“Kalau itu (Soeharto) terjadi juga menjadi pahlawan nasional, ini menjadi kontroversi lagi. Apa layak seseorang seperti Pak Harto yang dinyatakan sebagai pahlawan nasional lalu itu di-challenge oleh publik?”
โ Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia, Marzuki Darusman
Dalam satu dekade terakhir, nama Presiden ke-2 Republik Indonesia, Soeharto berulang kali diusulkan untuk diberi gelar pahlawan nasional.
Usulan-usulan itu sejauh ini tak pernah mendapat persetujuan dari publik secara umum, khususnya kalangan aktivis reformasi. Atas dasar itu, Kementerian Sosial sebagai pihak yang menggodok sah atau tidaknya seseorang menjadi pahlawan nasional tak pernah berhasil menjadikan Soeharto sebagai sosok pahlawan sebagaimana dikehendaki oleh para pemohon.
Meski begitu, suara agar Soeharto menjadi pahlawan terus diupayakan hingga saat ini.
Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI), Marzuki Darusman menyebut mengusulkan Soeharto menjadi pahlawan sesungguhnya bukan hak dari generasi sekarang yang kebanyakan masih mengalami era Orde Baru.
“Masalahnya bukan apakah Pak Harto layak atau tidak layak menjadi pahlawan, tapi pertama bukan hak generasi sekarang untuk menyatakan itu. Ini adalah hak dari generasi yang akan datang yang bisa memiliki perspektif apakah Pak Harto akan dijadikan pahlawan nasional,” kata Marzuki dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Ia menilai, saat ini kita belum sampai pada waktu yang tepat untuk mengusulkan penguasa Orde Baru itu mendapat gelar pahlawan. Lagi-lagi, karena generasi yang ada saat ini adalah subjek dari Orde Baru. Penilaian yang datang dari generasi ini pasti akan subjektif.
Oleh karena itu, hanya generasi yang akan datanglah yang berhak menilai Soeharto dengan perspektifnya yang masih bebas, apakah layak menjadi pahlawan atau tidak.
Ketika saat ini muncul kabar bahwa pemerintah tengah menyusun ulang sejarah, banyak publik yang kemudian menghubung-hubungkan itu sebagai upaya untuk memuluskan langkah Soeharto menjadi pahlawan.
Mereka mengartikan proyek penulisan sejarah itu memiliki korelasi dengan pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR No 11 Tahun 1998 dan seringnya nama Soeharto diusulkan menjadi pahlawan.
“Saya enggak bisa katakan itu berurut lalu ada logikanya di situ. Ini gejala-gejala yang mungkin berdiri sendiri-sendiri, tapi mendorong masyarakat untuk mengambil kesimpulan bahwa ada rekayasa masif untuk mengembalikan keadaan ke sebelumnya (Orde Baru),” ujar politisi Partai Golkar itu.
Meski bisa jadi tidak saling terkait, tapi dalam politik tidak ada sesuatu yang terjadi secara kebetulan. Semua peristiwa sudah diperhitungkan dan dieskalasikan secara matang.
Jika benar antara 3 peristiwa politik itu saling terkait, maka di mata Marzuki pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR beberapa waktu lalu harus batal demi konstitusi. Lagi pula, selama ini Soeharto sudah 5 kali diajukan menjadi pahlawan dan semua permohonan itu selalu ditolak, karena nama Soeharto tercantum dalam TAP MPR yang membicarakan soal korupsi itu. Ia dikenal sebagai sosok yang koruptif di masa kepemimpinannya.
“Kalau itu (Soeharto) terjadi juga menjadi pahlawan nasional, ini menjadi kontroversi lagi. Apa layak seseorang seperti Pak Harto yang dinyatakan sebagai pahlawan nasional lalu itu di-challenge oleh publik?” ujar Marzuki.
TAP MPR 11 Tahun 1998 mulanya disahkan oleh MPR di tengah situasi publik yang menuntut keras agar Soeharto diadili. Lalu, pada 2024 ketika MPR dipimpin oleh tokoh Golkar Bambang Soesatyo, ketetapan itu direvisi, nama Soeharto dicatut dari sana.
Jadi, TAP MPR yang sudah disepakati oleh MPR di tahun 1998, kemudian dikoreksi oleh MPR juga 26 tahun setelahnya atas nama rekonsiliasi.
Daripada terus meributkan hal itu, Marzuki berpandangan MPR yang saat ini sebaiknya berpatok pada TAP MPR No 11/1998 versi asli, bukan versi koreksi 2024.
“MPR sekarang ini baseline-nya adalah TAP MPR yang asli yang nomor 11 itu, enggak ada jalan lain. Apa yang terjadi pada waktu MPR (Bambang Soesatyo) itu hanya berlaku pada masa MPR-nya yang lalu, itu selesai. MPR baru ini berpijak pada dokumen dan status TAP MPR yang ada, yang tidak mungkin dilakukan amandemen apapun terhadapnya. Clear sudah,” jelas Marzuki.

Jaksa Agung di era Gus Dur itu menyebut Pak Harto sulit menjadi pahlawan nasional dengan segala rekam jejak dan kontroversinya. Namun, jasa-jasanya juga sungguh luar biasa untuk bangsa ini. Misalnya Soeharto yang dikenal luas menyelamatkan Indonesia dari penguasaan Partai Komunis di tahun 1965.
“Bayangkan kalau kita tahun 65 itu berhasil lah komunisme mengambil alih (pemerintahan) dan ternyata setelah 30 tahun komunisme di mana-mana sekarang runtuh. (Artinya) 30 tahun kita ketinggalan bus. Jadi benar bahwa apa yang telah terjadi pada saat 65 itu memulai sesuatu yang baru,” ungkap Marzuki.
Soeharto juga dikenal sebagai sosok yang meletakan dasar-dasar pembangunan nasional. Kita mengenalnya dengan istilah trilogi (tiga pilar utama) pembangunan. Terdiri dari stabilitas nasional yang dinamis, pertumbuhan ekonomi tinggi, dan pemerataan pembangunan termasuk hasilnya.
Selama 32 tahun konsep itu digunakan sebagai landasan pemerintahan Soeharto di Orde Baru. Tak berhenti di situ, perekonomian negara setelahnya juga dibangun di atas trilogi yang dicanangkan oleh Soeharto itu.
“Tetapi kita juga perlu tahu bagaimana itu terjadi, apa yang telah terjadi, korban apa yang telah diberikan untuk itu semua. Sinyalamen bahwa jutaan (orang) dikorbankan untuk menyelesaikan pertarungan kekuasaan itu enggak bisa di dikesampingkan begitu saja,” ujar Marzuki.
Jadi, jika seseorang dianggap beerjasa besar bagi negara, tidak lantas bisa mendapat gelar pahlawan nasional.
Kembali ke Orde Baru
Mengamati peristiwa politik juga dinamika di masyarakat saat ini, tak sedikit kalangan yang merasa Indonesia sedang berputar arah kembali ke era Orde Baru.
Misalnya dengan dilibatkannya TNI dalam berbagai urusan sipil, kebebasan publik yang diam-diam dibatasi menggunakan undang-undang tertentu, intimidasi terhadap pihak yang berlawanan dengan penguasa, dan lain sebagainya.
Semua itu menunjukkan betapa situasi hari ini kian mendekati keadaan di masa Orde Baru yang otoriter.
Tapi pria 80 tahun itu justru berpandangan lain, ia tidak menyebut Indonesia kembali ke masa Orde Baru, namun negara ini justru belum sepenuhnya bisa keluar dari alam Orde Baru.
“Keadaan sekarang ini masih melanjutkan praktik-praktik yang lalu, terutama dari segi pertanggungjawaban politik dan hukum. Mungkin secara sistem tidak begitu, bahwa dulu otoriter sekarang ini variasinya adalah autokrasi. Jadi kita belum keluar dari alam Orde Baru. Makanya ini lebih mudah dipahami sebagai suatu masa, walaupun sudah 30 tahun setelah Orde Baru, itu suatu masa yang mengikuti masa Orde Baru itu,” jelas dia.

Jika diamati dengan seksama, saat ini dua fitrah kekuasaan mulai nampak. Pertama, kekuasaan membesarkan dirinya dengan mengesahkan revisi UU TNI. Kedua, kekuasaan mengglorifikasi atau memuliakan dirinya dengan penulisan ulang sejarah.
Itu menjadi gejala umum yang bisa diamati dan harus menjadi perhatian. Karena, jika gejala itu terjadi dibarengi dengan terjadinya situasi darurat di masyarakat, misal kesulitan ekonomi, maka hal-hal yang tak diinginkan bisa terjadi. Reformasi bukan tak mungkin akan kembali digelar.
“Manakala ada kondisi di mana kekuatan-kekuatan sosial itu sudah enggak bisa lagi diatasi, maka itu sudah di luar kendali dari pemerintah. Ini yang sekarang kita amati,” pungkas Marzuki yang sempat menjabat sebagai Sekretaris Kabinet di tahun 2001 itu.
Oleh karena itu, pemerintah harus bisa menunjukkan ke mana sesungguhnya arah politik negara akan dibawa ke depannya. Pemerintah juga harus membuktikan diri tetap mempertahankan demokrasi dan tidak putar arah kembali ke masa sebelum reformasi.
Leave a Reply