Ironi Raja Ampat, Kekayaan Alam Dikeruk, Masyarakat Adat Terpuruk…

“4 perusahaan tambang dicabut izinnya, 1 perusahaan diizinkan beroperasi. Apakah ini keputusan berbasis lingkungan atau kompromi kekuasaan dengan modal. Yang dipertaruhkan bukan sekadar nikel, tapi masa depan ekosistem, hak hidup yang belum lahir. Yang terjadi di Raja Ampat bukan hanya eksploitasi tapi bisa disebut ekosida, penggancuran sistem kehidupan, yang tidak bisa dipulihkan dengan uang, undang-undang, atau retorika politik. Pertambangan tak hanya bisa diatur dengan izin teknis, dia harus tunduk pada prinsip keadilan lintas generasi. Sumber daya hari ini bukan milik kita sepenuhnya, tapi titipan bagi anak cucu kita. Jika kerakusan dibiarkan kita bukan sedang membangun negeri, tapi sedang menggali lubang kepatian di tanah yang diwariskan,”

Pemberitaan mengenai adanya 5 perusahaan dan kegiatan penambangan nikel di wilayah Kepulauan Raja Ampat, Papua Barat Daya, memenuhi lini masa publik dalam sepekan terakhir.

Kegiatan penambangan menimbulkan kerusakan alam yang tampak jelas terlihat oleh mata. Kegiatan eksploitasi semacam itu dalam jangka panjang juga dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan ekosistem yang sebelumnya sangat terjaga di Raja Ampat.

Raja Ampat yang dikenal sebagai “Surga Terakhir”, kini terancam rusak. Gugusan kepulauan yang hijau, kini mulai nampak coklat di beberapa titik. Air laut yang semula jernih, kini menjadi keruh. Bahkan, aneka terumbu karang yang notabene menjadi daya tarik dan maskot wisata Raja Ampat, kini diselimuti lumpur akibat sedimentasi efek kegiatan penambangan.

Penjelasan itu disampaikan oleh Kepala Global Greenpeace Indonesia untuk Kampanye Hutan Indonesia, Kiki Taufik dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (11/6/2025) yang mengangkat tema “Raja Ampat, Obral Izin Tambang Duluan Gaduh Belakangan”.

“Kami ke lapangan (2024), kami melakukan beberapa riset dan kami menemukan ada tiga pulau yang memang sudah ditambang. Jadi, kami melihat ada kerusakan di mana totalnya kira-kira sekitar 500 hektar hutan di pulau-pulau kecil itu hilang, sudah ditambang. Dan kami menemukan juga pada saat hujan, karena hutannya sudah hilang maka terjadi sedimentasi. Jadi dibawa oleh air kemudian terlihat sedimentasi di terumbu karang, itu di pesisir,” jelas Kiki.

Penjelasan Kiki diperkuat dengan pengakuan Ketua Ekspedisi Tanah Papua dari Harian Kompas tahun 2021 Harry Susilo, yang juga sempat mendatangi Raja Ampat Juni 2021. Lebih spesifik, Harry mengunjungi Pulau Gag yang kini banyak diperbincangkan, karena ada kegiatan penambangan oleh PT Gag Nikel di sana.

“Itu kondisi perairannya keruh, terutama di pesisir. Sedimen lumpurnya itu sudah menutupi karang dan padang lamun di sana. Dan kalau siang itu debu-debunya terasa sekali, karena hilir mudik truk mengangkut material dari nikel. Terus material nikel itu juga sedimennya terbawa ke laut yang kemudian kalau kita lihat itu yang membuat keruh tadi,” ungkap Harry.

Atas kondisi alam yang rusak ini, masyarakat lokal yang mendiami pulau tersebut sudah pasti mengeluhkan kondisi alam yang rusak.

Akibat air yang keruh, mereka tak bisa lagi mendapatkan ikan di wilayah pesisir seperti biasanya. Kini, mereka harus melaut lebih jauh hanya untuk bisa mendapatkan ikan.

Selain alam yang rusak dan sulit mendapat ikan. Perusahaan tambang yang mengeruk kekayaan perut bumi Raja Ampat ternyata tak melibatkan putra-putri daerah untuk turut bekerja di dalamnya.

Anggota Dewan Perwakilan Daerah Papua Barat Daya, Paul Vincent Mayor menyebut jumlahnya di bawah 10 persen, bahkan hanya 3 persen karyawan di perusahaan tambang itu yang asli warga Raja Ampat atau Papua.

“Kalau kita lihat di sana pekerja orang asli Papua di sana itu di bawah 10 persen. Saya ke sana tahun 2022 untuk pergi cek, itu pekerjanya (asli Papua) mungkin cuma 3 persen. Orang kerja semua dibawa dari luar, kontraktor lokalnya tidak dilibatkan, dibawa kontraktor dari luar. Jadi saya lihat memang benar-benar sumber daya alamnya dikeruk, sumber daya manusianya terpuruk,” kata Mayor.

Tak heran, jika masyarakat lokal menolak adanya kegiatan penambangan di Raja Ampat, karena bukan mendatangkan kemakmuran bagi mereka, justru melahirkan kerusakan alam tempat mereka menggantungkan hidup selama ini.

Jika ada karyawan yang mengaku menolak penutupan tambang di Raja Ampat, Ketua Dewan Adat Papua Wilayah III Doberay itu menjamin karyawan yang keberatan bukan merupakan orang asli Papua, tapi berasal dari daerah lain.

Foto Bersama seluruh narasumber di studio. Dari kiri ke kanan: Harry Susilo, Budiman Tanuredjo, Paul Vincent Mayor, dan Kiki Taufik.

Setelah tagar #SaveRajaAmpat menggema di media sosial, penolakan kegiatan lenambangan nikel di Raja Ampat terus disuarakan, akhirnya Presiden Prabowo Subianto mencabut Izin Usaha Pertambangan (IUP) 4 dari 5 perusahaan penambangan nikel yang saat ini beroperasi di Raja Ampat.

Mayor pun mengapresiasi keputusan Presiden itu. Namun, ia tetap berharap agar Presiden memperhatikan nasib masyarakat sekitar lokasi penambangan dan masyarakat adat yang kini mendapati alam mereka rusak dan tidak mendapat kesejateraan atas kekayaan bumi mereka.

Sama-sama mengapresiasi keputusan Presiden atas pencabutan IUP 4 perusahaan, Kiki Taufik dan Greenpeace berharap ada langkah lanjutan yang lebih signifikan agar kerusakan alam tak berlanjut atau kembali terulang di waktu ke depan akibat pemberian izin pertambangan.

“Tuntutan kami itu adalah Raja Ampat harus diproteksi, full proteksi, dan permanen. Jadi bukan cuma 4 IUP, tapi seluruh izin-izin tambang, baik yang aktif maupun tidak aktif termasuk salah satunya yang Gak Nikel. Kenapa harus dicabut semua? Karena itu satu kesatuan ekosistem di mana cepat atau lambat akan berdampak kepada ekosistem di sekitar itu,”  jelas Kiki.

Tuntutan perlindungan penuh dan permanen diserukan karena ada preseden di mana izin-izin tambang yang dulunya sudah dicabut kemudian perusahaan menuntut pemerintah di pengadilan dan menang, pengadilan memberikan kembali IUP yang sebelumnya dicabut.

Artinya 4 perusahaan tambang yang izinnnya dicabut kemarin, bisa jadi nanti akan kembali beroperasi.

“Makanya call yang besarnya itu adalah kita harus minta, memaksa pemerintah untuk melakukan penyelamatan secara utuh, permanen, dan full protection,” tegas Kiki.

Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mengusulkan agar kelima perusahaan yang ada ditutup semua, tidak seperti saat ini yang hanya ditutup 4 dan disisakan tetap beroperasi 1 perusahaan, yakni PT Gag Nikel.

Keempat perusahaan yang izinnya dicabut adalah PT Anugerah Surya Pratama, PT Nurham, PT Mulua Raymond Perkasa, dan PT Kawei Sejahtera Mining. Sementara 1 perusahaan yang masih diizinkan beroperasi adalah PT Gag Nikel yang masih terafiliasi dengan perusahaan BUMN.

Menanggapi hal tersebut, Anggota Komisi XII DPR dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Ratna Juwita Sari tak sepenuhnya setuju dan lebih menyarankan untuk melakukan evaluasi ulang.

“Kalau saya lebih memilih kata-kata mengevaluasi, sampai kita bisa benar-benar diyakinkan bahwa proses pertambangan yang dilakukan oleh PT Gag ini tidak akan merusak lingkungan yang ada di sekitarnya,” ujar Ratna yang bergabung melalui komunikasi video.

Ia menyebut PT Gag Nikel sudah beroperasi sejak 2018, namun mengapa baru sekarang keresahan ini muncul. Apakah semula perusahaan beroperasi sesuai aturan namun kini melenceng. Atau sejak awal sudah melenceng namun masyarakat tak menyadarinya.

Penyerahan lahan warga…

Berdasarkan hasil Ekspedisi yang ia pimpin 4 tahun lalu, Harry menyebut ada masalah lain yang menghantui masyarakat di Pulau Gag. Masalah itu adalah soal lahan adat yang mereka lepaskan tanpa mereka sadari, kepada perusahaan tambang.

“Saat penandatanganan pelepasan lahan itu, mereka saat itu tidak menyadari, karena hanya disodorkan lembaran (blangko) kosong. Itu yang kemudian mereka kaget, bingung, kok tiba-tiba sudah ada pelepasan lahan. Dan setelah itu mereka khawatir bisa sewaktu waktu terusir dari sana, mengingatkan izinnya (penambangan) cukup panjang,” ungkap Harry.

Terlebih Kiki menyebut konsesi PT Gag Nikel itu seluas 13.000 hektar, melebihi luas Pulau Gag yang hanya seluas 6000-an hektar saja. Fakta ini menambah kekhawatiran warga bahwa sewaktu-waktu bisa saja mereka semua terusir dari sana.

Merespons penyerahan lahan menggunakan blangko kosong, Mayor tegas menyebutnya sebagai perbuatan melawan hukum dan harus diproses secara hukum pula.

Ratna pun sepakat dengan itu, pengalihan lahan menggunakan dokumen yang tidak jelas semacam itu merupakan tindak kriminal terhadap penduduk adat, sekalipun pemindahan lahan itu menggunakan dalih Proyek Strategis Nasional (PSN), kepentingan negara, dan sebagainya.

“Saya sepakat bahwa ini harus diusut tuntas dan dimasukkan ke ranah hukum,” tegas Ratna.

Terkait dengan penambangan nikel di Raja Ampat, sejauh ini berdasarkan penuturan Ratna, bukan merupskan PSN. Namun, eksploitasi alam yang berkaitan dengan hilirisasi biasanya menggunakan kedok proyek negara untuk menekan atau memaksa masyarakat di sana agar mau menerima.

Foto Bersama seluruh narasumber di studio. Dari kiri ke kanan: Paul Vincent Mayor, Kiki Taufik, Budiman Tanuredjo, dan Harry Susilo.

Persoalan lain, Mayor mempertanyakan kemana larinya miliaran uang CSR (Corporate Social Responsibility) PT Gag Nikel yang selama ini tidak pernah dirasakan hadirnya oleh warga.

“Masyarakat di beberapa kampung atau desa di pulau-pulau sekitar yang terkena dampak, itu kepala kampungnya biasanya cuma dikasih kira-kira 10 juta per orang per tahun. Padahal itu orang nambang di situ, ambil nikelnya dan bawa keluar. Itu kan kita tahulah nilainya berapa, miliaran, banyak, itu ke mana,” kata Mayor.

Ia mengaku sudah mendorong Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) untuk mengaudit dana CSR PT Gag Nikel ini sejak 2 bulan yang lalu. Tak hanya diaudit BPK, aparat penegak hukum juga diminta turun tangan untuk menyelidiki hal ini.

“Saya desak saja, aparat penegak hukum cek CSR PT Gag Nikel yang sudah berapa tahun ini hilang,” serunya.

Selain dari 5 perusahaan yang kini 4 di antaranya sudah dicabut IUP-nya, Mayor curiga masih ada perusahaan tambang lain yang belum tercatat keberadaannya. Ia meyakini itu, karena di beberapa kampung yang ada di sekitar Piaynemo terdapat perusahaan sejenis. Hanya saja mereka ini masih mengurus perizinan dan belum beroperasi.

“Yang fatal di sana itu mereka urus izinnya langsung di kementerian, masyarakat adat tidak tahu,” Mayor menyayangkan.

Baginya, otonomi khusus Papua adalah soal tegaknya hukum adat, sama seperti Aceh yang mengedepankan hukum syariat Islam, maka Papua pun harus dihargai keberadaan adatnya, karena itu merupakan falsafah hidup masyarakat di sana.

Menanggapi itu, Ratna memastikan tidak ada perusahaan nikel lain yang sudah berizin dan beroperasi di Raja Ampat selain 5 yang sudah diketahui saat ini. Data itu mengacu keterangan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Laha Dalia.

Adapun perusahaan tambang lain yang dicurigai oleh Mayor semua itu masih dalam proses pemgajuan perizinan dan belum beroperasi.

Melanggar UU Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil

Pembukaan usaha tambang di kepulauan yang ada di Raja Ampat disebut Kuki menyalahi aturan yang tertulis di Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Dalam UU itu, sebuah pulau dikategorikan sebagai pulau kecil jika luasannya kurang dari 200.000 hektar. Pulau Gag hanya 6.000 hektar, masuk dalam kategori ini, namun perusahaan tambang diberi izin beroperasi di sana.

Ratna memegang aturan itu sebagai dasar yang cukup kuat bagi pemerintah untuk mencabut semua izin yang sempat diberikan pada 5 perusahaan tambang di Pulau Gag, termasuk PT Gag Nikel yang saat ini tersisa dan masih memiliki izin operasi.

“Undang-undang itu kan di tahun 2014, sedangkan PT Gag ini mendapatkan izin untuk memulai proses produksi di tahun 2017-2018. Jadi yang memberikan izin itu sudah bisa dipastikan menabrak dari undang-undang yang (ketentuan) pulau kecil itu. Tentu kita harus memberikan punishment kepada yang bertanggung jawab untuk mengeluarkan izinnya dulu, sebelum kita memproses PT Gag ini harus dikemanakan,” jelas politisi PKB itu.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *