“Kita menulis sejarah untuk kepentingan yang lebih luas. Masa 10 jilid saja untuk Pak Harto,…”
โEditor Umum Penulisan Ulang Sejarah Indonesia, Prof Susanto Zuhdi
Pemerintah bersama tim yag telah ditunjuk tengah menyusun ulang sejarah nasional Indonesia. Sejarah versi terbaru dari pemerintah itu direncanakan akan menjadi kado istimewa bagi ulang tahun ke-80 Indonesia yang akan jatuh pada Agustus tahun ini.
Namun, di balik penulisan ulang sejarah ini ada kecurigaan bahwa pemerintah yang saat ini dipimpin oleg Prabowo sedang mencoba memuluskan langkah Soeharto menjadi pahlawan nasional yang selama ini selalu ditolak oleh beragam kalangan, terutama aktivis 1998.

Dalam Satu Meja The Forum KompasTV (28/5/2025) dengan tema "Sejarah Ditulis Ulang, Demi Soeharto Jadi Pahlawan?", sejumlah narasumber memberikan pandangannya terkait isu ini. Wakil Ketua Umum Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menganggap kecurigaan itu terlalu jauh untuk dibicarakan saat ini. Baginya, untuk dinobatkan sebagai pahlawan nasional, seorang tokoh termasuk Soeharto, harus menjalani mekanisme tertentu yang tidaklah sederhana.
“Itu pertanyaannya menurut saya terlalu jauh, karena memang kan soal seseorang mau diberikan pahlawan itu ada mekanisme sendiri, ada tata caranya, ada prosesnya, ada uji publiknya, dan seterusnya,” ujar Doli.
Yang pasti, Golkar sebagai partai yang berkuasa di masa pemerintahan Soeharto memastikan tak pernah membicarakan soal ini dengan pemerintah sekarang. Doli memastikan, Golkar tidak pernah meminta agar pemerintah melakukan hal tertentu dalam penyusunan ulang naskah sejarah nasional demi Soeharto mendapat gelar pahlawan.
Doli menekankan, sah-sah saja jika ada orang yang beranggapan penulisan sejarah ini demi memuliskan pemberian gelar pahlawan pada Soeharto. Pun, sah-sah saja jika ada kelompok masyarakat tertentu yang mengusulkan Soeharto menjadi pahlawan.
“Kemarin sudah kita dapati generasi yang sebelumnya sudah menyepakati Pak Soekarno menjadi pahlawan nasional. Saya kira juga enggak salah juga dan sah kalau generasi itu juga menyerukan Pak Harto mendapatkan gelar pahlawan nasional,” ungkapnya.

Editor Umum Penulisan Ulang Sejarah Indonesia Prof Susanto Zuhdi pun bersuara hal yang sama. Ia heran, mengapa proyek negara ini kemudian diartikan terlalu sempit hanya untuk seorang Soeharto.
“Kita menulis sejarah untuk kepentingan yang lebih luas. Masa 10 jilid saja untuk Pak Harto, misalnya,” kata Prof Susanto.
Jika pun akan muncul pahlawan baru, ia menyebut ada banyak nama-nama lain yang bisa didiskusikan, bukan hanya sosok Presiden ke-2 RI.
Ia mencontohkan sejumlah nama seperti Asaat yang pernah menjabat sebagai pemangku sementara jabatan Presiden RI saat Soekarno menjadi Presiden Republik Indonesia Serikat (RIS). Ada Burhanudin Harahap yang sempat menjadi Perdana Menteri Indonesia dan meninggalkan banyak pondasi penting untuk negara ini. Ada juga Muhammad Roem yang sempat menjadi Wakil Presiden dan berperan penting dalam perjanjian Roem Royen yang membuka jalan terjadinya Konferensi Meja Bundar (KMB).
“Kenapa kita enggak mengusulkan Buranudin Harahap juga, misalnya. Jadi kalau soal pahlawan, mesti enggak hanya Pak Harto kok menurut saya,” sebut Prof Susanto.
Pengusulan Soeharto sebagai pahlawan nasional sudah muncul beberapa kali dalam tahun-tahun yang berbeda. Sayangnya, usulan itu selalu termentahkan. Salah satu alasannya karena nama Soeharto tercantum dalam TAP MPR Nomor 11 Tahun 1998 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas KKN.
Dan pada 2024, MPR telah mencabut nama Soeharto dari ketetapan tersebut. Apakah hal ini berarti sudah hilang faktor penghalang Soeharto untuk mendapat gelar pahlawan?
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi PDIP Bonnie Triyana tidak melihat dari pencabutan nama Soeharto di TAP MPR 11/1998, tapi lebih mendasarkan pada tafsir sejarah yang sudah ada.
“Kalau kita baca di dalam outline, misalkan jilid ke-8 itu kan masanya Bung Karno, ditulis dengan judul masa bergejolak dan ancaman integrasi. Kalau kita baca sinopsisnya tone-nya tentu lebih banyak yang minor. Kalau kita baca yang (jilid) 9 tentang Orde Baru, stabilitas, pembangunan, tone-nya agak lebih kuat positifnya. Kalau dari tafsir itu, bisa jadi ini menjadi landasan legitimasi historis bagi status pempahlawanan Soeharto,” ia menjelaskan.
Ketua Aliansi Keterbukaan Sejarah Indonesia Marzuki Darusman tak terlalu ambil pusing soal pemahlawanan Soeharto pasca pencabutan nama Soeharto dari TAP MPR 11/1988.
Menurutnya, pencabutan itu dilakukan di masa MPR dipimpin oleh Bambang Soesatyo yang berasal dari Golkar. Dan pimpinan MPR hari ini sudah berganti.
“Saya lebih cenderung mengambil posisi itu sudah bagian dari masa lalu dan boleh dibilang anggaplah tidak terjadi utak-atik TAP MPR itu. di bawah kepimpinan masa sekarang ini, MPR mulai saja lagi dengan TAP MPR sebagaimana yang berlaku itu,” sebut Marzuki.
Jika ada kelompok masyarakat yang mengusulkan Soeharto sebagai pahlawan nasional, Marzuki pun tak bisa sepenuhnya melarang.
Ia menyebutnya sebagai hak generasi muda untuk menentukan. Tapi jika itu diajukan olehnya atau orang-orang yang mengalami Orde Baru, tentu tidak akan objektif.
“Tidak ada yang memungkiri bahwa jasa Pak Harto itu luar biasa. Gak ada, no debate. Ada di sana-sini masalah-masalah yang berkelanjutan. Malah justru kita harus pelajari mengapa korupsi merajalela. Carilah pada masa Orde Baru, bagaimana itu bermulanya,” ujar Marzuki.
“Tapi untuk bisa menilai, ini adalah hak generasi muda. Jadi saya tidak mempersoalkan apakah layak-tidak layak, tapi belum waktunya kalau ini tidak diputuskan oleh generasi muda,” imbuhnya.
Aktivis 1998 Beka Ulung Hapsara sebagai sosok yang jauh lebih muda ketimbang Marzuki, pun ternyata menganggap pengusulan Soeharto Jadi pahlawan itu sesuatu yang tidak layak, meski sah-sah saja untuk diajukan.
Ia menyadari, informasi yang diterima oleh orang-orang tentang Soeharto pasti berbeda-beda. Hal itu akan melahirkan persepsi yang berbeda-beda pula terkait Penguasa Orde Baru itu.
Namun, secara pribadi ia tetap menganggap Soeharto tidak layak mendapat gelar pahlawan itu.
“Kalau ditanya kepada saya, tentu saja tidak layak. Karena kalau kita bicara Soeharto, dampaknya sangat banyak, dari peristiwa 65, Tanjung Priuk, terus Talangsari, Petrus, kemudian Trisakti, Semanggi 1, Semanggi 2, itu kan juga akumulasi dari sekian puluh tahun kekuasaan Soeharto. Ini baru ngomong soal pelanggaran HAM yang beratnya saja, belum ngomong pelanggaran HAM-nya,” kata Beka yang juga merupakan Komisioner Komnas HAM 2017-2022 itu.
Harapan…
Penulisan ulang sejarah nasional saat ini sudah hampir rampung, meski belum tahu kapan benar-benar siap diterbitkan.
Bonnie berharap, buku sejarah baru nantinya bukan sekadar kompilasi sumber-sumber sejarah yang bersifat sekunder, yang hanya merangkum, mendaur ulang sumber-sumber keluaran yang sudah ada sebelumnya.
Lebih jauh, ia berharap tim penulis ini mampu mendapatkan fakta dan penuturan sejarah langsung dari sumber primer atau melalui riset yang mendalam.
“Jadi jalan terbaiknya menurut saya tunda aja dulu. Tunda aja dulu, tunda aja. Lakukan riset yang betul-betul jangan diburu-buru, diuber-uber,” saran Bonnie.
Ini penting, agar buku sejarah yang dihasilkan nantinya benar-benar bernas, membawa suatu perspektif sejarah yang baru, dan bermanfaat bagi Indonesia.
Menanggapi hal itu, Prof Suseno menegaskan sumber yang ia dan tim gunakan adalah sumber primer.
“Sumber-sumber kami itu primer dan enggak dari nol. Jadi kalau kekhawatiran waktunya pendek, itu disertasi, tesis, itu sudah kita pakai saja. Bahkan kami ada arsip terakhir yang diperoleh oleh arsip nasional itu arsipnya surat-menyurat Soekarno dengan Dewi Ratnasari,” jelas Prof. Susanto.
Sementara itu, Marzuki mengaku senang jika ada perbedaan pendapat di tengah masyarakat soal perlu atau tidaknya pemutakhiran sejarah, pantas atau tidak pantas Soeharto menjadi pahlawan, dan sebagainya.
Berpendapat, mempertahankan pendapat, adalah hal yang baik dan penting untuk terus dijaga. Terlebih kita saat ini merupakan bangsa yang disiapkan untuk menjadi manusia unggulan di Indonesia Emas 2045 kelak.
Yang perlu diperhatikan, adalah cara kita berpikir, bertutur, bersikap, dan berpendapat. Semua harus merefleksikan diri kita sebagai manusia baru, unggul, yang dipersiapkan untuk masa yang maju.
“Kita happy kalau ada dua pendapat yang hidup di dalam masyarakat. Maka lahirlah polemik baru di dalam kehidupan bangsa kita ini, yaitu polemik sejarah. Berdampingan dengan satu polemik yang sebetulnya penting sekali tetapi tidak diolah lebih jauh, yaitu polemik mengenai modernisasi yang dimulai oleh Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane,” ujar Marzuki.

Harapan terkait penulisan ulang sejarah nasional, Beka menyatakan pemberian gelar sejarah tidak bisa bersifat transaksional dan hanya dilegitimasi menggunakan buku-buku sejarah.
Ada faktor pengakuan yang harus dikedepankan. Sejarah adalah pengakuan, pengakuan terhadap peristiwa, pengakuan terhadap korban, juga pengakuan terhadap baik buruk dampak yang ditinggalkan.
“Kalau dari perspektif hak asasi manusia adalah pengakuan terhadap korban. Karena selain dia adalah bagian dari sejarah, dia korban, tapi juga bagian dari upaya pemulihan luka. Ini yang kemudian saya kira penting dipahami oleh pemerintah. Jadi tidak hanya sekedar fakta A, fakta B, seolah-olah ingin negara ini kelihatan besar, tapi menghilangkan ada sekian banyak orang yang dijadikan korban,” tegasnya.
Leave a Reply