“…orang-orang baik yang semula diharapkan bisa memperbaiki pun begitu masuk (kekuasaan) karakternya terbunuh, terus menjadi bagian dari itu (kejahatan). Yang tidak ikut menjadi bagian dari permainan itu akan tersingkir atau akan disingkirkan atau dianggap lu enggak bisa main jadi enggak usah ikut ke sini,”
โKetua Institut Harkat Negeri Sudirman Said
Pancasila telah disepakati para pendiri bangsa sebagai dasar kota dalam bernegara dan berbangsa. Pancasila mencakup 5 aturan hukum dasar yang jika semuanya dijalankan dengan benar, maka Indonesia sebagai negara yang “gemah ripah loh jinawi” Bukan hanya sekedar angan-angan.
Rakyat bermartabat, harmoni, toleran, penuh welas asih. Pemimpin yang adil dan bisa dipercaya. Apa yang bisa salah dengan negeri ini? Tidak ada.
Sayangnya, Pancasila belum benar-benar dijalankan atau diresapi maknanya oleh bangsa ini, terutama oleh para pemimpin bangsa ini.
Hal itulah yang diungkapkan oleh Ketua Institut Harkat Negeri Sudirman Said saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM.
“Kalau Pancasila betul-betul menjadi satu guiding principle, seluruh pejabat negeri ini dari mulai presiden, para menteri, gubernur, bupati, para dirjen, para CEO BUMN yang merupakan orang-orang yang dipandang oleh masyarakat, harusnya menjadi cermin dari Pancasila,” kata Dirman.
Tindakannya mencerminkan ajaran agama yang penuh dengan kebaikan, humanis, berhati-hati, mengedepankan kepentingan bangsa yang besar, demokratis, dan sebagainya.

Kenyataan yang terjadi justru sebaliknya, sangat berlawanan dengan nilai-nilai yang dibawa Pancasila. Dirman menggunakan istilay kehangkrutan moral sehingga kekuasaan berubah menjadi “ladang pebunuhan” atau killing field.
“Bahkan orang-orang baik yang semula diharapkan bisa memperbaiki pun begitu masuk (kekuasaan) karakternya terbunuh, terus menjadi bagian dari itu (kejahatan). Yang tidak ikut menjadi bagian dari permainan itu akan tersingkir atau akan disingkirkan atau dianggap lu enggak bisa main jadi enggak usah ikut ke sini,” jelas Dirman.
Lebih parah, berbicara moral dan etika hari ini dianggap sebagai hal yang terlalu idealis, sok suci, tidak realistis. Moral dan etika memang kini sudah dinomorduakan. Padahal, semua itu penting sebagai dasar dalam mengambil keputusan juga menentukan tindakan. Adalah pekerjaan rumah bagi setiap kita untuk mengembalikan moral dan etika ke kedudukan semestinya.
“Dan memang pekerjaan berat, karena 10 tahun terakhir politik ini menjadi politik yang sangat rendah, sangat primitif. Pokoknya kalau saya berkuasa, saya mau apapun yang lain harus ikut. Mau ngerubah undang-undang dalam sehari, mereka kerjakan. Mau ngangkat anaknya menjadi pejabat tinggi yang belum waktunya, dikerjakan. Mau ngerubah undang-undang sesuai dengan kemauan pribadinya, dikerjakan,” Dirman mengambil contoh nyata yang terjadi beberapa tahun ke belakang.
Semua itu bertentangan dengan Pancasila. Sangat jauh bertentangan. Extreme opposite.
“Dan itu bagi kita saya kira adalah masalah besar yang bisa-bisa menghancurkan pilar-pilar dari Republik ini,” ujar Menteri ESDM 2014-2019 itu.

Panggung kekuasaan hari ini rasa-rasanya tak lagi membuka pintu, apalagi menyisakan ruang bagi orang-orang baik dan kompeten untuk terlibat di dalamnya. Orang-orang berintegritas, bersih, dan lurus, kian hari kian tersisih.
Hari ini, kampus menjadi gelanggang terakhir yang diharapkan bisa menjaga tegak berdirinya kebenaran dan ilmu pengetahuan. Namun, penguasa tak menghendaki kampus bekerja karena bisa menghalangi ambisi-ambisi kekuasaan mereka.
Pendiri Badan Pelaksana Masyarakat Transparansi Indonesia itu mengatakan, jangankan inisiatif baiknya dilaksanakan, idenya sampai ke meja pimpinan pun tidak. Suara mereka digunting di tengah jalan.
“Kampus pun mengalami marginalisasi. Orang yang tidak sejalan sudah langsung distempel,” kata Dirman.
Jadi, jika ada aktor baik dalam politik saat ini, rasa-rasanya ia akan merasakan kesepian. Banyak kawan, tapi tak ada yang benar-benar sejalan bekerja demi kemajuan bangsa.
Nepotisme Merebak
Nepotisme adalah salah satu derivasi dari korupsi yang paling berbahaya, selain tetap menyimpan peluang merugikan keuangan negara, nepotisme juga membunuh sistem meritokrasi.
Badan dan institusi cenderung diisi oleh orang-orang yang dekat dengan kekuasaan, bukan orang-orang yang memiliki kompetensi dan kapabilitas. Dampaknya, persaingan yang terjadi tidak sehat, kekuasaan dan posisi strategis hanya diisi oleh lingkar yang sama secara terus-menerus.
Kesempatan bagi generasi muda yang berprestasi namun tak memiliki hubungan dengan kekuasaan menjadi tertutup.
Dan nepotisme hari ini sudah banyak dipraktikkan di tataran kekuasaan, bahkan di kekuasaan tertinggi negara ini.
“Saya harus mengatakan sebagai dosen, mungkin juga sebagian guru-guru bingung ketika berdiri di kelas. Ada dua gambar kan (presiden dan wakil presiden). Kita kan harus mengajarkan soal kompetisi, pendidikan, usaha, berkreasi, segala macam. Satu gambar tidak menunjukkan itu. Kita bagaimana mau mengajarkan karena gambar itu adalah menunjukkan satu simbol yang kasat mata. Bagaimana seseorang yang belum matang sama sekali dipaksakan masuk ke dalam posisi yang sangat penting. Itu terjadi di level paling atas dari penyelenggaraan negara, wakil presiden kita. Terus bagaimana itu tidak ditiru oleh lapisan-lapisan bawahnya,” jelas Dirman.
Dan berdasarkan informasi yang Dirman dapatkan, praktik itu sudah ditiru hingga ke pemerintahan di tingkat bawah, tingkat desa.
Jadi ada tatanan nilai-nilai yang rusak akibat nepotisme. Nepotisme merusak sendi-sendi meritokrasi yang akhirnya bisa merusak negara. Jika tak punya relasi, maka tak ada tempat bagi seseorang.
“Jarak antara nepotisme dan meritokrasi itu kan sekolah namanya training, proses. Kalau menjadi pejabat negara, menjadi pejabat BUMN, menjadi anggota DPR, DPRD, menjadi bupati, hanya sekedar karena istrinya siapa, anaknya siapa. Betapa rusaknya Republik ini. Dan jangan marah atau jangan komplain kalau ternyata seluruh Republik juga ikut-ikut menjalankan praktik nepotisme ini,” ujar Dirman.
Dulu, kita sempat memiliki undang-undang yang melarang suami/istri atau anak dari pemimpin dilarang mencalonkan diri sebagai kepala daerah atau posisi politik tertentu.
Namun, pasal itu dipangkas oleh Mahkamah Konstitusi (MK) di tahun 2000-an, sehingga tak ada lagi aturan yang membatasi.

Hal lain, kini banyak wakil menteri yang kini rangkap jabatan menjadi komisaris di sejumlah BUMN, karena memang aturan memungkinkan itu. Hanya posisi menteri yang dibatasi dan dilarang oleh undang-undang untuk rangkap jabatan.
“Dulu ada anekdot di antara teman-teman menteri waktu saya di kabinet. Ah, enakan jadi wakil menteri bisa ngerangkap jadi komisaris,” kata Dirman mengingat pengalamannya di kabinet.
Padahal, praktik jabatan ganda semacam yang dilakukan para wakil menteri itu mengurangi tingkat efektivitas kerja di badan-badan yang posisi petingginya diduduki oleh orang yang rangkap jabatan.
“Namanya jadi wakil menteri itu 24 jam sama dengan menteri sebetulnya, cuma mungkin beda portfolio. Sementara biasanya justru para wakil menteri ini ditempatkan di BUMN yang besar, yang strategis, yang harusnya membutuhkan atensi lebih. Jadi, soal waktu sudah pasti enggak bisa maksimal,” jelas Dirman.
Tidak maksimal, pasalnya para wakil menteri itu sering meninggalkan rapat direksi, rapat komisaris, dan sebagainya, jika rapat perusahaan digelar bebarengan dengan rapat bersama Presiden.
Pria kelahiran Brebes itu berharap, jabatan-jabatan yang saat ini dirangkap oleh para wakil menteri ini bisa diserahkan pada sosok-sosok profesional yang jumlahnya tak akan kurang.
Negeri ini memiliki begitu banyak individu bertalenta, hanya saja tidak diberi kesempatan. Padahal, jika kesempatan itu diberikan, BUMN bisa mendapat perhatian penuh, waktu yang penuh dari para pejabatnya. Akhirnya, amanah dari para pemegang saham bisa terlaksana dengan maksimal, keadaan bisnis bisa teramati dengan baik, sehingga kinerja BUMN pun bisa lebih produktif.
“Bukan soal orang menyatakan ini ngiri, tapi lebih pada kenapa sih kita tidak memperlebar cakupan. Dan dengan begitu masalah hukum, masalah conflict of interest, masalah konsentrasi tadi bisa diselesaikan,” ujarnya.

Kondisi yang terjadi saat ini membuat banyak pihak termasuk akademisi merasa muak, malas, hingga memutuskan untuk bersikap apatis dan tidak mau tahu dengan urusan-urusan negara.
Dirman yang merupakan mantan Penanggung Jawab Sementara Rektor Universitas Paramadina itu menyebut ada seorang dosen yang menulis di media online tentang meritokrasi, ia justru dipermasalahkan dan mendapat ancaman. Dari sana, akademisi ini mulai berpikir untuk tidak lagi ikut-ikut menyinggung soalan negara, daripada kehidupnya terancam.
“Itu sebetulnya satu kehilangan besar kalau pusat-pusat pikiran kritis itu dimatikan. Kenapa? Karena sesungguhnya bangsa yang maju itu bangsa yang pandangannya, idenya terus-menerus tumbuh. Dan dari cara pandang berbeda itu ide-ide baru muncul,” jelas Dirman.
Kini, ide berbeda tak lagi diakomodasi, orang yang mengemukakan pandangan lain akan langsung disingkirkan. Jadi, Dirman berpesan bagi teman-teman yang masih bersedia menyuarakan kebenaran, memperjuangkan kebaikan, harus terus bersemangat, sekalipun tantangan tidak mudah.
“Harus terus bersuara supaya semangat untuk mengritisi keadaan itu tetap muncul dan menurut saya harus ada satu keberanian harus bisa menyuarakan apa yang baik apa yang buruk,” pungkasnya.
Leave a Reply