“Kalau saya sih secara umum ini menyedihkan sekali sebetulnya. Untuk mengatakan ini lebih mundur (daripada Orde Baru) juga sulit, tapi mengatakan ini tidak maju, sudah pasti,”
— Aktivis sekaligus pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM Indonesia, Hendardi
Setelah bergulir selama 27 tahun, reformasi di Indonesia mengalami berbagai perkembangan. Geliat politik dan demokrasi di Tanah Air beberapa waktu belakangan pun memunculkan beragam pandangan terkait jalan atau tidaknya agenda reformasi. Sebuah gerakan massa yang pada 1998 lalu diperjuangkan penuh dengan keringat, darah, bahkan nyawa.
Dalam siniar Back to BDM di kanal YouTube-nya, Budiman Tanuredjo mengundang aktivis kesetaraan dan keberagaman, Hendardi, untuk membagikan perspektifnya terkait implementasi reformasi di tahun 2025 ini.

Adakah reformasi semakin mengakar dan tumbuh besar? Terjadi pemburukan? Atau justru telah reformasi itu telah mati?
Kita tahu, ada 6 tuntutan atay gagasan utama dari gerakan reformasi 98. Adili Soeharto dan kroninya, cabut dwifungsi ABRI, amandemen UUD 1945, tegakkan supremasi hukum, berantas KKN, terapkan otonomi daerah seluas-luasnya.
Hendardi memberikan penilaiannya berdasarkan tiap-tiap tuntutan.
Amandemen UUD 1945
UUD 1945 telah mengalami amandemen atau perubahan sebanyak 4 kali, yakni pada 1999, 2000, 2001, dan terakhir di 2002.
Dalam konteks tuntutan, agenda perubahan konstitusi ini menurut Hendardi sudah tercapai. Lebih dari itu, amandemen itu juga memberikan jaminan kuat pada pemberlakuan sistem demokrasi di masa setelahnya.
“Meski secara normatif deretan pasal-pasal dalam konstitusi itu sangat menjanjikan, namun nyatanya hari-hari ini saya kira pasal-pasal tersebut tidak sepenuhnya mampu men-delivery keadilan, tidak mampu menjadi perisai kebebasan di dalam berpendapat dan berekspresi, dan seterusnya,” kata Hendardi.
Pendiri Perhimpunan Bantuan Hukum dan HAM (PBHI) itu melihat ada banyak aturan turunan yang diciptakan di kemudian hari justru membonsai konstitusi dan mengingkari jaminan demokrasi yang sudah tertulis dalam konstitusi itu sendiri.
Ia menyebut Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagai contohnya. UU itu berulangkali dipakai pihak yang memiliki kepentingan politik untuk memenjarakan orang-orang yang menyuarakan pendapat kritisnya.
“Bukan itu saja, pasal-pasal dalam konstitusi seperti berdiri sendiri dan semakin berjarak dengan ketentuan-ketentuan hukum di bawahnya. Jadi bukan enggak bisa dilaksanakan saja, tapi terjadi jarak malah,” ujar Hendardi.

Ketua Dewan Setara Institute ini menilai para elite saat ini membuat peraturan semau sendiri, disesuaikan dengan kepentingan dan selera pribadi. Itu mengingatkannya pada ungkapan yang pernah disampaikan wartawan dan novelis Mochtar Lubis, “…untuk kepentingan orang yang berkuasa, maka sering pula yang haram itu menjadi halal, dan sebaliknya”.
Inilah yang terjadi saat ini di Indonesia. Bagaimana konstitusi bisa diubah-ubah sesuai kepentingan pihak tertentu melalui Mahkamah Konstitusi (MK), demi memenuhi hasrat kekuasaan.
Cabut Dwifungsi ABRI
Agenda reformasi kedua adalah cabut dwifungsi ABRI. Dulu ABRI masuk ke ranah politik dan urusan sipil lainnya. Inilah yang berhasil dihentikan melalui reformasi. Militer hanya bisa berada di lingkup militer, tidak membaur masuk ke lembaga atau ranah sipil lainnya.
Namun, baru-baru ini pemerintah bersama DPR justru mengesahkan revisi UU TNI yang melegitimasi para prajurit TNI menduduki sejumlah jabatan sipil yang telah ditentukan.
Terkait hal ini, Hendardi tak sepenuhnya menyalahkan TNI atas keterlibatannya di bidang sipil. Sebaliknya, ia justru menyebut semua ini akibat ulah sipil itu sendiri.
“Apa yang TNI lakukan pada saat ini, itu adalah lebih karena ada situasi di mana politisi-politisi sipil itu kenes, genit. Merasa setiap peran yang dilakukan itu harus menyertakan, melibatkan TNI, melibatkan militer. Itu kenes, genit, dan enggak pantas pada masa sekarang. (Militer dan sipil) Yang sudah dipisahkan perannya pada saat reformasi, mereka masih mengundang-undang lagi,” jelas Hendardi.
Tak hanya pelaku politik yang kegenitan, dunia hukum juga tak jauh berbeda. Belum lama ini terkuak bahwa Kejaksaan Agung mengundang TNI masuk untuk melakukan penjagaan.
Mungkin ada sejumlah prajurit TNI yang berhasrat masuk ke ranah sipil, tapi jumlahnya tak sebanyak unsur-unsur sipil yang genit mengundang militer masuk.
Adili Soeharto
Soeharto pada 21 Mei 1998 mengundurkan diri dari kursi kepresidenan setelah didesak mahasiswa untuk turun. Kepemimpinan Soeharto dijalankan dengan model otoriter dan di dalamnya dipenuhi korupsi yang dilakukan oleh kroni-kroninya.
Alasan itu yang membuat massa aksi menuntut agar Soeharto diadili.
Dua dekade berselang, sosok yang dulu menjadi musuh bersama itu justru beberapa kali diusulkan sejumlah pihak menjadi pahlawan nasional.

Pria lulusan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan (FTSL) ITB ini mengatakan, agenda reformasi yang satu ini belum dan tidak akan pernah terwujud. Mengapa? Sebelum Soeharto benar-benar bisa diadili, kondisi kesehatannya menurun hingga kemudian meninggal dunia. Jadi, hingga tutup usia, Soeharto tak pernah diadili atas kesalahan-kesalahan selama 32 tahun masa pemerintahannya memimpin Indonesia.
Soal usulan menjadi pahlawan nasional, Hendardi sedikit khawatir bisa terlaksana di kemudian hari.
“Cerita otoritarianisme Orde Baru ini tidak lagi didengar oleh generasi saat ini, itu sulitnya. Justru narasi-narasi Soeharto yang mendominasi, kebesaran Soeharto yang mendominasi, glorifikasi terhadap Soeharto ini yang mendominasi,” ungkapnya.
Jadi, kita semua dituntut untuk bisa mencegah pemberian gelar pahlawan nasional itu untuk Soeharto. Jika gelar kehormatan itu sampai diberikan, sama artinya dengan menguatkan glorifikasi kebaikan-kebaikan Soeharto yang belum tentu benar.
“Yang bisa kita lakukan sekarang setidaknya adalah selemah-lemah iman kita itu adalah mencegah pemberian gelar pahlawan ini,” tegas Hendardi.
Berantas KKN
Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) adalah permasalahan bangsa Indonesia yang sudah bercokol sejak lama, termasuk di era Orde Baru hingga hari ini.
Reformasi mengamanahkan kita untuk bisa memberantas KKN hingga ke akar-akarnya. Dam dalam perjalanan 27 reformasi sudah ada banyak hal yang kita capai untuk agenda yang satu ini.
“Dalam konteks pemberantasan KKN ini berjalan cukup baik. Jadi saya enggak bilang ini buruk semua, tapi ada beberapa episode di mana itu cukup baik, sekalipun banyak praktik menyimpang yang dijalankan oleh para penegak hukum pada waktu itu,” sebut Hendardi.
Tapi harus diakui, KKN belum benar-benar tuntas dibasmi. Korupsi hanya beralih rupa, dari cara lama menjadi cara-cara yang lebih baru dan canggih.
Dan dengan lembaga hukum yang rapuh, ditambah elite penegak hukum yang terlibat konflik, perang menghadapi korupsi ke depan akan semakin sulit.
“Akan selalu ada orang-orang yang dijerat oleh KPK, kejaksaan, polisi, tetapi sistem anti korupsinya tetap sulit terwujud. Kalau penangkapan itu kan show, itu selalu akan ada,” kata pria 67 tahun itu.
Belum lagi soal nepotisme yang hari-hari ini kian marak, namun tak mendapat perhatian besar. Pejabat tinggi negara menjadikan anak keturunannya menduduki posisi strategis tertentu, sistem rekruitmen mengabaikan asas meritokrasi dan mengedepankan unsur kedekatan, dan sebagainya.

Hendardi menilai nepotisme di era ini juga peran pergantian kekuasaan di masa lalu yang tidak bisa mengubah ini secara substantif. Orang-orang berkuasa di masa lalu masih memiliki keturunan yang juga berkuasa hingga saat ini.
“Yang rugi memang yang enggak punya turunan mungkin,” celetuknya.
Yang paling ia khawatirkan adalah bahwa kegiatan nepotisme ini perlahan mulai dimaklumi oleh masyarakat, tak dianggap sebagai sesuatu yang salah.
Menjamurnya praktik nepotisme mungkkn menunjukkan kegagalan reformasi, namun ia masih cukup bahagia melihat banyaknya perlawanan kecil yang muncul melalui media-media sosial atau gerakan-gerakan anti korupsi di tengah masyarakat.
Otonomi Daerah Seluas-Luasnya
Di era Orde Baru, kekuasaan sepenuhnya dikendalikan oleh pusat, daerah tidak memiliki kuasa untuk mengatur dirinya sendiri. Bahasa lain yang sering digunakan adalah kekuasaan yang tersentralisasi.
Oleh karena itu, gerakan reformasi menuntut agar dibentuk otonomi daerah atau desentralisasi seluas-luasnya. Dan tuntutan ini pun terwujud.
“Saking otonomnya, bahkan 15 tahun atau 1,5 dasawarsa setelah reformasi kita mengalami bencana ekologis luar biasa akibat perizinan, khususnya di dalam bidang pertambangan dan perkebunan yang tidak terkontrol dan minim tanggung jawab,” ujar Hendardi.
Akibatnya, desentralisasi itu mulai dipangkas, pemerintah pusat menarik sebagian kewenangan daerah dan kembali mengambilalihnya untuk meminimalisasi risiko kerusakaan yang lebih massif.
“Sebelumnya terdesentralisasi dan kemudian kembali terjadi resentralisasi, khususnya soal perizinan yang berhubungan dengan sumber daya alam,” papar dia.
Dan dari 6 agenda yang ada, Hendardi melihat hanya ada 3 di antaranya yang benar-benar tuntas dijalankan, meski tetap belum sempurna dan memiliki PR-nya masing-masing. Ketiga agenda itu adalah pencabutan dwifungsi ABRI, amandemen UUD 1945, dan perluasan otonomi daerah.
Sementara untuk adili Soeharto tak bisa terlaksana. Adapun berantas KKN dan perkuat supremasi hukum tidak terlihat keseriusannya.
“Yang lainnya bisa dikatakan tidak tersentuh bahkan lebih mundur,” sebutnya.
Reformasi Berhasil atau Gagal?
Setelah semua analisis terkait agenda reformasi dipaparkan, Hendardi menyimpulkan reformasi belum sepenuhnya berhasil.
Reformasi belum berhasil mengubah keadaan negara ini menjadi ideal seperti yang diidamkan. Reformasi hanya berhasil mengganti aktor pemerintahan, meski perilakunya tetap sama.
“Kalau saya sih secara umum ini menyedihkan sekali sebetulnya. Untuk mengatakan ini lebih mundur (daripada Orde Baru) juga sulit, tapi mengatakan ini tidak maju, sudah pasti,” ujarnya.
Kesimpulan itu ia tarik dari praktik demokrasi dan hukum selama 5 tahun terakhir.
Pada periode kedua pemerintahan Joko Widodo, Hendardi juga melihat adanya penguatan vetokrasi. Vetokrasi adalah kemampuan dari kelompok kepentingan tertentu untuk memblokir kepentingan kolektif yang lebih luas.
Misalnya, bagaimana proses pembuatan undang-undang di DPR yang bisa disahkan hanya dengan dominasi 4-5 orang anggota saja.

Selain itu, Hendardi juga melihat praktik demokrasi berjalan pincang di negeri ini, di mana kebijakan yang diambil elite bukanlah kebijakan yang ditujukan untuk memihak kepentingan masyarakat.
“Rakyat itu bukanlah variabel di dalam pengambilan keputusan-keputusan politik kenegaraan. Jadi saya kira semuanya menggambarkan bagaimana demokrasi itu telah berganti dengan vetokrasi,” terang dia.
Di luar itu, suasana kebatinan bangsa juga tidak membaik, banyak pihak yang merasa suaranya dibungkam, kebebasannya dibatasi, tak ada supremasi hukum, keadilan sulit didapatkan, kesenjangan makin meluas di sana-sini, dan sebagainya.
Tetapi kondisi itu seakan tersamarkan oleh kepiawaian rezim dalam mengeluarkan program-program yang bersifat populis. Kebijakan populis itu terbukti mampu menyihir atau meninabobokkan rakyat.
Terlepas dari itu semua, Hendardi berharap masyarakat tetap memperkuat basis-basis organisasi kemasyarakatan untuk bersatu mengumpulkan kekuatan melawan sesuatu yang tidak diinginkan, jika sampai terjadi.
“Saya kira ini masih berproses. Memang saya tidak bisa mengatakan bahwa ini berpengharapan yang mencukupi. Tetapi saya kira setidaknya ada upaya-upaya dari masyarakat sipil. Walaupun saya kira masyarakat sipil lelah dengan proses politik yang terjadi selama ini, letih. Tapi letih kan bukan berarti berhenti,” ungkap Hendardi penuh optimis.
Apapun yang terjadi pada negeri ini, kita sebagai bangsa yang mendiaminya harus tetap optimis dan mengupayakan yang terbaik demi negeri ini bisa bergerak ke arah yang lebih baik.
Leave a Reply