“Everything is constructed by politics. Semua dikonstruksi oleh politik, termasuk teman-teman yang barangkali merasa I am neutral, not part of political life. In fact they do political works, they do political jobs, dan mereka juga bagian dari aktor-aktor politik…”
โAkademisi sekaligus politisi Partai Demokrat, Ahmad Khoirul Umam
Pengamat politik sekaligus akademisi dari Universitas Paramadina, Ahmad Khoirul Umam resmi menjadi kader Partai Demokrat sejak Maret 2025.
Langkah ini tentu menarik perhatian banyak pihak, lantaran sebelumnya Umam kerap menyampaikan pandangan-pandangan politiknya, dan kini ia ada dalam arena itu sebagai seorang politisi.
Mampukah ia menjaga idealisme yang selama ini dipegang sebagai seorang akademisi ketika sudah masuk dunia politik?
Dalam siniar Back to BDM yang dipandu oleh Budiman Tanuredjo, Umam menceritakan bagaimana proses dirinya yang mengawali karier sebagai seorang jurnalis dan akademisi yang posisinya netral, kini mantap masuk ke dunia politik dan merapat ke Partai Demokrat, partai yang saat ini ada dalam lingkar kekuasaan.
Umam mengaku awalnya ragu untuk mengambil langkah ini, namun ia akhirnya mantap bergabung dengan partai berlambang Bintang Mercy itu setelah secara langsung diajak oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY).
“Yang membuat saya agak oke lah ini tangible, ketika Mas AHY, Ketua Umum Partai Demokrat meminta kepada saya, ‘Mas, hidupkan ruang akademik, ruang intelektual di Partai Demokrat’,” kata akademisi yang mendapatkan gelar doktoralnya di University of Queensland, Australia ini.
Partai Demokrat memiliki karakter khas yang membedakannya dengan partai politik lain. Karakter ini merupakan legacy dari pendirinya, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yakni senantiasa mencoba meletakkan basis intelektual sebagai bagian dalam berpolitik.
SBY berpesan, jangan jadikan politik semata-mata hanya sebagai bentuk memperebutkan suara pemilih, semata-mata memburu kekuasaan, namun jadikan pula ia sebahai ajang untuk pertarungan ide. Jika hanya nafsu kekuasaan yang dikejar namun kosong gagasan, maka politik hanya dimainkan di ranah yang sangat dangkal.
“Kami (akademisi) kalau didorong di ranah itu (ide dan gagasan), dengan segala keterbatasan yang kami miliki, insya Allah kami support. Tetapi tentu butuh kolaborasi dari teman-teman, senior-senior juga banyak di sana, sehingga ruang-ruang yang belum terisi, kita coba untuk isi,” ungkap Umam yang hingga kini masih merupakan dosen tetap di Universitas Paramadina.

Selain ajakan dari AHY, pada dasarnya Umam merasa ada beberapa hal yang mendasari langkahnya untuk yakin masuk ke dunia politik. Salah satunya adalah nalar aktivisme yang sudah terbangung sejak di bangku kuliah. Kebiadaan berpikir kritis, bagaimana melihat negara, memaknai juga mengisi ruang publik, dan sebagainya.
Nalar itu semakin berkembang dan terasah ketika ia 1,5 tahun bekerja sebagai seorang jurnalis Jawa Pos lalu menjadi akademisi di Universitas Paramadina.
Alasan lain ia terjun ke dunia politik praktis adalah keyakinan bahwa sebenarnya tidak ada sesuatu yang tidak terkait dengan politik, tidak ada orang yang bisa dikatakan benar-benar netral dalam konteks politik.
“Everything is constructed by politics. Semua dikonstruksi oleh politik, termasuk teman-teman yang barangkali merasa I am neutral, not part of political life. In fact they do political works, they do political jobs, dan mereka juga bagian dari aktor-aktor politik. Itu yang kemudian dalam diskusi, obrolan dengan teman-teman sekitar, itu memantik saya (bergabung dengan partai politik),” jelas Umam.
Meski ia juga menyadari, di titik ini politik sedang menjadi sorotan mata publik, karena kualitas demokrasi yang terus menurun, baik di Indonesia, maupun dunia. Atas kondisi itu, Umam meyakini waktu akan memulihkan semua. Biarkan waktu mengambil perannya.
Untuk saat ini, Umam melihat memang ada beberapa catatan terkait demokrasi kita, namun indikator-indikator negara demokrasi juga masih berjalan. Misalnya pemerintah masih kerap memperhitungkan suara-suara masyarakat, meskipun tidak sepenuhnya dikerjakan secara tuntas. Sebutlah soal keluhan masyarakat mendapat gas Elpiji 3kg yang langsung ditanggapi oleh Presiden. Atau yang saat ini hangat diperbincangkan, seruan #SaveRajaAmpat yang akhirnya mendapat respons positif dari Presiden.
Atau ketika dua kandidat pemilihan bupati di Barito Utara terbukti menggunakan kekuatan uang untuk membeli suara, Mahkamah Konstitusi (MK) langsung mendiskualifikasi keduanya dan mencari kandidat baru. Ini membuktikan demokrasi masih berdiri dan terus berjalan di negara ini, meski kadang langkahnya harus terseok.
Setelah menjadi seorang politisi, idealisme dan kritisisme seorang Ahmad Khoirul Umam pasti akan mengalami perubahan. Itu adalah hal yang tak terhindarkan, karena sebelumnya ia merupakan individu bebas yang tidak terafiliasi dengan kepentingan politik manapun, sementara sekarang sudah menjadi bagian dari partai politik tertentu.
“Ketika kita sudah masuk dalam satu gerbong tertentu, maka ada batasan-batasan, pakem-pakem yang harus kita ikuti, karena kita tidak berdiri pada satu entitas tunggal. Dulu kita misalnya bebas bersuara, tetapi begitu masuk dalam ruang yang kita sudah berpihak, misalnya menjadi bagian dari entitas kekuatan politik, maka suara kita mereprestasikan kekuatan itu,” sebut dia.
Dalam mengutarakan pernyataan di ruang publik, khususnya berbicara soal politik, harus penuh pertimbangan. Jangan sampai pernyataan yang keluar keluar dari pakem dan berdampak buruk bagi partai, karena dampaknya akan menimpa organisasi secara kolektif.
Meski demikian, ia tetap mencoba menjalankan peran barunya tanpa menabrak pakem-pakem akademis, tetap menjaga integritas sembari tetap berpolitik sesuai dengan tujuan dari Partai Demokrat yang pada akhirnya mengarah pada kebaikan masyarakat luas.
Tidak mudah, namun ia berupaya untuk membuktikan bahwa ruang tabu yang mempertemukan antara politik dan akademik sesungguhnya bisa dijalankan dengan harmoni.
“Di layer itu yang nanti saya mencoba untuk menakar diri, di titik mana saya bisa melangkah, di titik mana saya harus memilih, di dalam konteks bagaimana merenegosiasikan kepentingan dan lain sebagainya. Tetapi sampai di titik ini, rasa-rasanya belum pada satu tahap yang dihadapkan pada sebuah dilema besar. Masih dalam satu takaran-takaran yang cukup proporsional,” akunya.

Kalangan akademisi yang menjunjung tinggi integritas, moral, dan etika memang tetap diperlukan ada di posisi luar yang netral guna memastikan kekuasaan dijalankan dengan baik, tidak disalahgunakan. Namun, Umam juga tak menampik politik terbuka untuk kaum cendikiawan turut ambil bagian. Politik juga membuka pintu dan menyisakan ruang bagi para cendekiawan untuk memberikan sumbangsih keilmuan di dalamnya.
“Tetap ada kontribusi dan relevansi teman-teman di ruang akademik untuk masuk di dunia politik. Tetap ada titik temu yang kita coba. Apakah kemudian nanti ke depan titik temu itu bisa kita extend menjadi lebih luas supaya ruang politik tidak disengage dengan karakter etik, karakter moral, dan juga dunia intelektual tadi,” kata Umam.
Diskoneksi publik dan partai politik
Banyak kebijakan politik yang diputuskan para pejabat legislatif yang tidak mewakili suara publik. Mereka berdiskusi tanpa mengajak serta publik menyampaikan aspirasinya. Ketika aspirasi itu disuarakan dari luar, wakil rakyat yang notabene datang dari partai-partai politik, ternyata tak juga mendengar dan menjadikannya dasar pertimbangan pengambilan keputusan.
Tak heran, muncul anggapan saat ini terjadi diskoneksi atau ketidakterhubungan antara publik dan partai politik yang semestinya menjadi saluran aspirasi mereka di pemerintahan.
Umam yang baru 3 bulan bergabung di partai politik akhirnya bisa menangkap gambar yang lebih besar sehingga ia tahu mengapa semua ini bisa terjadi. Ia memotret apa yang menjadi keluhan publik terkait hal ini, ia juga mendengar secara langsung kesulitan apa saja yang dihadapi teman-teman politisi yang mencoba membangun jembatan untuk bisa terhubung dengan masyarakat.
Jawabannya adalah adanya pergeseran perilaku politik atau shifting political behavior.
“Ada beberapa teman yang sebelumnya di Senayan, kemarin (Pileg 2024) ternyata kurang beruntung, enggak masuk di Senayan. Mereka menestimonikan, ‘Kurang apa? Semua program saya coba jalankan, saya tampilkan, saya eksekusi di hadapan masyarakat. Tetapi yang menjadi titik penentu pengambilan suara itu di serangan fajar, di momentum akhir’. Artinya apa, memori kinerja dalam proses berdemokrasi di masyarakat kita juga kurang terbangun secara optimal,” ungkap Umam.
Jadi, Umam tak membenarkan salah satu pihak. Baik masyarakat, maupun politisi yang memberikan serangan fajar atau money politics, keduanya adalah salah.
Pertama, masyarakat memang sudah merasa tidak terhubung dengan partai politik, sehingga mana saja yang memberikan mereka uang atau keuntungan lain, itulah yang akan dipilih saat di bilik suara. Inilah satu masalah yang harus diurai satu per satu. Perlu ada narasi literasi politik kepada masyarakat, meski akan memakan waktu lama dan dampaknya belum tentu signifikan, namun ini harus dilakukan.
“Jadi kita mulai dari mana? Ya sudah kita mulai dari apa yang bisa kita lakukan. Maka kami di lembaga yang baru, si Partai Demokrat kita coba engage, meskipun juga itu tidak bisa menjawab. Jangankan 100 persen, setengah atau mungkin 10 persennya juga belum memungkinkan. Tapi itu ikhtiar terbatas kita untuk melakukan engagement dengan masyarakat,” ujar Umam.

Dalam wawancara bersama Umam, Budiman Tanuredjo mengusulkan agar dibuat sistem seperti ojek online, di mana mitra pengemudi bisa bertemu dengan pengguna jasa dalam sebuah layanan aplikasi. Begitu juga dengan politik kita, wakil rakyat dan konstituen dihubungkan melalui wadah tertentu yang berbasis teknologi. Di sana, keduanya bisa berinteraksi, menanyakan apa yang dibutuhkan, apa aspirasi yang ingin disampaikan, menyatakan kepuasan atau bahkan ketidakpuasan atas kinerja wakilnya, dan sebagainya.
“Menarik kalau misalnya model-model digital democracy menggunakan aplikasi kita serap. Ide digital democracy dengan membangun basis konstituen yang lebih kritis, lebih aspiratif, tampaknya menarik untuk kita exercise,” Umam merespons ide Budiman.
Dengan adanya sistem digital semacam itu, suara-suara yang muncul bisa dipastikan datang secara organik dari publik, bukan suara-suara sintetis sebagaimana saat ini ramai di media sosial, pengerahan pendengun (buzzer) dalam berbagai kasus politik.
Selama ini, para wakil rakyat menyatakan setuju atau tidak terhadap suatu keputusan politik semua didasarkan pada perintah ketua umum partai, bukan suara dan aspirasi rakyat yang mereka wakili.
Selain itu, tak semua masyarakat memahami isu-isu negara yang sedang dibicarakan kalangan elite politik, hanya sebagian saja yang bisa mengerti. Bahasan para elite tak jarang dianggap sebagai bahasa langit yang tidak dimengerti kalangan akar rumput, sehingga pengambilan keputusan lebih mereprestasikan agenda kepentingan yang lebih besar, bukan pada aspirasi yang genuine dari bawah,” ungkap dia.
Pendidikan politik penting untuk dilakukan. Meski terlihat sulit, namun tahap demi tahap pencerdasan publik harus dimulai. Karakter masyarakat kita memang masih sulit untuk diajak berdiskusi dan berdialog soalan negara, entah karena tidak tahu, sungkan, enggan, atau merasa tidak terhubung.
Berdasarkan pengakuan teman-teman DPR yang kerap mendatangi konstituen di masa reses, mereka merasa program kerja yang dilakukan tidak menjadi perhatian dan basis penilaian masyarakat untuk kembali memilih di pemilihan selanjutnya. Masyarakat seakan acuh tak acuh dengan kerja-kerja politik yang sudah ditunaikan dan lebih melihat siapa memberi apa di masa sebelum pemilihan tiba.
“Ini kan there is something wrong dalam konteks relasi politik antara grass root dengan sistem representasi yang kita miliki,” sebut Umam.
Langkah politik AHY di 2029…
Partai Demokrat tempat Umam berlabuh saat ini dipimpin oleh sosok muda AHY yang merupakan sulung SBY.
AHY pernah maju dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta 2017, namun kalah di putaran pertama. Perjalanan politiknya membawa mantan perwira militer ini menjadi Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR/BPN) di beberapa bulan terakhir masa pemerintahan Presiden ke-7 Joko Widodo.
Rezim berganti, kini AHY menjabat Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan di Kabinet Merah-Putih Prabowo.
Lantas apa rencana politik AHY untuk tahun politik 2029?

Menjawab pertanyaan ini, Umam menyebut pimpinannya itu tengah fokus mengerjakan tugasnya sebagai Menteri ATR/BPN, dan tidak pernah membicarakan soal rencana atau target posisi di tahun politik 2029.
“Mas AHY sebagai Menteri Koordinaror Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan mencoba untuk mengoptimalisasi ruang-ruang yang barangkali kemarin juga belum begitu optimal. Misalnya hal-hal yang seperti infrastruktur-infrastruktur yang sudah terbangun tetapi belum teroptimalkan, coba untuk dicarikan solusi,” ujar Umam.
AHY juga masih fokus membangun kembali kepercayaan investor di bidang infrastruktur dengan menyelenggarakan International Conference on Infrastructure.
Umam pun sepakat dengan sikap fokus pada tanggung jawab sebagaimana dipilih oleh AHY ketimbang sibuk memikirkan sesuatu dan berspekulasi tentang sesuatu yang masih jauh di depan.
AHY pernah memberikan saran dan panduan kepada para kader Partai Demokrat agar terus menjaga diri dan integritas, jangan sampai terpeleset. Apapun tugas yang diberikan, semua adalah ruang pembuktian diri bagi kita untuk mengabdi pada Negara.
“Jadi kata kuncinya tidak terpeleset. Itu bagian dari sikap kehati-hatian. Karena bagaimanapun juga dalam ruang yang sangat-sangat light seperti itu, orang tidak terpeleset pun bisa saja ada yang mencoba untuk memlesetkan. Ini yang selalu beliau ingatkan, jaga diri, jaga integritas dengan baik,” ujar Umam.
Daripada sibuk memikirkan target 5 tahun ke depan, Umam berpendapat lebih baik AHY terap mencoba mengisi ruang-ruang politik yang relatif kosong, meningkatkan keterlibatan publik dalam politik, memperbaiki konektivitas antara partai politik dengan publik dan dunia akademik, dan sebagainya.
“Mungkin konteksnya bukan menyarankan, tetapi mencoba untuk memberikan pemikiran. Kalau saran Mas AHY fokus di situ, istikamah di situ. Adapun nanti soal dinamika politik ke depan, saya pikir masyarakat bisa menilai apakah seseorang layak atau tidak untuk mendapatkan amanah yang lebih besar. Tetapi kalau misal kita menunjukkan komitmen dan juga pembuktian dalam arti yang positif, insya Allah jalan Tuhan akan terbuka,” pungkas Umam.
Leave a Reply