menyebutkan wakil โ€“ dipilih secara demokratis. Apakah pengubah UUD 1945 memang berniat membedakan antara pemilu presiden dan pemilu kepala daerah? Mengapa dalam pilkada hanya gubernur, walikota dan bupati, tanpa wakil.

Ada beberapa pertanyaan juga soal peran Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Konsepnya meniru โ€œsenatorโ€ di Amerika Serikat. Namun peran DPD antara ada dan tiada. Anggaran DPD ada, namun peran politiknya seperti tiada. MPR pun hanya tampak berperan saat ada pelantikan Presiden.

Perlu audit terhadap konstitusi dan kehidupan berkonstitusi. Namun pertanyaan kritisnya adalah apakah bangsa ini menganut supremasi konstitusi atau supremasi parlemen. Supremasi parlemen tampaknya begitu dominan. Supremasi parlemen tampak saat Komisi III DPR me-โ€œrecallโ€ hakim konstitusi Aswanto karena dianggap kerap tak sejalan dengan DPR dan digantikan oleh hakim konstitusi pilihan Komisi III DPR sendiri, melalui proses yang tidak prosedural.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah sumber masalah pada aktor atau pada sistem/regulasi. Sistem telah mengatur namun ketika sistem ditabrak, semua juga membisu. Bisa dilihat bagaimana penerapan UU Kementerian Negara yang melarang menteri merangkap jabatan sebagai CEO/Komisaris. Karena UU Kementerian Negara tidak menyebut wakil menteri, maka posisi wakil menteri seakan bebas menduduk jabatan apapaun. DPR pun kemudian juga diam saja. Padahal ada juga menteri yang merangkap CEO.

Sistem politik Indonesia menghadapi diskoneksi. Keterputusan. Keterputusan antara elite dan massa. Keterputusan antara partai politik dan rakyat. Keterputusan antara wakil rakyat dan rakyat. Keterputusan inilah yang harus dijawab dan disambungkan kembali. Wakil rakyat berangggapan telah membeli suara pemilih, maka dia merasa tak perlu berkonsultasi dengan pemilih di daerah pemilihan. Tarif membeli suara mencapai Rp 16 juta di Barito Utara berdasarkan temuan Mahkamah Konstitusi (MK).

Teknologi bisa menghubungkan keterputusan itu. Teknologi digital bisa menjadi โ€œhubโ€ antara wakil rakyat dan pemilih. Pemilih bisa menyampaikan aspirasi kepada wakil rakyat, dan wakil rakyat wajib menyampaikan aspirasi itu kepada pemerintah. Wakil rakyat pun harus berkonsultasi dengan pemilihnnya ketika akan melakukan voting. Langkah itu mencegah agar parlemen dikontrol oleh oligarki parlemen.

Gagasan menyempurnakan UUD 1945 harus mampu menghubungan keterputusan itu. Partai politik yang berniat ikut dalam proses amandemen perlu mengumumkan kepada publik bahwa ada agenda amandemen dan meminta publik memberikan masukan. Masukan itu sebagai bentuk pelibatan bermakna publik dalam amandemen konstitusi.

Saya sendiri menyarankan agar ada perintah UUD soal lembaga kepresidenan. Di antara banyak lembaga negara hanya lembaga kepresidenanlah yang tidak punya undang-undang. Padahal, dalam diri Presiden melekat atribusi kepala negara, kepala pemerintahan, penguasa tertinggi angkatan, ketua umum parpol, dan kepala keluarga. Bagaimana status itu dibedakan agar tidak menimbulkan konflik kepentingan.

Konstitusi pun perlu merumuskan apa itu demokrasi versi konsttitusi. Sejauh ini, hanya ada dua kata demokrasi, yakni demokrasi ekonomi dan dipilih secara โ€œdemokratisโ€. Banyak orang berdebat soal demoktrasi. Tapi jangan-jangan pemahaman soal demokrasi berbeda sehingga perdebatan hanya bersahut-sahutan tanpa maknaโ€ฆ.

Pertanyaannya, amandemen untuk apa dan untuk siapa? Memang ada permasalahan pada desaian konstitusi, tapi bisa juga terjadi masalah muncul karena bangsa ini belum menjadikan konstitusi sebagai pedoman berperilaku. Jika amandemen konstitusi akan digulirkan ada beberapa risiko yang perlu dimitigasi. Pertama, โ oligarki berpotensi menguasai proses politik, โ  parlemen didominasi kekuatan politik besar yang cenderung pragmatis, proses amandemen dikuasai elite yang minim akuntabilitas terhadap publik, maka amandemen justru bisa digunakan untuk memanipulasi aturan main, bukan malah memperbaiki.***


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *