Rakyat Perlu Diberi Hak “Me-recall” Wakil Rakyat

Budiman Tanuredjo

Gagasan segar mengenai warga sebagai co-creator demokrasi disampaikan Johannes Haryatmoko, Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP). Terobosan itu diharapkan bisa menyelesaikan stagnasi representasi antara pemilih dan partai politik/anggota DPR (Kompas, 24/5/2025).

Haryatmoko menangkap secara jernih keterputusan hubungan antara warga pemilih dan anggota DPR. Setelah terpilih, anggota DPR tak lagi peduli siapa yang mengantarkan mereka menjadi wakil rakyat dan tak peduli dengan konstituen yang mengantarkan mereka menjadi anggota DPR. Hal serupa juga terjadi pada Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Hampir tak diketahui peranan dan fungsi DPD dalam memperjuangkan aspirasi rakyat di provinsi yang diwakili.

Keterputusan rakyat dan wakil rakyat sudah menjadi fakta sosial. Proses pembahasan sejumlah undang-undang menunjukkan keterputusan tersebut. Bisa dilihat ketika pengunjuk rasa menolak RUU TNI, tetapi DPR tetap mengesahkannya.

Ketika rakyat, sebagaimana tecermin dalam sejumlah survei, menginginkan RUU Perampasan Aset, DPR justru memperlambat dengan berbagai alasan. Ketika sejumlah ahli mempersoalkan UU BUMN yang melepaskan pengurus BUMN bukan sebagai penyelenggara negara, anggota DPR tak menghiraukannya.

Ketika pengunjuk rasa menolak revisi UU KPK tahun 2019, DPR dan pemerintah mengesahkan revisi UU KPK yang terbukti melemahkan KPK. Ketika hasil survei menunjukkan 76,3 persen mendukung Presiden Joko Widodo menerbitkan perppu untuk menyelamatkan KPK, Presiden dan DPR diam saja.

Itulah fakta diskoneksi rakyat dan elite. Keterputusan rakyat dan wakil rakyat itu menimbulkan pertanyaan, anggota DPR mewakili siapa.

Ilustrasi anggota DPR dan pemerintah mengambil keputusan tanpa melibatkan partisipasi publik. Image by Freepik.

Pernyataan Bambang Wuryanto, Ketua Komisi III DPR, bahwa mereka hanyalah ”korea-korea” yang tunduk pada perintah ketua umum partai menegaskan bahwa anggota DPR hanyalah pekerja politik yang dikontrol ketua umum partai. Saat itu, Bambang, menanggapi Mahfud MD, mengatakan, ”Kalau mau mengegolkan RUU Perampasan Aset, lobinya jangan di sini, silakan bicara dengan ketua umum.”

Di tengah menguatnya sentralisasi kekuasaan partai politik, demokrasi kita menghadapi paradoks yang kian mencolok. Rakyat sebagai pemilik kedaulatan hanya menjadi penonton setelah pemilu usai.

Wakil rakyat yang seharusnya jadi perpanjangan tangan rakyat di parlemen justru lebih tunduk kepada ketua umum partai ketimbang suara konstituen. Demokrasi elektoral menjadi prosedur tanpa substansi. Partai tak ubahnya perusahaan pengerah politisi dan dikelola sebagai korporasi politik. Ketua umum ditempatkan sebagai chief executive officer (CEO). Inilah incorporated-democracy.

Dalam situasi inilah Haryatmoko mengajukan gagasan penting: warga harus diposisikan sebagai co-creator demokrasi. Bukan sekadar pemilih lima tahunan, melainkan subyek aktif dalam proses politik sehari-hari. Demokrasi tidak akan hidup tanpa partisipasi yang bermakna. Sistem politik yang sehat hanya akan lahir bila terdapat koneksi yang kuat antara rakyat dan wakilnya.

Representasi terputus

Sistem politik Indonesia saat ini memungkinkan partai mencalonkan legislator tanpa basis akar rumput yang kuat. Setelah terpilih, anggota legislatif lebih banyak mengabdi pada kepentingan internal partai daripada memperjuangkan suara rakyat. Keputusan politik kerap dibentuk di ruang tertutup, jauh dari ruang publik, dan tanpa dialog substansial dengan warga. Realitas ini mencerminkan teori partai kartel yang dikembangkan Richard Katz dan Peter Mair. Partai bukan lagi jembatan antara rakyat dan kekuasaan, melainkan klub eksklusif yang mempertahankan status quo.

Dalam sistem seperti ini, demokrasi menjadi hampa karena rakyat tak lagi merasa memiliki saluran untuk menyampaikan aspirasi setelah pemilu usai.

Ilustrasi keterputusan hubungan antara rakyat dan wakilnya. Image by Freepik.

Bung Hatta pernah memeringatkan ”Demokrasi tanpa partisipasi rakyat akan menjelma menjadi oligarki.” Kalimat ini kini terasa relevan kembali. Demokrasi yang kehilangan jiwanya hanya akan menghasilkan penguasa yang tak punya ikatan moral dengan rakyat.

Menjawab kegagapan ini, Haryatmoko menekankan pentingnya pendidikan kewargaan kritis. Pendidikan kewargaan tidak boleh sekadar hafalan tentang sila-sila Pancasila, tetapi menjadi arena pembentukan kesadaran kritis warga negara.

Warga harus belajar bagaimana memprotes, menagih janji, dan mengorganisasi tuntutan kepada wakil rakyat. Demokrasi tidak cukup hanya diukur dari kelancaran pemilu, tetapi dari seberapa jauh rakyat terlibat dalam mengoreksi kekuasaan.

Gagasan ini selaras dengan pandangan Carole Pateman dalam Participation and Democratic Theory bahwa partisipasi politik mendalam memperkuat kemampuan warga untuk mengawasi kekuasaan. Demokrasi bukanlah sistem yang berjalan otomatis; ia harus dijaga oleh kesadaran kolektif warga.

Nurcholish Madjid menyampaikan bahwa ”Demokrasi bukan hanya hak untuk memilih, tetapi juga kewajiban untuk ikut serta dalam memperbaiki kehidupan bersama.” Pernyataan ini menegaskan, rakyat tidak boleh dibatasi perannya hanya sebagai pemilih pasif.

Mahkamah Konstitusi sebenarnya telah merumuskan dengan baik soal partisipasi bermakna (meaningfull participation). Dalam Putusan MK No 91/PUU-XVIII/2020, MK mengartikan meaningful participation sebagai: (1) hak masyarakat untuk didengarkan pendapatnya, (2) hak masyarakat untuk dipertimbangkan pendapatnya, dan (3) hak masyarakat untuk mendapatkan penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan. Namun, dalam praktiknya, partisipasi bermakna hanya formalitas. Hanya sekadar diundang dengar pendapat umum.

”Recall” dan mosi rakyat

Keterputusan rakyat dan wakil rakyat, rakyat dan partai politik adalah problem terbesar demokrasi sekarang ini. Dalam konteks gagasan warga sebagai co-creator demokrasi perlu dipertimbangkan pembentukan mekanisme ”mosi rakyat” yang memungkinkan warga menyampaikan kekecewaannya secara institusional kepada wakil rakyat yang abai.

Ilustrasi pintu keluar. Pemilih seharusnya berhak meminta anggota DPR untuk mundur jika tidak bekerja untuk kepentingan pemilihnya. Image by Freepik.

Bahkan, dalam jangka panjang, hak untuk me-recall wakil rakyat yang kehilangan legitimasi publik harus dibuka sebagai upaya mengembalikan koneksi antara wakil dan rakyat. Langkah ini sesuai dengan prinsip akuntabilitas vertikal, sebagaimana dibahas Andreas Schedler, yaitu kontrol rakyat terhadap pejabat publik melalui berbagai mekanisme formal dan informal. Tanpa instrumen koreksi semacam ini, demokrasi akan terus didikte oleh elite partai dan oligarki.

Demokrasi sejatinya butuh ruang publik yang deliberatif, tempat warga berdiskusi, menyuarakan pendapat, dan membentuk kehendak kolektif. Jurgen Habermas menyebutnya public sphere, ruang diskursus di mana kekuasaan diuji dan dibatasi oleh nalar publik.

Mendorong warga sebagai co-creator demokrasi berarti membangun ulang ruang publik yang dikerdilkan oleh politik transaksional dan dominasi elite.

Gagasan ”mosi rakyat” kepada wakil rakyat juga selaras dengan hak DPR untuk me-recall pejabat yang dipilih melalui DPR. Itu dituangkan dalam Peraturan Tata Tertib DPR. Jika DPR bisa menambah kewenangannya untuk me-recall pejabat yang dipilih, mengapa pemilih tak bisa me-recall anggota DPR yang tidak hirau dengan kepentingan rakyat.

Demokrasi bukanlah hadiah, melainkan proyek politik yang menuntut partisipasi dan kesadaran. Warga negara tak bisa terus diposisikan sebagai penonton. Sudah saatnya kita memberi ruang kepada rakyat untuk menjadi co-creator demokrasi. Hanya dengan itu, wakil rakyat akan benar-benar menjadi milik rakyat—bukan milik partai.* (Tulisan ini telah dimuat Harian Kompas, Sabtu 7 Juni 2025


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *