“Selama ini Raja Ampat dikenal sebagai surga terumbu karang… ketika karang tertutup lumpur, karang rusak, ketika bawah laut rusak, terus apalagi yang bisa dibanggakan dari Raja Ampat ketika dia memang dikenal sebagai surga bawah laut?”
โKetua Ekspedisi Tanah Papua 2021 Harian Kompas, Harry Susilo
Siapa tak kenal Raja Ampat, gugus kepulaun di Provinsi Papua Barat Daya. Keindahan bentang alamnya termasyhur hingga ke telinga masyarakat dunia. Kekayaan bawah lautnya adalah harta karun tak ternilai bagi Indonesia. Tak kurang 75 persen ragam terumbu karang dan hayati laut dunia hidup di bawah jernih lautnya.
Saking indahnya, Raja Ampat dijuluki sebagai “Surga Terakhir di Dunia” dan Unesco menobatkannya sebagai Global Geopark pada 2023. Hal itu tentu menjadu kebanggaan dan kehormatan bagi Indonesia.
Sayang, kecantikannya kini ternoda, para pemodal dan pengusaha datang menambang nikel yang banyak terkandung di perut bumi Raja Ampat. Aktivitas pertambangan membuat hijau hutan yang menutup pulau menjadi coklat. Debu bertebaran, perairan keruh, terumbu karang tertutup lumpur, ikan tak lagi mau singgah di pesisir.
Presiden Prabowo Subianto telah mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) atas 4 perusahaan tambang dari 5 perusahaan yang ada di Raja Ampat. Lantas apakah itu cukup untuk mengembalikan kecantikan alam yang terlanjur dirusak? Apa yang harusnya dilakukan sekarang?

Untuk membahasnya sejumlah narasumber hadir dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (11/6/2025) yang mengangkat tema “Raja Ampat, Obral Izin Tambang Duluan Gaduh Belakangan”.
Anggota Dewan Perwakilan Daerah Papua Barat Daya, Paul Vincent Mayor menganggap pencabutan izin itu adalah hal yang sudah selayaknya dilakukan. Namun, dengan izin dicabut bukan berarti masalah selesai. Kerusakan alam sudah terlanjur terjadi, proses perizinan yang melanggar hukum juga kadung dilakukan sebelumnya.
“Proses hukum harus jalan dong, aparat penegak hukum harus masuk. Bareskrim Mabes Polri harus masuk. Biar lakukan pemeriksaan secara terbuka. Biar semua tahu kalau masalahnya belum selesai, izinnya dicabut terus pergi tidak bertanggung jawab terhadap kerusakan yang terjadi, itu tidak benar,” kata Mayor.
Itu untuk 4 perusahaan yang sudah resmi diberhentikan operasinya. Sementara untuk 1 perusahaan yang masih diberi izin menambang, yakni PT Gag Nikel, Mayor berharap akan lebih banyak pekerja yang direkrut dari masyarakat asli Papua. Tidak seperti sekarang yang hanya menjadi penonton, karena mayoritas pekerja didatangkan dari luar Papua.
“Mereka di Papua Barat daya itu kurang lebih 30.000-an orang usia produktif, usia kerja yang nganggur. Kenapa mereka tidak dipekerjakan ke PT Gag Nikel? Dan orang-orang yang bukan orang asli Papua, yang dari luar itu dipulangkan saja ke asal,” ungkap Mayor.
Anggota Komisi XII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Ratna Juwita Sari setuju dengan Mayor. Sanksi harus diberikan pada 4 perusahaan yang kini izinnya telah dicabut, karena kegiatan penambangan yang telah mereka lakukan nyata-nyata menyebabkan kerusakan lingkungan di sekitar area penambangan bahkan di wilayah Raja Ampat yang lebih luas.
“Mereka harus segera melakukan replanting, penanaman kembali, atau diambilkan (dana) dari jaminan pertambangan yang mereka berikan saat mereka mengajukan perizinan, dan lain sebagainya. Harus ada langkah-langkah pertanggungjawaban sebagai bentuk hukuman kepada perusahaan-perusahaan yang sudah beroperasi ini,” ujar Ratna yang terhubung melalui komunikasi video.

Kepala Global Greenpeace Indonesia untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik melihat penyelesaian secara hukum sebagaimana dikemukakan Mayor sebagai sesuatu yang penting, namun ada yang lebih penting, yakni pemulihan atau restorasi lingkungan yang telah rusak.
Sejauh pengalaman yang ia miliki, kawasan bekas pertambangan di sejumlah daerah di Indonesia jika sudah tidak ditambang lagi biasanta akan dibiarkan begitu saja menjadi lubang-lubang besar yang tak jarang memakan korban jiwa, karena terperosok ke dalamnya.
“Kita tahu di Kalimantan itu begitu banyak, di Sumatera juga begitu banyak. Jangan sampai ini terjadi juga di Raja Ampat. Jadi harus dipastikan bahwa setelah IUP-nya dicabut, maka pemerintah harus memastikan ada restorasi di sana,” jelas Kiki.
Raja Ampat wisata berkelanjutan
Oleh karena keindahan alam dan kekayaan hayati di dalamnya, Raja Ampat dipersiapkan oleh pemerintah Indonesia menjadi destinasi wisata yang mengusung konsep keberlanjutan.
Melancong ke Raja Ampat dikenal memerlukan biaya yang tinggi, bukan hanya karena letaknya yang jauh di timur Indonesia, tapi juga sebagai langkah untuk menjaga kelestarian alamnya. Sederhana, semakin sedikit orang yang bisa menjangkau Raja Ampat, semakin terjaga pula kelestarian alam di sana. Raja Ampat memang dirancang menjadi kawasan wisata yang sangat terbatas.
Tak semua kawasan Raja Ampat bisa dijelajah, tak semua perairan bisa diselami, tak semua titik bisa dijadikan spot memancing, tak semua bisa dijadikan spot wahana air. Di sana ada kawasan konservasi perairan dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).
Setiap wisatawan yang datang akan dikenai biaya tambahan yang disebut Kartu Pemeliharaan Jasa Lingkungan, sebagai upaya untuk terus menjaga lingkungan di Raja Ampat.
Ketua Ekspedisi Tanah Papua dari Harian Kompas tahun 2021 Harry Susilo mengaku heran, mengapa Raja Ampat yang sudah didesain sedemikian rupa menjadi wisata berkelanjutan, tiba-tiba di kawasan yang sama ditemukan ada kegiatan penambangan di sana, mengantongi izin pemerintah pula.
“Konsep apa sih yang disiapkan untuk Raja Ampat, itu kan malah ada kebingungan di sana,” ujar Harry.
Pulau Gag, lokasi PT Gag Nikel beroperasi memang berjarak 42 kilo meter dari Piaynemo, salah satu kawasan utama wisata di Raja Ampat. Namun, Harry menyebut Pulau Gag hanya berjarak 5 kilometer dari kawasan konservasi perairan KKP. Di dalam kawasan konservasi perairan itu terdapat zona inti, zona perikanan, zona aquakultur, yang semuanya sangat dijaga.
“Tapi tidak jauh dari situ malah ada tambang. Jadi ini kan semacam ada ironinya ketika pemerintah mengatur ketat soal pariwisata yang berkelanjutan di Raja Ampat tapi justru di lokasi yang tidak jauh juga ada tambang,” sebut dia.
Melengkapi penjelasan Harry, Kiki menambahkan Raja Ampat juga masuk dalam kawasan Coral Triangle, atau Segitiga Terumbu Karang di Samudera Pasifik di mana di bawah perairannya tersimpan begitu banyak jenis terumbu karang, ikan, termasuk spesies unik seperti parimanta.
Kiki menjelaskan, riset menunjukkan, parimanta memiliki jalur migrasi yang melintasi area perairan dari Piaynemo ke Pulau Gag.
“Jadi kalau misalnya di sana dibiarkan menjadi pertambangan, kemudian ada transportasi, ada tongkang yang membawa hasil nikel itu, itu akan mengganggu jalur migrasinya parimanta,” ungkap Kiki.
Adapun soal persiapan menjadikan Raja Ampat sebagai wisata berkelanjutan, Kiki mengingatkan agar pemerintah juga mengutamakan kehidupan masyarakat adat dan masyarakat lokal di sana, sesuai dengan asas keberlanjutan yang harus menjunjung asas berkeadilan.
Mayor yang juga menjadi Ketua Dewan Adat Papua wilayah III Doberay, menyebut selama ini masyarakat adat tidak pernah diajak bicara oleh pemerintah terkait kegiatan besar apa yang akan dilakukan di kawasan mereka. Seperti pertambangan ini.
“Tiba-tiba saja izin datang, mereka jelas ributlah. Otonomi khusus Papua itu, kalau Aceh otsusnya syariat Islam, kalau Papua yang khusus itu syariat adat atau hukum adat. Jadi harus diajak bicara,” seru Mayor.
Mewakili Komisi XII DPR-RI, Ratna berharap pemerintah bisa menetapkan komitmennya untuk Raja Ampat. Apakah benar akan difokuskan menjadi kawasan pariwisata berkelanjutan atau tidak. Jika iya, maka fokus lah di sana, kembangkan seoptimal mungkin.
“Jangan sampai ada kegiatan ekonomi lain yang akan dilakukan yang pada akhirnya malah sangat merugikan. Tidak hanya merugikan masyarakat, namun juga merugikan generasi yang akan datang,” kata Ratna.

Apa yang dilakukan pemerintah sejauh ini dari kacamatan Harry sebagai jurnalis memang membingungkan, penuh kerancuan. Tahun 2009 pemerintah menetapkan kawasan konservasi perairan di Raja Ampat. Kemudian tahun 2017 dijadikan Geopark dan tahun 2023 dilabeli Global Geopark oleh Unesco.
Dari alur itu, seharusnya sudah jelas kemana Raja Ampat ini akan dibawa, yakni didatangkan menjadi pariwisata berkelanjutan.
Namu tiba-tiba pemerintah memberikan izin pertambangan untuk beroperasi di sana. Wisata berkelanjutan dan kegiatan pertambangan, dua hal yang sangat bertolak belakang. Satu mengarah kepada pelestarian, satu lainnya berbasis eksploitasi.
“Selama ini Raja Ampat dikenal sebagai surga terumbu karang. Sebagai salah satu di dalam segitiga terumbu karang dunia. 75 persen lebih terumbu karang dunia itu ada di Raja Ampat. Orang akan lihat seperti juga ketika kami datang ke Gag, ketika karang tertutup lumpur, karang rusak. Ketika bawah laut rusak, terus apalagi yang bisa dibanggakan dari Raja Ampat ketika dia memang dikenal sebagai surga bawah laut?” tanya Harry.
Pada bagian terakhir, Kiki ingin mengatakan pada pemerintah agar melakukan evaluasi menyeluruh pemberian izin pertambangan di pulau-pulau kecil yang ada di Indonesia timur, termasuk di Raja Ampat.
Selama ini, kegiatan pertambangan lebih banyak mendatangkan kerusakan ekologis, kesengsaraan bagi masyarakat, dan merusak ruang hidup mereka.
“Saudara-saudara kita yang ada di (Pulau) Kabaena, yang ada di Halmahera Utara, yang ada di Morowali, yang ada di Pulau Obi, mengalami kesengsaraan akibat kerusakan lingkungan dari tambang nikel. Pemerintah perlu bertanggung jawab untuk itu,” seru Kiki.
Adapun terkait Raja Ampat, ia berharap masyarakat akan terus menbersamai upaya Greenpeace Indonesia untuk memastikan setiap pembangunan yang ada di negeri ini harus berlandaskan pada prinsip kemanusiaan, keadilan, dan Padiatapa (Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan).
“Dan yang paling penting adalah Papua Bukan tanah kosong!” seru Kiki mengakhiri penjelasannya.
Leave a Reply