“Rencana menulis sejarah resmi bangsa tentu penting, tapi pertanyaannya siapa yang menulis dan untuk kepentingan siapa? Ketika kekuasaan ikut menyusun narasi sejarah, publik patut waspada. Jangan-jangan yang sedang ditulis bukan kebenaran, tapi pembenaran untuk pemuliaan. Apakah ini jalan menuju penobatan Soarto sebagai pahlawan nasional? Sejarah sebaik jangan dijadikan alat politik. Ia adalah pengingat agar kita tak mengulang luka yang sama. Kita boleh berdamai dengan masa lalu, tapi tidak boleh menghapusnya demi ambisi hari ini,”
Pemerintah tengah menyusun ulang sejarah nasional Indonesia dan berniat menjadikannya sebagai kado bagi ulang tahun ke-80 Republik yang jatuh pada Agustus tahun ini.
Penyusunan ulang itu ternyata bebarengan dengan datangnya usulan untuk menjadikan Presiden ke-2 Soeharto menjadi pahlawan nasional. Usulan menjadikan penguasa Orde Baru itu mendapat gelar pahlawan nasional bukan baru sejali ini datang, melainkan sudah beberapa kali, namun selalu ditentang oleh beragam lapisan masyarakat.
Hal itu lantas menimbulkan kecurigaan, adakah penulisan ulang sejarah nasional di era kekuasaan Presiden Prabowo Subianto, yang mana memiliki kaitan erat dengan era Orde Baru dan Soeharto secara pribadi, adalah langkah taktis untuk memudahkan langkah Soeharto menjadi pahlawan nasional.

Sejumlah narasumber hadir dalam Satu Meja The Forum KompasTV (28/5/2025) yang mengangkat tema “Sejarah Ditulis Ulang, Demi Soeharto Jadi Pahlawan?” untuk menjawab pertanyaan itu.
Pertama, Editor Umum Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Prof Susanto Zuhdi menyatakan penulisan ulang sejarah nasional ini merupakan satu kebutuhan. Setidaknya ia menyebut dua hal yang menjadi urgensi penulisannya.
“Jadi kebutuhan itu sebetulnya karena soal objektivitas ada bahan-bahannya, dan subjektivitasnya kita perlu lagi menulis satu buku untuk tujuan reventing Indonesian identity itu,” kata Prof Susanto.
Jika sejarah dengan susunan yang lebih baru sudah rampung, manfaatnya menurut Prof Susanto akan dirasakan, khususnya dalam bidang pendidikan sejarah di kemudian hari.
Ia pun menggarisbawahi, bahwa penyusunan ulang ini bukan berarti tim penyusun akan memulainya dari nol, tidak. Saat ini sudah ada begitu banyak hasil riset, temuan, dan tulisan para sejarawan baik dari dalam maupun luar negeri yang kemudian bisa dimasukkan sebagai bahan penulisan buku sejarah baru nantinya.
Sejarah versi terbaru yang sedang disusun, bagi Prof Susanto bisa disebut sebagai sejarah nasional versi resmi, dengan catatan tertentu yang harus dipahami setiap bangsa.
“Dua buku (sejarah) sebelumnya juga pemerintah (yang menyusun). Jadi memang barangkali suatu saat itu harus di luar pemerintah yang menulis ini, misalnya masyarakat sejarah Indonesia. Tapi biasanya (mereka tersendat) masalah dana. Kita belum pernah bisa menulis suatu buku (sejarah) yang lengkap yang di luar pemerintah membiayai. Jadi resmi dalam pengertian itu,” jelas dia.
Jika nantinya ada sejarah versi lain yang dituliskan oleh pihak di luar pemerintah, lantas mengangkat sejarah dengan perspektif berbeda, ia sama sekali tak menjadikannya suatu masalah. Prof Susanto paham, bahwa sejarah tidak bisa ditafsirkan secara tunggal, hanya dari satu perspektif saja. Sejarah itu multitafsir.
Tak semua sepakat dengan upaya penulisan ulang sejarah ini, ada kelompok-kelompok yang menyatakan ketidaksetujuannya. Salah satunya adalah Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia.
Ketua dari aliansi tersebut, Marzuki Darusman menyatakan bukan sejarah yang mereka debatkan, namun kebijakan politik penulisan sejarah itu sendiri.
Ia meyakini, sejarah yang ditulis oleh negara, sekalipun tidak disebut sebagai sejarah versi resmi, namun itu otomatis akan menjelma menjadi sebuah ideologi yang diyakini secara nasional.
“Ini masalahnya. Penulisan sejarah oleh pemerintah ada risikonya. Jadi kami ini tidak sesat sebagaimana yang disampaikan di publik. Kami ini pesat, cepat, ingin menyampaikan kepada pemerintah hati-hati menulis sejarah itu,” jelas Marzuki.
Generasi muda saat ini banyak yang tak mengalami masa Indonesia 30 tahun di bawah kekuasaan Soeharto. Jadi, ia khawatir akan ada pembelokan sejarah yang menjadikan citra Orde Baru menjadi baik dan tak bermasalah seperti fakta sejarah yang sesungguhnya. Terlebih penguasa saat ini adalah Prabowo Subianto, orang dekat dari penguasa Orde Baru sekaligus orang yang disebut-sebut terlibat dalam pelanggaran HAM berat di masa lalu.
“Apa salah kita mempertanyakan bahwa ini bukan penulisan ulang sejarah, tetapi sejarah yang berulang,” sebut Marzuki.
Partai Golkar, sebagai partai tunggal di era Orde Baru, saat ini mengambil posisi netral. Golkar tidak mempermasalahkan penulisan ulang sejarah, selama pemerintah tidak menjadikan sejarah versinya sebagai satu-satunya sejarah yang harus diakui.
Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia mengatakan setiap orang memiliki pandangan atau pengalaman akan sejarah yang berbeda-beda, yang mungkin tidak semua orang mengetahuinya. Maka pemerintah tak boleh menolak atau menutup mata jika ada sejarah dengan versi berbeda dikemukakan oleh kelompok lain.
“Sejarahnya enggak ada masalah, penulisan sejarahnya yang kadang-kadang jadi problem, jadi masalah. Karena ada juga yang mengatakan, kan sejarah itu dibuat oleh orang yang menang, kita tidak mau frasa itu berlaku. Kita ingin bahwa fakta sejarah ya sejarah apa adanya saja,” tegas Doli.
Sebagai bangsa, kita perlu untuk mengetahui sejarah peristiwa besar dan tokoh besar yang pernah ada di masa lampau. Pengalaman baik dan buruk yang terjadi harus diceritakan secara jujur. Yang baik menjadi kebanggaan dan semangat yang harus diteruskan, yang buruk menjadi pelajaran agar tak kembali terulang.
Anggota Komisi X DPR-RI Bonnie Triana menyatakan penolakan terhadap upaya penulisan ulang sejarah nasional.
Komisi X pun telah meminta Kementerian Kebudayaan untuk menjelaskan apa sesungguhnya tujuan dan maksud dari proyek penulisan ini.
“Dalam rapat-rapat sebelumnya memang tidak pernah terlontarkan tentang proyek ini secara khusus. Jadi, tidak pernah kami di Komisi X menerima draf,” sebut Bonnie.
Yang pasti, dalam rapat terakhir Komisi X dengan Kementerian Kebudayaan, kedunya telah sepakat untuk tidak menyebut sejarah versi pemutakhiran nanti sebagai sejarah versi resmi, legal, satu-satunya sejarah nasional yang bisa dijuruk, dan sejenisnya.
Secara pribadi, Bonnie yang juga seorang sejarawan mengaku khawatir jika penulisan sejarah ini dilakukan dengan melupakan prinsip dan mengabaikan metodologis penelitian. Jika itu terjadi, maka bukan tidak mungkin proses penulisan sejarah itu akan anti kritik dan tidak bisa dimasuki penafsiran dari perspektif berbeda.
“Itu kekhawatiran kami. Oleh karena itu kami mendorong bagaimana proses dari penulisan ini setransparansi mungkin, seterbuka mungkin,” tegasnya.
Untuk saat ini, transparansi itu dinilai kurang. Pasalnya, upaya penulisan ini tidak dimulai dengan proses yang terbuka. Bonnie menjelaskan, biasanya sebelum penulisan dimulai akan didahului seminar sejarah nasional di mana para sejarawan dan cendekiawan berkumpul.
“Kalau saya dengar ini tim langsung dikasih outline kemudian diberi penugasan. Harusnya menurut kami ada satu proses call paper terbuka di mana para sejarawan dengan temuan-temuan terbarunya, bahkan punya akses kepada sumber primer itu, bisa masuk memberikan masukan, terjadi perdebatan, diskusi, segala macam sehingga dimulailah satu penulisan dengan formulasi yang sudah terbuka,” papar Bonnie.
“Jadi tidak langsung dimulai dengan penyusunan outline yang sifatnya top down. Itu yang dikhawatirkan oleh kami, prosesnya tidak terbuka dan tergesa-gesa,” lanjutnya.

Kecurigaan adanya kepentingan kekuasaan dalam proyek penulisan ini dibenarkan oleh Aktivis 1998 Beka Ulung Hapsara. Terlebih, inisiatif penulisan ini datang dari pihak pemerintah.
Ia berharap, jika penulisan ini benar dilakukan maka fakta-fakta sejarah harus dituliskan secara apa adanya, tidak dikurang, ditambah, apalagi diubah.
“Misalnya peristiwa pelanggaran HAM yang berat saja itu hanya dua yang ada. Sementara kalau kita merujuk pada status hukum yang dikeluarkan oleh Komnas (HAM), hasil penyelidikannya sampai saat ini ada 13 yang belum selesai,” jelas Beka.
Komisioner Komnas HAM 2017-2022 itu menambahkan, perspektif sejarah dari sisi korban penting untuk tetap dihadirkan dan dituliskan.
Prof Santoso menjelaskan ide penulisan ulang sejarah ini sudah dibahas oleh masyarakat sejarawan sejak jauh-jauh hari. Seminar demi seminar sudah dilakukan. Dalam pertemuan itu, para sejarawan pun mebuka temuan-temuan mutakhir yang mereka miliki. Kebetulan, hasrat para sejarawan untuk memperbarui sejarah nasional itu sama dengan kehendak pemerintah.
“Jadi kalau boleh saya katakan ini semacam gayung bersambutlah. Jadi enggak sepenuhnya (inisiatif) di pemerintah,” ungkap Prof Susanto.
Adapun soal kritik dan masukan yang diberikan, Prof Susanto menyebutnya sebagai sesuatu yang wajar. Ia mengakui, apa yang ada saat ini belum lah selesai, masih compang-camping, dan banyak bagian rumpang.
Kekhawatiran yang ada tentu akan tim jadikan sebagai masukan yang baik, juga menjadi pacuan untuk bisa menghadirkan sejarah nasional baru yang jauh lebih lengkap dan komprehensif.

Terakhir, Prof Susanto mengajak masyarakat untuk bisa jauh lebih terbuka melihat sejarah nasional Indonesia. Sejarah negeri ini tidak hanya tentang Soeharto dan Orde Baru. Sejarah kita bahkan sudah dimulai dari zaman prasejarah.
Terkait banyak atau sedikitnya materi tentang suatu peristiwa sejarah nantinya pun akan disusun secara proporsional, tidak subjektif karena satu dua alasan kolektif.
“Memori kolektif kita kan masih dekat (dengan Orba). Tapi kenapa kita tidak membangun memori kolektif bangsa ini jauh ke belakang yang membentuk kita seperti sekarang ini. Itu kan pembelajaran sejarah yang penting,” sebut dia.
Marzuki sebagai salah satu elemen bangsa Indonesia yang mengalami kekuasaan 8 presiden, mencoba mengingatkan masyarakat bahwa kekuasaan pada umumnya memiliki 2 fitrah utama: membesarkan diri dan cenderung memuliakan dirinya. Poin kedua, memuliakan diri itu dilakukan salah satunya dengan penulisan sejarah.
Ia mengutip pernyataan politikus Indonesia dr. Soedjatmiko:
“Dengan mengajukan masalah suatu filsafah sejarah nasional, sebenarnyalah kita telah meninggalkan bidang ilmu sejarah sebagai ilmu dan telah menginjak suatu lapangan lain, yaitu lapangan ideologi, lapangan penggunaan sejarah untuk keperluan politik yang akhirnya bisa menjurus ke arah demagogi“
Baginya, sejarah bukan sekedar penyajian fakta-fakta, melainkan juga penafsiran soal sejarah itu sendiri. Ia menyebut penafsiran sejarah kita selama ini didominasi oleh 30 tahun masa Orde Baru.
“Menggambarkan bahwa masa sekarang ini sekedar merupakan masa pasca Orde Baru,” ujar dia.
Sedangkan soal pelanggaran HAM berat yang jumlahnya ada belasan dan diakui oleh Presiden ke-7 Joko Widodo, hingga sekarang urung diselesaikan.
Bahkan, tim penulisan sejarah saat ini masih meragukan kebenaran pelanggaran HAM itu.
“Kalau sudah begitu itu apa namanya? Dan kalau sudah dinyatakan ini bukan sejarah resmi, lalu buat apa lagi menulis sejarah nasional itu? Ya kan? Ini saya sedikit-sedikit agak menghasut, sedikit ya,” pungkasnya.
Leave a Reply