“Presiden Prabowo Subianto berkata, ‘Kalau tidak sanggup, silakan mundur sebelum saya ganti’, tapi soal kekuasaan tak cukup diselesaikan dengan reshuffle. Ketika sejumlah wakil menteri rangkap jabatan jadi komisaris, ketika satu keluarga duduk di banyak kursi, kita pantas bertanya, apakah ini meritokrasi atau nepotisme yang dipoles rapi? Bung Hatta pernah mengingatkan negara tidak boleh dijadikan alat oleh satu golongan untuk menindas golongan lain. Kekuasaan harus kembali pada akal sehat. Kekuasaan harus punya empati di tengah korupsi yang merajalela, PHK di mana-mana, dan hukum dan konstitusi yang bisa diakali. Kita bukan cuma butuh perombakan, kita butuh keteladanan satu kata dan satu perbuatan,”
Pertemuan Presiden Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri di perayaan Hari Kesaktian Pancasila, 2 Juni kemarin melahirkan beragam spekulasi di publik.
Hubungan baik yang ditunjukkan kedua tokoh besar itu lantas ditangkap sebagai menjauhnya Prabowo dari poros Solo atau Joko Widodo, dan justru mendekat pada PDIP.
Dalam kesempatan itu, Prabowo juga berpidato dan mengimbau seluruh pejabat negara yang tak mampu mengemban tugas sebaiknya mengundurkan diri sebelum diberhentikan.
Pernyataan itu lantas ditangkap sebagai sinyal bahwa Prabowo akan melakukan reshuffle kepada sejumlah menterinya. Sebagai gantinya Prabowo disebut-sebut akan menarik masuk PDIP ke dalam barisan partai yang mengisi jajaran pembantunya di Kabinet Merah Putih.
Terkait pernyataan Presiden itu, Wakil Staf Kepresidenan Muhammad Qodari menganggapnya sebagai upaya Prabowo mengingatkan para pengelola negara untuk bekerja dengan sungguh-sungguh.
“Bukan himbauan moral, kalau menurut saya ini peringatan. Kalau memang dianggap tidak bisa bekerja, tidak bisa mengikuti ritme yang di ditetapkan oleh Presiden, maka kemudian akan ditinggalkan dan akan diganti,” kata Qodari dalam Satu Meja The Forum KompasTV (4/6/2025).

Qodari menyebut peringatan semacam ini sudah berulang kali disampaikan oleh Prabowo, dan pada kesempatan kemarin adalah penegasan semata, di tengah momentum peringatan hari bersejarah bagi bangsa Indonesia.
Sementara itu, Golkar sebagai salah satu partai koalisi yang ada di dalam kabinet Prabowo menanggapi pernyataan Presiden dengan positif sebagai penyemangat kerja para pembantunga. Hal itu sebagaimana dikemukakan oleh Ketua DPP Partai Golkar Puteri Komarudin.
Pasalnya, beberapa menteri yang berasal dari Golkar telah bekerja dengan optimal dan mencapai hasil yang baik.
“Kalau kita lihat dari case-nya Golkar, alhamdulillah pada hari ini ketua umum kami yang menjabat sebagai Menteri ESDM sudah mencapai target dari lifting minyak. Kemarin beliau juga sudah menyatakan bahwa pada hari ini 96 persen dari target APBN 2025 itu sudah tercapai sebesar 580.000 barel per hari. Dan itu merupakan sebuah pencapaian,” jelas dia.
Begitu pula dengan menteri-menteri lain asal partai berlambang pohon beringin itu, semua dinilai sudah bekerja dengan baik.
Bertolak belakang dengan Golkar yang menganggapnya sebagai pemacu semangat, Direktur Parameter Politik Indonesia Adi Prayitno justru membacanya sebagai semacam ultimatum politik dari Prabowo pada semua bawahannya.
Siapapun yang tidak menunjukkan kinerja baik dalam posnya, maka bersiap kursinya akan diduduki oleh sosok lain.
“Jadi program-program prioritas pemerintah sebenarnya ini kan down to earth, pro dengan rakyat, yang saya kira pada level eksekusi dan pada level implementasinya ini tidak gampang. Artinya, Presidennya sudah speed 6, tapi jangan sampai para pembantu ini speed-nya 1 atau 1,5. Per hari ini kan semua hal yang dibangun oleh Presiden belum kelihatan secara signifikan,” jelas Adi.
Sementara, untuk membangun bangsa yang besar dengan masalah sekompleks yang dialami Indonesia ini dibutuhkan speed yang cepat, tidak bisa dikerjakan secara lambat.
Ia justru mengingatkan Prabowo agar tidak ragu dan mengkhawatirkan terjadinya instabilitas politik jika melakukan pergantian menteri.
“Karena saya kira masih banyak cadangan-cadangan yang lain. Kalau yang lain itu menimbulkan friksi, menimbulkan kegaduhan, kalau ada reshuffle masih ada PDIP kok yang bisa diajak kerja sama,” ujar Adi.
Kedekatan Prabowo-Mega
Soal kedekatan dan keakraban Prabowo dengan Megawati, Ketua DPP PDI Perjuangan Sukur Nababan tak melihat ada sesuatu yang aneh. Prabowo dan Mega memang sudah dikenal akrab sejak lama, tak hanya dalam konteks politik, namun juga pribadi. Sukur menyebut hubungan keduanya layaknya kakak dan adik.
Jadi, soal politik hari ini Sukur memastikan PDIP akan mendukung seluruh program kerakyatan Prabowo, sekalipun tak masuk dalam pemerintahan.
“Kami tidak di kabinet, tetapi hati kami jauh lebih mendukung. Itu yang paling penting. Jangan sampai di kabinet tapi setengah hati. Kan jauh lebih bagus hubungan yang sangat dalam dan pribadi daripada hubungan di dalam teknis jual dagang sapi, seperti berapa menteri yang harus masuk,” kata Sukur.
Dan dalam pertemuan kemarin, Sukur yakin kedua tokoh besar itu tak akan berbicara soal masuk atau tidak dalam kabinet, apalagi mendiskusikan jumlah kursi menteri untuk PDIP di kabinet Prabowo.
“Saya tidak pernah dengar, rasa-rasanya tidak mungkin. Sekelas Pak Prabowo dengan Ibu Megawati pada saat bertemu saya pikir tidak mungkin berbicara tentang berapa orang masuk kabinet seperti urusan dagang sapi. Tidak mungkin,” ujar Sukur.
Pakar Komunikasi Politik Gun Gun Heryanto menyatakan hubungan baik antara Prabowo dan Mega begitu jelas terlihat. Tak nampak adanya kecanggungan di antara keduanya. Gun Gun menyebutnya tak ada psychological barrier.
Berbeda jika konteksnya adalah Megawati dan Gibran atau Joko Widodo, maka hambatan psikologis itu jelas adanya.
Antara Mega dan Prabowo, Gun Gun menyebut terjadi hubungan resiprokal atau timbal balik, keduanya memiliki kebutuhan strategis sehingga secara pragmatis membutuhkan satu sama lain. Hanya saja, keduanya memperhitungkan banyak hal.
“Saya melihat Pak Prabowo berkehendak untuk membangun komunikasi jauh lebih intens dan produktif dalam menguatkan kabinetnya,” sebut Gun Gun.
PDIP adalah partai terbesar, partai yang kuat, partai pemenang pemilu, yang secara hitam di atas putih masih berada di luar pemerintahan.
Begitu pula Megawati yang sama-sama memiliki kebutuhan dengan Prabowo, misalnya untuk mendapat posisi politik yang lebih kuat dengan menjadi bagian dari pemerintah.
“Apakah nanti berlabuh pada posisi dan sikap politik yang jauh lebih harmonis dan ada di dalam (kabinet), itu menurut saya akan bergantung pada hitung-hitungan politik PDI Perjuangan,” jelas Gun Gun.
Jika pada akhirnya PDIP turut masuk dalam gerbong koalisi, Puteri mewakili Golkar mengaku tak ada masalah, dan akan menghargai langkah itu. semua itu adalah berdasarkan kesepakatan partai-partai anggota koalisi, bukan hanya Golkar.
“Jadi posisinya kita Golkar pasti akan sangat menghargai posisi partai lain. Kita tidak pernah ikut campur dan tentu kita tahu bahwa semua partai pasti punya posisi masing-masing, itu kita serahkan ke partai-partai lain,” sebut Puteri.
Golkar juga memahami, bangsa ini membutuhkan kontribusi seluruh elemen masyarakat untuk bisa maju. Jadi, jika PDIP memutuskan untuk bergabung tidak ada masalah.

Adi Prayitno menyebut soal masuk tidaknya PDIP ke dalam kabinet Prabowo-Gibran hanya soal waktu. Bisa kapan saja. Namun, ia berharap agar partai itu tak turut larut dalam kekuasaan. PDIP diharapkan tetap berdiri sebagai partai non pemerintah yang akan berperan mengontrol jalannya pemerintahan dari luar.
“Kalau PDIP masuk, ini 100 persen kekuatan politik akan menjadi bagian dari kubu pemerintah. Itu sangat mengerikan di negara kita karena tidak akan ada check and balances,” tegas Adi.
Padahal, dalam praktiknya banyak kebijakan pemerintah yang perlu dikoreksi. Selama ini pun legislatif sudah “lumpuh”, karena mayoritas anggotanya berasal dari partai pendukung pemerintah.
Lagi pula, saat ini koalisi pemerintahan yang terdiri dari banyak partai itu tengah kondusif. Tidak ada partai koalisi yang membelot, berkonflik, oposisi dari dalam, dan sebagainya. Sehingga secara politik tidak baik bagi PDIP untuk tiba-tiba masuk ke dalam kolam yang tenang itu.
“Kalau PDIP kemudian bergabung ini tentu tidak baik bagi sebuah kepentingan politik elektoral karena PDIP akan disebut sama dengan partai politik yang lain, rent seeking, memburu kekuasaan, mendapatkan jabatan-jabatan politik,” sebut dia.
Lebih lanjut, bagaimana nasib konstituen dan basis pendukung yang selama ini dikenal loyal terhadap PDIP, jika partai itu mengubah haluan arah di tengah perjalanan. Bukan untung, masuk dalam koalisi justru bisa berujung buntung bagi PDIP, karena kehilangan pendukung loyalnya di Pemilu 2029 akibat salah kalkulasi langkah politik.
Sebagai orang yang ada di lingkar pemerintahan, Qodari menyebut Prabowo sebagai seorang pemimpin yang mengedepankan persatuan, mendambakan semua elemen bangsa bersatu padu membangun negeri, merangkul semua golongan dan kepentingan untuk mencapai tujuan bersama.
Keinginan itu bahkan sudah disampaikan Prabowo berulang kali secara konsisten. Bagi Prabowo, persatuan adalah soal ideologi yang menjadi bagian dari budaya bangsa.
“Itu sebabnya kita lihat Pak Prabowo komunikasi dengan semua, dengan Pak Jokowi, dengan Pak SBY, juga dengan Ibu Megawati dan komunikasi ini dilakukan terus-menerus dan dalam berbagai konteks,” sebut Qodari.
Dari pertemuan-pertemuan antara Mega dan Prabowo yang selalu tertutup itu, Qodari mengaku mendapat bocoran bahwa Mega menyampaikan pada Prabowo partainya ingin tetap berada di luar pemerintahan.
Kecuali sewaktu-waktu dibutuhkan, seperti dalam kondisi darurat, PDIP siap mendukung pemerintah. Keadaan darurat misalnya krisis ekonomi, pandemi yang kembali merebak, dan lain-lain.
“Jadi klausula umumnya PDI Perjuangan berada di luar. Tapi kalau force major siap dukung. Kira-kira begitu. Bukan dukung dalam pengertian jadi menteri tapi mendukung kebijakan-kebijakan yang diperlukan,” tegas Qodari.
Pernyataan itu secara tidak langsung dibenarkan oleh Sukur. Bagi PDIP, yang paling penting hubungan baik tetap terjalin dengan pemerintah, bisa berkomunikasi dengan baik. Itu lebih penting ketimbang tergabung dalam sebuah perjanjian politik.
“Perjanjian politik masih bisa dilanggar karena ada kepentingan-kepentingan kekuasaan, tetapi kalau sudah hubungan yang sangat dalam, seperti kakak adek… (maka tidak ada kepentingan kekuasaan),” sebut Sukur.
“Itu mungkin poin saya bahwa ini bukan soal zone of possible agreement dalam kacamata taktis politis, ini hubungannya kultural, bahkan hubungan personal,” saut Qodari.
Leave a Reply