“…saya bilang mengadili almahrum itu kan tidak mungkin, tetapi setidak- tidaknya, selemah-lemah iman adalah mencegah agar dia dipahlawankan, itu menjadi penting,”
โKetua Dewan Setara Institute, Hendardi
Indonesia kini ada dalam sistem politik yang demokratis, kebebasan diberikan dalam berbagai hal, kekuasaan eksekutif dibatasi mencegah tindakan sewenang-wenang dari prnguasa.
Lebih dari seperempat abad sudah kebebasan itu direngkuh. Dalam rangka peringatan 27 tahun reformasi, Budiman Tanuredjo mengundang salah seorang pejuang kesetaraan dan kemanusiaan, Hendardi dalam siniar Back to BDM yang tayang di kanal YouTube miliknya.
Hendardi tau betul apa yang menyebabkan massa ketika itu berkumpul hingga membentuk kekuatan yang demikian besar di Jakarta. Jawabannya adalah adanya musuh bersama. Musuh bersama itu adalah Soeharto, Presiden ke-2 Indonesia yang sudah menjabat selama 32 tahun lamanya.
Pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) itu menceritakan, di saat itu sebenarnya tidak ada organisasi kemahasiswaan atau kemasyarakatan yang kuat, namun krisis ekonomi yang melanda Indonesia ketika itu memang benar-benar hebat. Semua orang merasakan kesulitan hidup yang sama, semua orsng ingin meneriakkan keluhan yang sama kepada pemerintah.
“Kemudian ada musuh bersama pada waktu itu, sehingga organisasi-organisasi yang ada walaupun tidak terlalu kuat, ini bisa bersatu karena adanya common enemy, Soeharto,” kisah Hendardi.

Ia pun tak pernah menduga saat itu merupakan titik kulminasi kemarahan masyarakat pada pemerintah yang berdampak pada terjadinya perubahan politik dalam waktu begitu singkat. Soeharto mengundurkan diri. Dan rezim baru akan segera disongsong.
Namun ia harus menggarisbawahi, meski nampak besar perubahan yang terjadi, sebetulnya perubahan itu tidak terlalu substansial.
“Lebih kelihatan orang berganti baju daripada betul-betul substansi nilai-nilai berubah. Para pelaku politik pada masa Orde Baru sebagian besar mungkin masih bercokol, bertahan sampai sekarang,” ujar dia.
Misalnya Prabowo Subianto yang dulu disebut-sebut terlibat dalam aksi penculikan aktivis pro demokrasi tahun 1997-1998 kini menjadi Presiden. Ada pula Wiranto, di masa itu merupakan Panglima ABRI dan kini menjadi Penasihat Khusus Presiden Bidang Politik dan Keamanan. Ada pula Sjafrie Sjamsoeddin orang kepercayaan Soeharto sekaligus kawan baik Prabowo yang kini duduk di kursi Menteri Pertahanan.
“Itu kan menandai dengan pasti bahwa reformasi ini tidak banyak melakukan (menghasilkan) perubahan. Kalau kita sebagian orang menyatakan kembali ke titik nol, tapi sebagian lagi bisa mengatakan semakin mundur,” ujar dia.
Soeharto Diusulkan jadi Pahlawan Nasional
Terhitung sudah beberapa kali mengemuka usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional Indonesia. Usulan itu salah satunya datang dari Kementerian Sosial (Kemensos) dengan Tim Peneliti dan Pengkaji Gelar Pusat (TP2GP).
Namun, penolakan diserukan oleh berbagai pihak, khususnya mereka para aktivis 1998, termasuk Hendardi.

Ada berbagai alasan mengapa gelar pahlawan nasional dianggap tak layak disematkan pada sosok Soeharto. Salah satunya adalah latar belakang kepemimpinan Soeharto di masa lalu yang begitu otoriter dan dipenuhi dengan korupsi.
“Kita menikmati betul bagaimana perilaku Soeharto, otoritarianisme Soeharto kita mengalami betul,” sebut alumni FTSL ITB itu.
“Otoritarianisme Soeharto dalam segala bidangnya itu menjadi satu pelajaran berharga buat kita, yang saya kira tidak perlu diulang kembali. Dan karena itu, saya bilang mengadili almahrum itu kan tidak mungkin, tetapi setidak- tidaknya, selemah-lemah iman adalah mencegah agar dia dipahlawankan, itu menjadi penting,” Hendardi melanjutkan.
Ia menyadari, tidak ada cukup referensi sejarah tentang Orde Baru yang benar, yang bisa dikonsumsi oleh generasi muda yang dulu tidak mengalaminya secara langsung. Ia pun tidak terlalu heran, jika nama Soeharto di mata generasi baru tak seburuk nama Soeharto di mata generasi lalu yang hidup di masa Orde Baru dan mengalami gerakan reformasi.
Penulisan Ulang Sejarah Indonesia
Pemerintah melalui Kementerian Kebudayaan berencana menulis ulang sejarah nasional pada 17 Agustus 2025. Kegiatan itu akan melibatkan 100-an sejarawan. Ini tentu membuka peluang terjadinya penafsiran sejarah secara berbeda. Kita tahu, sejarah ditulis oleh mereka yang menang. Dan dalam konteks politik saat ini, Prabowo adalah pihak yang menang tersebut.
Hendardi menyimpan kekhawatiran, sejarah tentang Orde Baru bisa saja ditafsirkan berbeda demi memuluskan rencana menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional sebagaimana dibahas sebelumnya. Kekhawatiran itu tetap melekat meski disebutkan ada 100-an sejarawan yang akan turut dilibatkan dalam penyusunannya.
“Tapi saya enggak tahu 100-nya siapa. Sekarang kan zamannya memobilisasi, ada lawyer juga ratusan, bukan hanya sejarawan. Tapi kan itu kredibilitas mereka pasti dipertaruhkan, dan itu saya kira publik bisa menilai,” ujar Hendardi merespons banyaknya sejarawan yang dilibatkan.
Diketahui, Prabowo dan sederet nama dalam kabinetnya sangat lekat dengan pemerintahan Soeharto. Secara pribadi pun, Prabowo dikenal sebagai mantan menantu dari Soeharto karena pernah menikahi putrinya, yakni Siti Hediati Hariyadi (Titiek Soeharto), dan hubungan kekeluargaan di antara mereka masih terjalin baik hingga saat ini.
“Saya kira ini bagian dari upaya untuk membenarkan agar Soeharto nantinya bisa memperoleh gelar pahlawan itu. Dan sejarah itu kan ditulis oleh kaum pemenang, dan mereka sekarang sedang menang,” jelas Hendardi.
Menyikapi rencana penulisan ulang sejarah nasional itu, Hendardi menyebut kegiatan itu sebagai sesuatu yang tidak memiliki urgensi untuk dilakukan saat ini. Mengingat ada begitu banyak persoalan dan tantangan pemerintah yang membutuhkan fokus, perhatian, dan perlu dicari jalan keluarnya sesegera mungkin.
Aktivis kelahiran 1957 itu mencontohkan soal nasib anak-anak sekolah yang keracunan akibat mengonsumsi makanan dari program pemerintah Makan Bergizi Gratis (MBG). Hal lain yang bagi Hendardi penting untuk mendapat perhatian pemerintah adalah melakukan evaluasi berbagai program pemerintah yang tidak masuk akal dan hanya disusun untuk kepentingan pencitraan semata.

Jika pun penulisan ulang sejarah itu benar akan dilakukan, pemerintah seharusnya turut memasukkan perspektif sejarah dari kacamata yang lain. Misalnya dari sudut pandang mereka yang kalah, mereka yang menjadi korban, juga tim-tim independen. Jadi sejarah yang disusun menjadi komprehensif dan tidak datang dari sudut pandang yang tunggal, yakni hanya dari pemerintah sebagai pihak pemenang saja.
“Saya setuju, itu mesti punya posisi yang sama mereka. Saya mendorong penulisan-penulisan sejarah di kalangan korban dan sebagainya atau pihak ketiga, pihak yang independen untuk melihat itu. Itu menjadi penting dan publik dibiarkan membaca, menilai semua itu, tidak dibatasi,” kata dia.
Dengan begitu, maka perspektif sejarah yang dihadirkan akan menjadi lebih luas dan lengkap.
Sebenarnya selama ini penulisan sejarah dari pihak kedua atau ketiga sudah banyak dilakukan, meski tak semasif masa-masa tahun 1960-an. Namun, tidak banyak publik yang menaruh perhatian ke sana, karena memang penulisnya bukan pihak pemenang atau penguasa.
Hendardi mengingatkan, tulisan-tulisan itu mungkin sekarang nampak tidak begitu berguna, tapi sejarah punya waktunya sendiri. Iklim politik akan selalu berubah, dan tidak mungkin sejarah versi pihak korban dan mereka yang kalah suatu hari nanti akan didengar dan dijadikan acuan.
“Memang saya harus akui kelemahan kita di masyarakat sipil, terutama para korban ini sangat lambat di dalam upaya-upaya menuliskan sejarah tentang dirinya. Saya kira malah lebih produktif tokoh-tokoh pada masa 65, seperti Pramodya Ananta Toer almarhum dan sebagainya. Dan terbukti, sekalipun mereka adalah pihak yang kalah, tapi minat orang untuk membaca dan mengetahui apa yang terjadi pada itu juga tidak kecil. Jadi kita tidak usah khawatir terhadap itu,” jelas dia.

Saat ini, jika penulisan sejarah dari perspektif di luar pemerintah itu benar-benar ada, maka pemerintah tidak boleh menggunakan instrumen-instrumen hukum yntuk melarangnya. Jika itu terjadi, maka tidak ada bedanya dengan masa Orde Baru.
Terlepas dari hal itu, Hendardi membaca di balik rencana penulisan ulang sejarah nasional ini ada upaya untuk mengungkap sejarah-sejarah yang selama ini ditutup-tutupi oleh penyusun sebelumnya.
“Sekarang dengan rezim yang mereka kuasai tentu saja itu akan menjadi kepentingan mereka sebagai justifikasi, sebagai pembenar, sebagai fondasi untuk melakukan berbagai tindakan-tindakan yang sebenarnya pada dasarnya otoritarianisme, tapi bentukya beda saja,” sebut dia.
Misalnya rezim kekuasaan sekarang bisa saja akan menuliskan sejarah Soeharto sesuai dengan kepentingan mereka untuk menjadikan Presiden ke-2 RI itu menjadi pahlawan nasional.
“Sebagai semacam pembenar agar Soeharto bisa diusulkan sebagai (pahlawan nasional). Kalau sekarang kan banyak orang masih mementahkan itu,” kata Hendardi.
Leave a Reply