“…Enggak ada pertanggungjawaban negara terhadap mereka. Bahkan Negara mengacuhkannya, ratusan kali sudah aksi Kamisan dan sebagian besar dianggap kayak tidak ada,”
โAktivis 1998 Savic Ali
Indonesia memiki sejarah kelam soal berbagai soal pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di masa lalu yang belum juga tuntas hingga hari ini. Negara bukan tidak peduli, Negara kerap hadir, namun kepedulian yang ditunjukkan terkadang kurang optimal dan tidak mampu menjawab rasa keadilan yang dituntut para korban atau keluarganya.
Setidaknya ada belasan kasus pelanggaran HAM yang tergolong berat yang sudah terjadi sejak tahun 60-an. Beberapa yang paling terkenal adalah kasus-kasus yang terjadi di seputaran tahun-tahun terjadinya reformasi, yakni 1997-1998.
Ada kasus penculikan para aktivis pro demokrasi, penjarahan toko, perusakan rumah, penganiayaan, pemerkosaan, hingga pembunuhan yang dialami etnis Tionghoa, satu lagi soal penembakan sejumlah mahasiswa Trisakti menggunakan peluru tajam saat unjuk rasa tahun 1998-1999.
Kasus penembakan ini salah satunya menewaskan Wawan, mahasiswa Trisakti dimana sang ibunda bernama Sumarsih masih memperjuangkan keadilan baginya dengan rutin menggelar aksi Kamisan setiap hari Kamis di depan Istana Negara bersama para korban HAM lainnya hingga saat ini.
Aksi demi aksi terus mereka gelar, keadilan terus mereka kejar. Lantas siapa yang harus sebenarnya dimintai pertanggungjawaban?

Sejumlah narasumber hadir dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (21/5/2025) dengan tema “27 Tahun Bergulir, Reformasi Dikorupsi?” dan membincangkan berbagai hal, salah satunya isu yang satu ini.
Untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pelanggaran HAM ini, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ace Hasan Syadzili menyebut Presiden Prabowo memiliki komitmen terhadap PR kasus-kasus HAM dengan cara membentuk Kementerian HAM dengan menteri seorang aktivis dari Tanah Papua, Natalius Pigai.
Dan persoalan-persoalan terkait HAM yang masih menggantung menurut Ace sebaiknya diselesaikan oleh Kementerian HAM itu.
“Kita harusnya bisa serahkan kepada kewenangan yang dimiliki oleh kementerian terkait dengan HAM,” kata Ace.
Aktivis 1998 Savic Ali menganggap usulan menyerahkan persoalan ini pada Kementerian HAM semata tak akan menjanjikan banyak hal.
“Saya tidak yakin, tidak punya optimisme di situ. Saya tidak yakin Kementerian HAM bisa memecahkan itu. Ini kasus yang sudah bertahun-tahun ya, termasuk Semanggi,” ujar Savic yang menjadi salah satu peserta aksi ketika itu.
Ia mengisahkan, saat kejadian ada lebih banyak korban yang nama-namanya tidak tercatat atau dipublikasikan media.
Tragedi siang itu terjadi akibat ada tuduhan nakar yang diserukan Wiranto, ketika itu sebagai Panglima Gabungan (Panggab) ABRI, terhadap para demonstran karena dianggap akan menggagalkan Sidang Istimewa.
Padahal, Savic mengaku para mahasiswa ketika itu hanya menego untuk diberi waktu hingga sore hari menggelar aksi, kemudian mereka akan membubarkan diri secara tertib. Sayangnya, negosiasi itu tak diterima dan kerumunan demonstran ketika itu langsung dihadang oleh banser dan water canon. Mereka ditembaki begitu saja.
Keesokan harinya, Savic melanjutkan, Wiranto menyampaikan mereka adalah makar. Atas dasar itu pula lah Wiranto merasa tidak salah jika demonstran itu dibubarkan menggunakan peluru tajam.
“Enggak ada klarifikasi sampai hari ini terhadap statement seperti itu. Enggak ada pertanggungjawaban negara terhadap mereka. Bahkan Negara mengacuhkannya, ratusan kali sudah aksi Kamisan dan sebagian besar dianggap kayak tidak ada,” sebut Savic.

Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Usman Hamid juga tak sependapat jika persoalan HAM masa lalu ini dibebankan penyelesaiannya pada Kementerian HAM.
Alasannya ada dua, pertama, secara peraturan perundang-undangan kementerian tidak ditugaskan untuk memecahkan teka-teki pelanggaran berat HAM masa lalu yang masih menggantung hingga kini. Tugas itu dibebankan pada Jaksa Agung termasuk Presiden. Kedua, Kementerian HAM tidak memiliki kapasitas anggaran untuk itu.
“Kementerian HAM enggak punya apa-apa, enggak punya kewenangan apa-apa lagi. Dari segi anggaran pun juga sangat kecil. Bahkan Menteri HAM-nya sendiri punya ambisi yang lain, yaitu membuat Universitas HAM yang membutuhkan anggaran Rp20 triliun. Jadi jawaban Bung Ace dengan segala hormat saya kira tidak tepat kalau menempatkan penyelesaian pelanggaran berat ini pada Kementerian HAM,” jelas Usman.
Pakar Hukum Tata Negara Bivitri Susanti melihat ada faktor yang membuat persoalan HAM ini tak juga menemui titik terang. Faktor itu adalah ketidakmampuan (unable) dan ketidakmauan atau unwilling.
Untuk faktor unable langsung ia singkirkan, karena Indonesia memiliki perangkat hukum yang memadai untuk mengungkapnya. Jadi titik beratnya lebih pada faktor unwilling.
Keputusan politik yang diperlukan dalam hal penyelesaian kasus-kasus HAM ini harus diambil oleh Presiden. Namun, Presiden yang saat ini menjabat, Prabowo justru diduga kuat terlibat dalam salah satu kasus pelanggaran HAM yang semestinya dibongkar itu.
Sudah menjadi rahasia umum bahwa Prabowo dikatakan terlibat dalam kasus penculikan para aktivis di tahun 1997-1998, meski pengadilan telah menyarakan tidak terlibat.
“Sekarang masih diperdebatkan, tapi Pak Prabowo mungkin tidak terlibat karena tidak ada putusan pengadilannya. Di situlah yang kemudian kita kenal dengan nama impunitas. Ketika sistem politiknya malah melindungi para pelanggar HAM berat itu,” kata Bivitri.
Jika untuk menjaga reformasi dibutuhkan perubahan institusional juga perubahan lada aktor pelakunya, maka hari ini perubahan aktor itu tidak terjadi. Orang yang terlibat dalam kasus pelanggaran HAM terkait gerakan reformasi kini justru menjabat di pemerintahan. Prabowo menjadi Presiden. Nama-nama lain seperti Wiranto dan Syafri Syamsudin juga masih muncul dalam landskap politik nasional Indonesia.
Menanggapi pendapat itu, Wakil Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari menyebut jika berbicara persoalan-persoalan bangsa akan selalu ada kondisi di mana kita tidak mendapatkan jawaban akhir. Termasuk soal pelanggaran HAM ini.
Tidak hanya kasus di 1998, tapi juga kasus-kasus di tahun 60-an yang hingga saat ini belum juga selesai.
“Yang kemudian saya pahami juga, ini saya sedang cerita deskriptif yang terjadi pada peristiwa 65 yang saya lihat, saya tangkap dari teman-teman yang terlibat pada proses-proses itu yang terjadi adalah proses rekonsiliasi. Jadi mungkin penyelesaiannya (kasus pelanggaran HAM) bukan semata-mata hukum atau bukan masalah hukum, tapi ada cara dan lain yaitu rekonsiliasi,” ungkap Qodari.

Pemikir Kebinekaan Sukidi mengatakan ads dua pilihan dalam kondisi luntang-lantungnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM di Indonesia. Pilihan itu adalah berpihak pada kekuasaan yang tak memiliki kehendak politik untuk menyelesaikan masalah atau memihak pada sisi kemanusiaan dalam hal ini kepada korban yang merupakan kaum lemah.
“Saya tidak ada pilihan lain kecuali membersamai mereka yang lemah, yang menjadi korban dari kemanusiaan,” ujar Sukidi.
Melihat sosok Sumarsih yang tak kenal menyerah dalam memperjuangkan keadilan atas anaknya, meski usian sudah tak lagi muda, Sukidi melihatnya sebagai seorang teladan yang baik.
“Bahwa di tengah Indonesia yang semakin gelap, Bu Sumarsih tetap memberikan satu teladan tentang pentingnya merawat harapan. Bahwa di tengah kegelapan, harapan dan lilin untuk mencari keadilan harus terus dinyalakan,” kata Sukidi.
Merawat Harapan….
Reformasi memang jalannya tak selalu mulus, 6 tuntutan yang sempat terpenuhi di masa awal-awal reformasi bergulir satu per satu diingkari dan seakan kondisinya dikembalikan ke era sebelumnya.
Tapi semangat harus tetap dijaga, harapan harus selalu dipelihara. Usman Hamid mengatakan, cara menjaga harapan reformasi itu adalah dengan cara menjaga cita-cita dan idealisme yang dihasilkan dari reformasi itu sendiri.
“Karena tanpa idealisme itu saya kira kita tidak punya pegangan hidup lagi. Kita tidak punya semacam ukuran menuju Indonesia yang lebih baik,” ujar dia.
Cara kedua adalah dengan menumbuhkan dan memperluas kesadaran di kalangan masyarakat termasuk di kalangan generasi muda tentang perjuangan reformasi, apa gagasan yang dibawa, bagaimana kondisi negara sebelumnya. Sehingga para generasi muda bisa memiliki spirit yang sama meski mereka tak pernah mengalaminya.
Menjadi apapun kita, idealisme harus tetap dijaga. Tak ada artinya semua jabatan tinggi jika tidak dilandasi idealisme.
“Tidak ada artinya rumah di Menteng, jabatan di Medan Merdeka Barat, kalau tidak ada idealisme. Karena idealisme itu adalah kemewahan terakhir yang dimiliki,” seru Usman.
Tak berbeda dengan Usman, Ace Hasan Syadzili juga memandang penting untuk tetap memegang idealisme terhadap cita-cita reformasi.
Baginya, reformasi dan demokrasi hari ini sudah berjalan di jalurnya, meski tidak sempurna. Maka dari itu, suara kritis tetep diperlukan untuk menjaganya tetap di jalan yang benar. Siapapun pemerintahannya, kalangan kritis harus tetap hadir.
Semua pihak harus tetap menjaga nyala reformasi dengan caranya masing-masing, sesuai dengan kapasitasnya.
“Cara kita untuk merawat idealisme reformasi ini saya kira kita tidak bisa kembali ke belakang, kita harus menatap ke depan sambil tentu ada teman-teman yang selalu mengritisi. Karena itulah salah satu kemewahan dari demokrasi,” jelas Ace.

Melanjutkan, Sukidi juga menyerukan pentingnya menjaga api reformasi. Kita semua harus memastikan api tersebut terus menyala bahkan membara. Masing-masing dari kita memiliki tugas untuk mewujudkan cita-cita reformasi.
“Cita-cita reformasi terutama mengingatkan saya pada pesan Bung Hatta ketika pada tahun 1941 Bung Hatta menuliskan tentang karakter, dan itulah yang hilang pada cita-cita reformasi Republik ini,” ujar Sukidi.
Karakter yang dimaksud adalah karakter cinta pada kebenaran dan berani mengatakan salah. Ini yang sekarang sulit ditemukan, semua bersikap pragmatis, cari aman, cari untung.
Cinta pada kebenaran adalah mentalitas kaum reformis sekaligus pembeda dengan kaum fasis yang mematikan kebenaran demi kekuasaan otoriter.
“Panggilan Bung Hatta ini buat saya adalah panggilan kepada mereka yang terdidik, terutama kaum intelektual untuk terbangun dan sadar, berani mengatakan yang salah kepada mereka yang berkuasa,” kata Sukidi.
Kekuasaan saat ini menjungkirbalikkan cita-cita reformasi yang seharusnya menuju negara demokrasi kini diputar balik ke otoriter. Tegas Sukidi menyatakan itu salah dan harus diingatkan.
Kesalahan selanjutnya terletak pada semangat mempersenjatai birokrasi sebagai kepentingan politik partisan dan perilaku penegak hukum yang tidak bermoral.
“Itu membuat korupsi kita berlangsung sedemikian panjang dan membuat kita menjadi bangsa yang korup, karena keadilan tidak ditegakkan secara adil. Yang terjadi adalah penegakan hukum secara tebang pilih, secara selektif. Itu justru membunuh cita-cita reformasi itu sendiri,” ia mengakhiri penjelasannya.
Savic Ali sendiri heran, mengapa setiap tahun bangsa ini selalu membicarakan soal reformasi. Padahal reformasi sudah ada sejak 27 tahun lalu. Dengan fakta itu lantas dia mengartikan bahwa pemerintah belum benar-benar menjalankan amanat reformasi dari tahun ke tahun, sehingga suara-suara itu terus muncul.
“Kita masih ngomongin (reformasi) karena banyak PR enggak dikerjakan, enggak diselesaikan. Kalau PR reformasi diselesaikan, 27 tahun harusnya kita sudah ngomong yang lain. China sudah ngomong sudah seperti apa, beberapa negara revolusi digital. Tetapi setelah 27 tahun kita masih membahas (reformasi) kita 27 tahun yang lalu. Artinya memang tidak dikerjakan (amanat reformasi),” ungkap Savic.
Jika, masih banyak PR tak kunjung dikerjakan maka tugas kita semua adalah menjaga pekerjaan-pekerjaan yang selama ini sudah dilakukan. Hal-hal yang sudah terbentuk jangan sampai ditiadakan, kesepakatan-kesepakatan yang sudah tercapai jangan sampai dibatalkan..
Fondasi-fondasi yang sudah diletakkan oleh reformasi harus dijaga bersana. Fondasi itu misalnya kebebasan berbicara, pemisahan TNI dan sipil, pembatasan masa jabatan presiden, dan sebagainya.
Selaku perwakilan dari pihak pemerintah, Qodari yakin dan optimis bahwa pemerintahan Prabowo-Gibran masih menjadikan demokrasi yang merupakan warisan dari reformasi sebagai satu-satunya hal yang harus dijalankan dalam bernegara hari ini. Ia menyebut reformasi sebagai “the only game in town“.
“Sebagai the only game in town, saya melihat demokrasi sebagai pintu yang bisa melahirkan perubahan-perubahan dan perbaikan-perbaikan. Kalau tidak ada perbaikan, tidak ada kemajuan, maka publik tidak akan mendukung dan tidak akan terpilih kembali (Prabowo),” kata dia.
Ia tidak menutup mata bahwa masih ada kekurangan di sana-sini. Namun, ia juga berharap masyarakat tak menafikkan contoh-contoh perbaikan yang sudah dilakukan.
Misalnya, bagaimana fenomena politik uang di Pilkada Barito Utara, semua kandidat akhirnya didiskualifikasi dan dihadirkan calon baru. Contoh lain, soal mafia peradilan di kasus Ronald Tanur. Kini semua terbongkar dan sang makelar kasus ditangkap, barang bukti hasil kejahatan disita, vonis bebas dibatalkan, hakim yang memutus bebas kini dijatuhi hukuman, dan seterusnya.
Terakhir, Bivitri Susanti mengutarakan pentingnya memelihara cita-cita reformasi agar tetap ada dalam ingatan. Jangan pernah hapus atau ubah sejarah yang sudah ada tentang perjuangan dan buah reformasi.
“Jangan sampai generasi yang akan datang dan sekarang menjadi kehilangan memori tentang bagaimana kita seharusnya,” ungkap Bibip.
Leave a Reply