Dunia Tak Pasti dan Sikap “Worry, Wait, and See”

Budiman Tanuredjo

Saya sering menyebut suasana sekarang ini sebagai “tintrim”. Kondisi psikologis yang tak menentu. Ada harapan tapi ada juga kecemasan. Ada kepastian, tapi banyak ketidakpastian. Ada optimisme, tapi ada juga pesimisme. Campur aduk.

Hari Rabu, 28 Mei 2025, saya hadir di acara President Club Bisnis Forum di Menara Batavia. Klub yang digagas Founder Jababeka SD Darmono untuk ngobrol soal Peluang Bisnis di Era Kebijakan Tarif Trump. Hadir sebagai pembicara Benny Sutrisno (Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia) dan Nurul Ikhwan (Deputi Kepala BKPM Bidang Promosi dan Penanaman Modal).

Presiden Jababeka SD Darmono dalam acara President Club Bisnis Forum di Menara Batavia, Jakarta.

Klub yang digagas Darmono mempertemukan dunia usaha, regulator, dan masyarakat sipil. Hadir dalam pertemuan tersebut Chandra Setiawan, Budi Susilo Supandji (Gubernur Lemhannas, 2011-2016), Suhardi Alius (Kabareskim 2013-2015), Duta Besar Hamzah Thayef yang pernah bertugas di London (2011-2015), Duta Besar Bagas Hapsoro yang pernah bertugas di Swedia, dan sejumlah pengusaha.

Suasana kebatinan yang saya tangkap dalam forum diskusi tersebut disebut sebagai worry, wait, and see atau WWS. Khawatir, menunggu, sambil melihat-lihat dulu. Kondisi seperti ini membuat semuanya menjadi stagnan. Padahal, menurut Darmono, sikap optimistis menjadi penting untuk mencari peluang. “Pengusaha harus selalu mencari peluang di tengah ketidakpastian,” ujar Darmono.

Presiden Donald Trump memang dirasakan menjengkelkan. Ia menerbitkan executive order di bidang perdagangan, termasuk meningkatkan tarif resiprokal dengan sejumlah negara, termasuk Indonesia.

Semangat perang dagang terjadi, khususnya dengan China. Indonesia mengirimkan delegasi ke Washington untuk berunding dengan Trump. Hasil negosiasi belum diketahui pasti. Salah satu kendala bagi Indonesia adalah kosongnya kursi Duta Besar Indonesia di Washington hampir dua tahun. Seorang diplomat senior berkata kepada saya, “Kekosongan Dubes Indonesia di AS bisa menimbulkan persepsi macam-macam.”

Ketidakpastian baru muncul. Bisa menjadi positif tapi tergantung Trump merespon. Pengadilan Perdagangan Internasional Amerika Serikat memblokir tarif baru Trump.

Peserta President Club Bisnis Forum yang hadir di Menara Batavia.

Pada Rabu 28 Mei 2025, Pengadilan Perdagangan Internasional AS memutuskan memblokir sebagian besar tarif impor yang digulirkan Trump sejak Januari 2025. Pengadilan Federal yang berbasis di Manhattan meminta Trump menghentikan tarif tersebut secara permanen dalam waktu sepuluh hari ke depan. Gedung Putih mengecam putusan Pengadilan Federal. Hakim yang tidak dipilih oleh rakyat tidak memiliki hak mengintervensi kebijakan perdangan presiden. Gedung Putih akan mengajukan banding.

Ketidakpastian kembali terjadi. Worry, wait, and see. Situasi dunia memang tidak baik-baik saja. Indeks Ketidakpastian Kebijakan Perdagangan Dunia pada April 2025 menembus angka 1.151. Indeks itu meningkat lebih dari 13 kali lipat dari rerata indeks pada 2015-2024. Alarm perdagangan itu menjadi perhatian utama dalam pertemuan Para Menteri Pengampu Sektor Perdagangan APEC di Jeju, Korea Selatan, 15-16 Mei 2025.

Kebijakan Trump memang menghentak dunia. “Pertanyaannya apakah hal ini membuat kita semakin berpikir sektoral alias sendiri-sendiri atau malah menunjukkan kebersamaan untuk mengantisipasi bahkan mencari jalan keluar bersama,” ujar Darmono.

Ketua Umum Gabungan Perusahaan Ekspor Indonesia Benny Sutrisno.

Benny Sutrisno menawarkan gagasan bahwa di era proteksionisme sekarang ini, mengandalkan satu pasar ekspor adalah pendekatan berisiko tinggi. Diversifikasi pasar menjadi kunci untuk mempertahankan volume ekspor dan membuka peluang baru. Benny juga menyarakan agar memperkuat perdagangan dengan ASEAN dan Uni Eropa.

Benny menyarankan dua langkah yang bisa diambil pemerintah. Pertama, pendekatan multidimensional yakni diplomasi, diversifikasi pasar, dan ketahanan domestik. Dan kedua, mengubah tantangan menjadi peluang dengan memperkuat daya saing, menyeimbangkan perdagangan, dan membangun kemandirian jangka panjang.

Dunia memang penuh tantangan. Saya teringat pada sejarawan Arnold J Toynbee dalam buku “Study of History” yang mengatakan “challenge and response.” Hal itu sering disampaikan Jakob Oetama kepada saya.

Peradaban besar muncul dan berkembang bukan karena lingkungan yang mudah, melainkan karena mereka berhasil menjawab tantangan berat (challenge) dengan respons yang kreatif dan efektif (response). Kutipan Toynbee yang terkenal dalam A Study of History, “Civilizations die from suicide, not by murder.”

Kutipan Toynbee ini relevan di tengah situasi tak menentu yang oleh sebagian orang disebut worry, wait, see. Toynbee menegaskan, kehancuran suatu bangsa bukan semata karena faktor eksternal, tetapi karena gagalnya internal bangsa itu sendiri merespons tantangan yang muncul.

Challenge and response. Ketika Trumph bertindak bagaimana bangsa-bangsa meresponnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *