“27 tahun reformasi kita justru menyaksikan ironi. Demokrasi berubah menjadi arena transaksi. Nepotisme dipertontonkan tanpa rasa bersalah. Kekuasaan diwariskan. Seolah Republik ini milik keluarga. Reformasi yang dulu diperjuangkan dengan darah dan nyawa, kini dijalankan dengan dagang sapi dan politik dinasti. Hari ini perjuangan kita adalah menyelamatkan reformasi bukan dengan nostalgia tapi dengan seruan, mendesak pembatasan kekuasaan, menagih akuntabilitas lembaga negara yang dikendalikan elite, membangun gerakan sipil independen dan tak bisa dibeli. Masa depan lahir dari keberanian rakyat menjaga akal sehatnya,”
Setelah lebih dari seperempat abad berjalan, praktik reformasi di Indonesia terus mengalami dinamika. Banyak pihak menilai reformasi tak lagi berjalan sebagaimana tujuan awal ketika ia dicetuskan. Namun tak sedikit juga yang merasa kabar reformasi masih baik-baik saja, semua masih dalam koridor yang semestinya.
Program Satu Meja The Forum KompasTV (21/5/2025) mengangkat tema “27 Tahun Bergulir, Reformasi Dikorupsi?” dan mengundang 6 orang narasumber untuk mendiskusikannya.
Savic Ali sebagai salah satu aktivis 98 yang turun langsung memperjuangkan reformasi di Jakarta ketika itu merasa prihatin, karena melihat ada begitu banyak kemunduran yang dialami oleh reformasi dari waktu ke waktu.
“Saya menyaksikan bahwa secara umum spirit reformasi menurut saya sudah menguap, walaupun warisan reformasi masih cukup banyak bisa kita saksikan,” kata Savic.
Ia menjelaskan, semangat untuk membangun keadilan ekonomi yang dulu dipegang kini tak lagi terlihat dimiliki para elite politik kita. Meskipun, produk-produk hasil reformasi masih bertebaran dan mudah dijumpai di Indonesia.
Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Usman Hamid yang saat itu merupakan mahasiswa di Universitas Trisakti di mana sejumlah kawannya tertembak dalam kerusuhan 98 mengaku optimis keadilan akan mewujud di kemudian hari. Namun 26 tahun berselang, keadilan yang diharapkan tak kunjung mewujud.
Keadilan itu bukan hanya belum didapatkan oleh keluarga mahasiswa korban penembakan dalam perjuangan reformasi, namun juga masyarakat lain dalam kejadian-kejadian pelanggaran HAM berbeda yang terjadi di Indonesia.
“Sampai hari ini sepertinya terlupakan dan pemerintah seperti bukan hanya melupakan, bahkan tidak mengupayakan sama sekali adanya supremasi hukum dan hak asasi manusia seperti yang dulu kita cita-citakan,” sebut Usman.
Ia bahkan heran dengan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, yang di hari pertama pemerintahannya justru menyangkal telah terjadi pelanggaran HAM berat di tahun 1998. Di mata Usman, itu sangat menyakitkan bagi keluarga korban yang lama menanti datangnya keadilan.

Sementara itu, Wakil Kepala Staf Kepresidenan Muhammad Qodari melihat reformasi sudah berbuah, dan buahnya masih bisa dilihat sampai hari ini. Misalnya kekuasaan yang tak lagi terpusat, melainkan bercabang dan terdistribusi, otonomi daerah, masa jabatan presiden yang dibatasi, partai politik tak lagi tunggal, dan sebagainya.
“Semua perubahan itu terakomodasi atau tercermin paling nyata dalam Undang-Undang Dasar 45 yang diamandemen sebanyak empat kali (1999, 2000, 2001, dan 2002),” ungkap Qodari.
Empat tahun masa amandemen UUD 1945 itulah yang disebut Qodari sebagai waktu yang paling nyata di mana reformasi ditempa. Di sanalah harapan dan kenyataan atas reformasi benar-benar tercermin. Proses itu telah “rampung” di tahun 2002, dan kini jika ingin melakukan amandemen UUd 1945 ke-5, Qodari menyebutnya bukan sesuatu yang mudah. Siapa yang memulai, apa pemantiknya, dan bagaimana caranya.
Pakar Hukum Tata Negara, Bivitri Susanti tak sepenuhnya setuju dengan penjelasan Qodari. Baginya, reformasi seharusnya tak hanya dilihat dari sisi insitusional (4x amandemen UUD 1945), tapi juga substansional.
Secara substansi, reformasi memang nampak baik-baik saja. Indonesia nampak masih demokratis, meski perlahan mulai kembali mengarah ke otoritarianisme. Sementara jika dilihat secara substansi, Bibip, panggilan Bivitri, mencontohkan 6 tuntutan reformasi yang hampir semuanya tak lagi terpenuhi.
“Amandemen konstitusi itu kan cuma satu (tuntutan), ada lima lagi. Misalnya Adili Soeharto. Sekarang Soeharto malah mau dijadikan pahlawan, padahal dia belum pernah diadili. Kemudian otonomi daerah, betul pasal 18B-nya di konstitusi ada, tapi gara-gara Undang-Undang Cipta Kerja, sudah balik lagi resentralisasi. Pemberantasan KKN, KPK-nya dibunuh kok lewat undang-undang tahun 2019. Atau penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lalu (sekarang justru disangkal). Belum lagi fakta ada narasi dari sebagian jenderal dan sebagian lagi juga kita bisa baca di beberapa dokumen Partai Gerindra tentang balik lagi ke UUD 45 yang tahun 45,” Bibip menjabarkan.
Ia ingin menyampaikan, jangan hanya mengukur dari segi institusionalnya saja, lihat juga substansinya. Apakah masih berjalan, atau justru berantakan. Karena dari pengamatannya, demokrasi hari ini sudah mau dibalikkan kembali ke model pemerintahan yang otoriter.
Pemikir Kebinekaan Sukidi mencoba memberi refleksi yang lebih filosofis tentang reformasi. Dari sudut pandang pribadinya, api reformasi hari ini telah padam. Api reformasi itu adalah ide besar tentang negara yang bertransisi dari otoriter menjadi demokrasi. Tapi, yang terjadi sekarang adalah sebaliknya.
Indonesia sebagai negara demokrasi, sudah tidak benar-benar demokratis. Indonesia secara perlahan mulai bergerak kembali ke model otoritatianisme.
Ilmuwan politik dari Amerika Prof Steven Levitsky memperkenalkan konsep the weaponized state, negara sebagai senjata politik bagi keberlangsungan pemerintahan otoriter. Ia mencontohkan bukti konkret terjadinya the weaponized state di Indonesia.
“Kita melihat bagaimana hukum dipakai sebagai senjata politik, bukan hanya untuk membangun koalisi besar yang disebut dengan big government, tetapi juga untuk melakukan politik ketakutan dan politik intimidasi kepada para pesaing politik,” papar Sukidi.
Lebih parah, bagaimana legislatif dikuasai oleh kekuatan otoriter sehingga tidak bisa berfungsi optimal. Legislatif tak lagi bisa bersuara kritis dan menjadi saluran aspirasi rakyat, melainkam tunduk pada kekuasaan.
“Koalisi super mayoritas yang terjadi di parlemen itu menandakan bahwa kekuasaan otoriter telah membungkam wakil rakyat agar mereka tunduk pada kehendak kekuasaan yang otoriter itu sendiri,” jelas Sukidi.

Berbeda dengan Sukidi, Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas) Ace Hasan Syadzili justru melihat reformasi benar-benar memberikan kebebasan bagi warga negara. Kebebasan bersuara, kebebasan berserikat, dan sebagainya. Kebebasan adalah keistimewaan yang dulu diperjuangkan, yang dulu tak bisa dilakukan.
Ia pun meyakini, sipil seperti dirinya bisa memimpin lembaga yang lebih lekat dengan militer seperti Lemhannas, adalah salah satu bentuk nyata kemewahan reformasi.
Kedua, reformasi menghadirkan demokrasi. Ada koridor atau batasan yang sudah disepakati bersama dalam menjalankan negara. Dalam mencapai kesepakatan, dimungkinkam terjadi perdebatan, dialog, saling sanggah, dan sebagainya hingga muncul kata sepakat. Itulah bentuk kenikmatan lain dari reformasi yang masih bisa kita rasakan.
Demokrasi menjadi jembatan emas untuk mencapai cita-cita bangsa, demikian Bung Karno mengistilahkan.
“Namun tentu saya kira tidak ada sesuatu yang sempurna. Justru dengan demokrasi itu kita akan selalu berproses dan berdialektika. Dalam proses berdialiktika itulah kita bisa menemukan mana yang terbaik untuk bisa membuat sebuah sistem, untuk menciptakan tujuan kita,” ungkap Ace.
Savic Ali mengatakan seharusnya saat ini ada banyak agenda reformasi yang satu per satu diwujudkan. Misalnya KKN yang makin jamak kasusnya dan makin fantastis nominalnya.
“Kalau Orde Baru pelakunya mungkin hanya kroni Cendana saja. Jadi kalau pejabat rendahan atau misal jaksa yang korupsi nyampai Rp920 miliar gitu kayaknya enggak akan berani juga itu zaman Orde Baru. hanya mereka yang menjadi kroni cendara yang berani. Sekarang kayaknya semua orang berani korupsi,” kata Savic.
“Artinya ekosistem politik tidak sehat, ekosistem hukum yang baik tidak tercipta. Padahal semangatnya dulu kan selain mengakhiri sentralisme, otoritarianisme Orde Baru, adalah juga menciptakan sebuah ekosistem politik yang bersih, good government,good governance, dan seterusnya,” imbuhnya yang meyakini spirit reformasi telah memudar.
Usman menambahkan bagaimana reformasi itu telah memudar. Mulai dari dipukulmundurnya otonomi daerah atau desentralisasi kekuasaan dengan UU Omnibuslaw, UU Otonomi Khusus untuk Provinsi Papua, dan sebagainya.
Bagaimana banyak masyarakat daerah yang kaya akan sumber daya alam kemudian protes, karena pengelolaan kekayaan daerah mereka kini justru dikendalikan oleh pusat.
“Lebih banyak kita dengar Pak Luhut daripada gubernur bicara tentang pengelolan sumber daya alam. Lebih banyak kita dengar Pak Bahlil bicara soal pengelolaan sumber daya alam daripada bupati. Artinya ada resentralisasi pemerintahan,” jelas Usman.
Selain itu, berbagai lembaga internasional juga sudah menyatakan bahwa demokrasi di Indonesia mengalami pemerosotan. Mulai dari Freedom House yang nenyebut Indonesia alami penurunan tajam kebebasan sipil dan hak politik, Economist Intelligence Unit yang nyatakan Indonesia sebagsi negara demokrasi cacat, hingga The Friden Frities of Democracy Institute (V-Dem Institute) yang menggolongkan Indonesia sebagai negara elektoral autokrasi, bukan lagi elektoral demokrasi.
Dalam kalimat sederhana, Usman menggambarkan Indonesia sebagai negara otoriter namun masih menggelar pemilu. Ini sebagaimana terjadi di era Orde Baru. Ada pemilu, tapi sama sekali tidak demokratis, tidak ada kebebasan politik, juga absen keadilan sosial.
Sehingga ia sepakat dengan Bubip, mengukur keberhasilan reformasi tak cukup menggunakan kriteria substansional sebagaimana dijelaskan Qodari. Reformasi tak hanya bicara soal perkembangan konstitusi, tapi juga militer, keadilan, kriminal, dan lain sebagainya.
“Ada banyak reformasi-reformasi yang memang perlu diagendakan untuk memastikan bahwa demokrasi bukan hanya bekerja secara prosedural melalui pemilu, tetapi juga menghasilkan capaian-capaian yang sifatnya substansial, keadilan,” Usman mengakhiri penjelasannya.

Menglarifikasi penjelasannya di awal, Qodari mengatakan ia tidak mengunci reformasi hanya pada soal substansi, atau 4x sejarah amandemen UUD 1945 yang berakhir di 2002.
Ia menganggap reformasi sebagai interregnum atau masa transisi dimana perubahan dimungkinkan untuk terjadi.
“Dan ketika interregnum itu sudah selesai dalam waktu sekitar 4 tahun itu (1999-2002), maka kita mendapatkan apa yang kita dapatkan pada hari ini. Jadi saya bukan mengatakan reformasi berhenti pada item-item yang terjadi saat amandemen,” tegas Qodari.
Hanya saja, Qodari tidak sepakat jika kondisi demokrasi hari ini disamakan dengan era Orde Baru. Pasalnya, sekarang tiap pemilu menghasilkan pemimpin baru, tiap pemilu kita dibebaskan memilih, disediakan pilihan, dan ditawarkan harapan.
Berbicara soal reformasi, Qodari mengatakan tidak hanya berbicara proses, tapi juga aktor. Kali ini aktor yang memegang peranan besar menjaga dan mengawal reformasi adalah Presiden Prabowo.
Prabowo, jika bicara reformasi sebagai sebuah demokrasi politik, maka Presisen sekarang fokus pada demokrasi ekonomi. Qodari menilai Prabowo sebagai orang yang berusaha mencari keseimbangan antara kemajuan ekonomi dengan keadilan ekonomi.
Peningkatan perekonomian harus diimbangi dengan pemerataan. Tidak boleh meningkat pesat namun dengan catatan menjngkatkan kesenjangan.
Jadi tidak kita mengatakan bahwa reformasi itu berhenti. Saya cuma mengatakan reformasi itu selama ini diukur, dilihat sebagai sebuah cita-cita. Jadi kita berharap kepada ruang yang ada ini yang bisa melahirkan partai yang baru sebagai pemimpin, tokoh baru sebagai pemimpin untuk bisa melakukan perubahan-perubahan,” pungkas Qodari.
Leave a Reply