AKSI Tolak Penulisan Sejarah Ulang, Ini Alasannya…

“Masalah Orde Baru yang 30 tahun ini rupanya ingin dilarutkan dalam 10 bab penjilidan (sejarah baru), sehingga dia seolah-olah hanya satu episode saja dari bentangan sejarah kita ini…,”

โ€”Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia, Marzuki Darusman

Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia (AKSI) menolak upaya pemerintahan Prabowo Subianto menulis ulang sejarah nasional Indonesia yang saat ini prosesnya sudah berjalan bahkan hampir rampung.

Ketua AKSI, Marzuki Darusman menjelaskan penolakan itu datang secara refleks setelah mengetahui dan mendengar adanya rencana itu.

Tak hanya AKSI, penolakan serupa juga ternyata diserukan oleh kalangan sejarawan, aktivis, juga cendekiawan lainnya.

“Itu nampaknya menyentuh satu suasana kebatinan yang serupa mengenai bagaimana menyikapi prakarsa (pemerintah) ini,” kata Marzuki dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Ada tiga hal utama yang membuat AKSI menolak proyek penulisan sejarah itu. Pertama, penulisan sejarah yang dianggap selektif, mengglorifikasi bab tertentu dan membenamkan bab lainnya.

Misalnya soal tidak dimasukkannya peranan perempuan dalam politik Indonesia. Bagaimana mereka diperlakukan dengan tidak manusiawi selama masa Orde Baru, diberlakukan kuota untuk bisa diajukan ke parlemen, dan sebagainya.

Bab lain adalah soal tidak dimasukkannya materi tentang Konferensi Asia-Afrika (KAA).

“Itu karya bangsa yang luar biasa dan itu yang menempatkan Indonesia di garis depan dalam perjuangan internasional. Jadi ada suatu kesan bahwa ini sejarah yang selektif,” sebutnya.

Yang paling penting dari penulisan sejarah adalah melakukan memorialisasi dari apa-apa saja yang telah terjadi di masa lampau, suka, duka, semua capaian dan permasalahan yang ditimbulkan, tanpa mengeliminir bagian-bagian yang dianggap merugikan rezim. Khususnya untuk bagian sejarah 30 tahun Orde Baru dan 12 kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.

Kedua, waktu yang terlalu singkat sehingga terkesan buru-buru, karena ditarget rampung Agustus tahun ini sebagai kado HUT ke-80 Indonesia.

AKSI ingin mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam merumuskan sejarah. Jika benar ingin menuliskan ulang sejarah, pastikan prosesnya dilakukan secara terbuka sehingga publik bisa memberi masukan dan koreksi.

“Tidak seperti sekarang ini, seolah-olah ingin mengejar satu target,” sebut Jaksa Agung di era Presiden Gus Dur itu.

Ketiga, penulisan ini ditujukan oleh pemerintah untuk membuat sejarah versi resmi.

Pemerintah yang membuat sejarah resmi biasanya dilakukan oleh negara-negara dengan sistem politik yang sangat restriktif atau otoriter.

“Pemerintah yang menulis sejarah resmi itu menjadikan sejarah sebagai atribut kenegaraan yang hampir sejajar dengan atribut kenegaraan lain, yaitu ideologi Pancasila dan konstitusi. Apa dasarnya, ini mengandung potensi mengubah kodrat negara kita,” ujar politisi Golkar di masa Orde Baru itu.

Mengubah kodrat negara, ia menjelaskan negara yang semula hanya memiliki dua atribut kenegaraan, nantinya menjadi tiga.

Ketua AKSI, Marzuki Darusman dalam Back to BDM.

Ia dan teman-teman AKSI mencurigai ada pengulangan pola yang dilakukan Presiden Prabowo dengan Presiden Soeharto di era Orde Baru. Yakni, mereka menunjuk orang atau pihak tertentu untuk merumuskan ulang sejarah bangsa.

Dulu, Soeharto menunjuk kalangan ABRI, yakni Nugroho Notosusanto untuk menjadi sejarawan, setahun setelah dilantik menjadi presiden. Kini, Prabowo melakukan hal yang sama, bahkan dalam waktu yang jauh lebih cepat.

“Apa salah kalau orang menjadi agak terperanjat kalau kita kembali kepada masa yang lalu itu, 30 tahun pemerintahan yang restriktif,” sebut dia.

Di samping itu, tim penyusun ulang sejarah menyebut akan memulai penulisan sejarah Indonesia dari masa prasejarah, mulai dari asal-usul manusia Indonesia, dan sebagainya.

Konsep itu dianggap keliru oleh AKSI.

“Ada pembicaraan mengenai homo erectus. Apa benar bangsa Indonesia ini keturunan dari homo javanicus atau homo erectus? Itu bukan sejarah, itu riwayat. Sejarah adalah penulisan yang sifatnya merujuk kepada fakta-fakta yang umumnya mempunyai dimensi politik dan kekuasaan,” kata Marzuki.

Dan hal yang mereka permasalahkan saat ini bukan pada sejarahnya, melainkan lebih kepada politik sejarah di balik upaya penyusunannya. Sudah menjadi pengetahuan umum, bahwa sejarah ditulis oleh pemenang pertarungan politik. Maka dapat dipastikan, sejarah yang ditulis oleh kelompok pemenang itu akan dibuat menguntungkan mereka.

Hanya saja, kini kita ada di era demokrasi, di mana tidak ada kekuasaan absolut yang dimiliki oleh pemerintah atau pemenang. Akan selalu ada kritik dan masukan dari publik, dan itu sah.

Marzuki tidak menyangkal bahwa belum semua arsip sejarah di era demokrasi ini terbuka untuk umum, ada sebagian yang masih dibatasi aksesnya.

“Memang betul sejarah ini ditulis oleh mereka yang menang, tetapi pada masa ini sejarah yang ditulis oleh pemerintah jangan harap tidak dikontes. Pasti dikontes,” sebutnya yakin.

Terlebih, masih ada sebagian saksi dari peristiwa sejarah itu yang masih hidup.

Bagian yang diperkirakan akan dipertanyakan oleh publik adalah soal tidak dimuatnya berbagai kasus pelanggaran HAM dalam sejarah, padahal kejadian-kejadian itu sudah diakui oleh Presiden ke-7 Joko Widodo sebagai pelanggaran HAM berat.

Dalam penulisan sejarah kali ini hanya disebutkan kasus Talangsari dan 1965, padahal masih ada banyak yang lain.

“Peristiwa Mei, pemerkosaan massal, Aceh, Papua, 12 itu apa diketahui oleh publik. Kalau ini tidak diselesaikan lalu hanya disejarahkan, dilarutkan di dalam sejarah, maka ada problem di situ. Bahwa sejarah ini ditulis tanpa mengindahkan masalah-masalah yang ada yang hidup di dalam kolektif memori masyarakat, bangsa, yaitu pelanggaran-pelanggaran yang harus diklarifikasi, diselesaikan,” ungkapnya.

Ketua AKSI, Marzuki Darusman bersama Budiman Tanuredjo.

Meskipun menolak, Marzuki menegaskan ini bukan sifat final yang mereka ambil. Saat ini, teman-teman dengan sikap yang sama dengannya masih menunggu pemerintah untuk memberi penjelasan dan klarifikasi lebih lanjut.

Apa urgensi penulisan ulang sejarah, untuk apa, apa tujuannya, apakah sejarah yang lama sudah tidak relevan, apakah ada penemuan baru, dan seterusnya.

Pasalnya, sepanjang Orde Baru berkuasa ada begitu banyak kejahatan kemanusiaan dan pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat yang terjadi dan hingga saat ini belum bisa dikatakan tuntas ditangani. Itu menjadikan ingatan kolektif tersendiri di benak masyarakat.

“Kita ingin pemerintah mengerti, memahami apa yang ada di dalam rakyat, di dalam masyarakat, bahwa kejadian-kejadian yang memerlukan klarifikasi, memerlukan penyelesaian itu hidup dalam kolektif memori bangsa ini,” jelas Marzuki.

Memori kolektif itu masa lalu yang secara emosional masih aktif hingga saat ini, sakitnya, senangnya, semua rasa dari pengalaman masa lalu itu masih terus dapat dirasakan. Beda dengan sejarah yang sudah tidak terhubung secara efektif dengan masa kini, meski keduanya sama-sama bertalian dengan masa lalu.

“Jadi, memori kolektif ini yang harus ditangani oleh pemerintah untuk menyelesaikan aneka persoalan yang memerlukan penjelasan dan memerlukan klarifikasi,” imbuhnya.

Marzuki yang saat ini berusia 80 tahun telah mengalami 8 kepemimpinan presiden yang berbeda-beda, mulai dari Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati,
SBY, Jokowi, hingga Prabowo.

Dari pengalamannya mengamati kekuasaan, ia bisa menyimpulkan pada hakikatnya kekuasaan itu memiliki 2 naluri utama. Pertama, naluri membesarkan kekuasaan itu sendiri misalnya dengan membentuk undang-undang. Kedua, naluri memuliakan dirinya dengan cara melakukan glorifikasi sejarah.

Penulisan sejarah bangsa kali ini sesungguhnya tak lepas dari upaya untuk melanggengkan kekuasaan rezim yang sedang berkuasa, sekalipun kekuasaan di era demokrasi sudah dibatasi.

“Penulisan ulang sejarah ini tertuju untuk memuliakan negara di atas rakyat. Dan itu terjadi dengan cara yang seolah-olah cendekia (dengan melibatkan 100 sejarawan),” jelas Marzuki.

Jika dua naluri ini kembali hadir di pemerintaan saat ini, maka kita memiliki potensi untuk mengulangi masa lalu.

“Mengecilkan” Orde Baru

Orde Baru adalah 32 tahun yang sangat berarti bagi Indonesia. Orde Baru adalah sejarah bangsa yang di dalamnya terjadi begitu banyak hal suram yang dirasakan oleh masyarakat Indonesia. Maraknya KKN, tidak adanya kebebasan, pemerintahan yang otoriter dan anti kritik, hingga deretan kasus pelanggaran HAM yang sampai detik ini tak kunjung bisa diselesaikan.

Begitu besar dan dalam masyarakat Indonesia memandang dan memaknai Orde Baru. Hingga Marzuki menyebut jika ada periodisasi sejarah yang layak dipertimbangkan untuk menjelaskan perjalanan bangsa ini, patokannya adalah Orde Baru.

Indonesia masa pra Orde Baru, Orde Baru, dan Pasca Orde Baru.

“Masalah Orde Baru yang 30 tahun ini rupanya ingin dilarutkan dalam 10 bab penjilidan (sejarah baru), sehingga dia seolah-olah hanya satu episode saja dari bentangan sejarah kita ini. Sedangkan dalam memori kolektif masyarakat dan bangsa ini, 30 tahun Orde Baru itu masih dominan di dalam perspektif penglihatan tentang keberadaan kita sebagai bangsa,” jelas Marzuki.

Presiden Soeharto menyampaikan pidatonya, seusai dikukuhkan sebagai Presiden RI masa bakti 1993-1998. ANTARA FOTO

Disadari atau tidak, fenomena kekuasaan tanpa batas di era Soeharto, termasuk peristiwa 98 itu belum tuntas kita singkap. Mengapa bisa terjadi, mengapa kekuasaan bisa begitu panjang, dan mengapa akhirnya tumbang, itu semua belum sepenuhnya bisa dijelaskan.

Jika itu saja belum bisa kita pahami, maka kita tidak punya modal untuk melakukan pencegahan agar sejarah kelam itu tak lagi terulang.

“Kita transformasi (dari Orde Baru yang kekuasaannya langgeng) menjadi penggiliran kekuasaan saja, sedangkan struktur dasarnya itu masih seperti masa yang lalu,” ungkapnya.

Hasil akhir dari pemutakhiran sejarah ini memang belum keluar, Marzuki berharap nantinya tidak ada hal yang menimbulkan kontroversi baru.

Baginya, tidak layak hasil penulisan yang dilakukan secara resmi oleh pemerintah justru dipertanyakan bahkan dipertentangkan oleh rakyatnya sendiri. Hal itu bisa menjatuhkan martabat pemerintah.

Agar itu tidak terjadi, penulisan sejarah harus dilakukan secara terukur dan terbuka. Ia mencontohkan di era Sudjatmoko, dimana dalam penulisan sejarah dikumpulkan sejarawan-sejarawan hingga disepakati berbagai hal.

“Jadi silakan sejarawan menulis sejarah seluas-luasnya. Tugas pemerintah adalah ‘menitip’, memberi pandangan hendaklah sejarah itu juga mengandung nilai-nilai yang bisa menjadi dorongan kebanggaan bagi generasi muda. Tetapi bahwa pemerintah mengambil alih secara keseluruhan lalu menghimpun 100 sejarawan, itu tidak mengubah hakikat bahwa itu adalah sejarah yang dipesan oleh pemerintah,” jelasnya.


Comments

One response to “AKSI Tolak Penulisan Sejarah Ulang, Ini Alasannya…”

  1. Yefrimon Avatar
    Yefrimon

    Idealnya. Itu yang publik harapkan bersama. Kalau begitu, spt harapan pak marzuki tsb, maka level penulisan sejarah ini harus di puncak menara. MPR yg harus melakukan (kl mpr nya msh sbg lembaga tertinggi). Tapi begitu luas pandangan pak marzuki tsb. Kapan lagi ? … publik masik kapok mengingat praktek2 kekuasaan pada 10 th jokowi berkuasa yg tak luput dari kiร t kiat mengaburkan dan menguburkan ms lalu dan mau menulis ulang sesuai yang dimau-i dan subjektive. Misal: sejarah pancasila masih berpolemik… dll

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *