Tak Baik-Baik Saja, Kampus Kini di Bawah Politik Kendali Kekuasaan

“Ada pola-pola yang terbilang mendisiplinkan dunia kampus dengan satu pembirokratisasian yang sangat ketat…,”

โ€”Dosen Fakultas Hukum UGM, Herlambang Perdana Wiratraman

Dunia pendidikan di Indonesia hari ini masih jauh dari kata ideal, khususnya di tingkat pendidikan tinggi. Selain sulit diakses dari segi biaya, bangku kuliah juga harus didapat dengan persaingan yang ketat karena keterbatasan kuota yang tersedia.

Tak hanya kurang aksesibel, kampus yang menjadi tempat berlangsungnya proses pendidikan tinggi itu juga belum berfungsi optimal sebagai lembaga yang semestinya berdiri tegak atas nama kebenaran ilmiah.

Akademisi yang merupakan dosen di Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM), Herlambang Perdana Wiratraman mengungkapkan sejumlah fakta dan persoalan yang ia ketahui seputar dunia kampus saat ini.

Semua itu ia sampaikan saat berdialog dengan Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM.

Kampus di bawah kendali kekuasaan

Pertama, ia menjelaskan bahwa kampus hari ini dalam kondisi yang tidak sepenuhnya merdeka. Kampus dikendalikan oleh kekuasaan politik, sehingga para ilmuwan tidak bisa leluasa menyampaikan kritik ataupun bersikap menentang pemerintahan yang berjalan.

Di luar, kampus terlihat tenang, baik-baik saja. Tapi di dalamnya tidak demikian. Hal ini menurut Herlambang sudah berlangsung sejak era pemerintahan Joko Widodo. Ia menyebutnya sebagai politik kendali.

“Ada pola-pola yang terbilang mendisiplinkan dunia kampus dengan satu pembirokratisasian yang sangat ketat. Ini yang menjadi tidak kompetitif dengan kampus-kampus di negara lain,” kata Herlambang.

Herlambang Perdana Wiratraman dalam Back to BDM.

Dengan politik kendali yang sedang berjalan, kampus juga dituntut untuk bisa melayani kepentingan rezim, bukan ilmu pengetahuan, apa lagi rakyat. Padahal kampus memiliki hak otonomi institusi akademik yang bahkan diakui oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa, para civitas akademika di dalamnya pun memiliki kebebasan akademik yang seharusnya dijamin implementasinya oleh negara..

Contoh keberadaan politik kendali itu misalnya bagaimana banyak rektor dari perguruan tinggi di berbagai daerah membuat video berisi apresiasi terhadap kinerja pemerintahan Jokowi. Usut punya usut, Herlambang menyebutnya hal itu didasari adanya desakan rezim.

“Itu adalah fakta bahwa menjelaskan bagaimana negara memperlakukan kampus. Itulah fakta yang menjelaskan perkembangan dunia kampus hari-hari ini yang sebenarnya juga tidak banyak bergeser dari tahun-tahun sebelumnya,” jelas pria yang menyelesaikan pendidikan sarjananya di Universitas Airlangga itu.

Selain video apresiasi para rektor terhadap rezim, contoh lain dari politik kendi di kampus adalah maraknya kriminalisasi, pembungkaman. banyaknya tekanan yang diterima dosen dan mahasiswa, hingga larangan penelitian.

“Yang penelitian saja juga mendapati tekanan-tekanan, apalagi mahasiswa. Mahasiswa ketika menyampaikan kritik atau protesnya itu juga bagian penting dari kebebasan akademik,” sebut dia.

Herlambang mengungkapkan bagaimana saat ada unjuk rasa bertema Reformasi Dikorupsi di era Jokowi, Menteri Pendidikan ketika itu mengeluarkan instruksi kepada para rektor untuk mengatasi para mahasiswa yang berdemo. Itu satu tanda nyata bagaimana pemerintah tidak mendukung tumbuhnya proses demokrasi di negara ini.

Herlambang Perdana Wiratraman dalam Back to BDM.

Baru-baru ini, mahasiswi Institut Teknologi Bandung (ITB) dipolisikan karena membuat meme Jokowi dengan Prabowo sebagai ekspresi kritisnya, meski akhirnya penahanannya ditangguhkan.

“Begitu mudahnya rezim membungkamnya dengan menangkap. Enggak ada tuh proses pemanggilan, pemeriksaan yang harusnya dilakukan secara proses ya oleh aparat penegak hukum,” kata Herlambang.

Belum selesai, contoh kendali yang lain juga bisa dilihat dari pembubaran Eijkman, di mana banyak peneliti berkualitas tinggi harus di-PHK. Sebagian peneliti terselamatkan dengan masuk ke BRIN. Namun tidak dengan sains yang mereka rintis dan kembangkan di Eijkman.

Selain itu, ada pusat penelitian tentang laut dalam yang ada di Indonesia Timur, yang sudah dikembangkan sejak lama, memiliki ekosistem penelitian yang sangat baik, tiba-tiba didisiplinkan ke Ancol, Jakarta.

“Birokrasi perizinan untuk research juga semakin kompleks. Ini juga membatasi rencana-rencana kerja sama research internasional. Ini juga menjadi masalah karena kampus kita, institusi research kita ini kan perlu kerja sama di level internasional. Kalau perizinannya itu sendiri terlalu kompleks, bahkan bisa membatasi, tidak jarang juga pengusiran peneliti terjadi. bahkan sudah ada kayak zaman Orde Baru blacklist terhadap peneliti,” sebut Herlambang yang merupakan pendiri organisasi yang memperjuangkan kebebasan akademik, Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA).

Ia menilai restriksi yang diterapkan rezim penguasa kepada dunia akademik sudah terlalu jauh. Hal ini tidak hanya terjadi pada perguruan tinggi negeri saja, tapi swasta juga mengalami hal yang kurang lebih sama menurut Herlambang. Lantas, jika institusi akademik tak lagi memiliki kebebasan, maka bagaimana mereka bisa memproduksi ilmu pengetahuan sebagaimana tugas yang seharusnya mereka lakukan?

Kampus harus mulai berani membentengi diri dari upaya politik kendali ini jika ingin menjaga tradisi berpikir kritis di dalam lingkungannya. Sebaliknya, jika tekanan itu terus dibiarkan terjadi maka kampus akan mati.

Kampus mati bisa terjadi dalam dua level berbeda. Pertama mati di level managerial, artinya kampus memproses pesanan kekuasaan dan menerapkannya dalam kebijakan yang dibuat. Tidak ada sikap kritis di sana.

Kedua,  mati di level akademisi. Akademisi tak lagi berani bersikap kritis, mengutarakan kritik, dan berteriak lantang pada rezim.

“Teman-teman jurnalis itu menyebutnya sebagai punahnya narasumber. Punahnya narasumber itu dikemukakan oleh komunitas jurnalis sains Indonesia ketika mereka kesulitan mencari narasumber tentang misalnya daya rusak tambang, daya rusak ekspansi perkebunan kelapa sawit yang eksesif, atau mereka yang kritis terhadap kebijakan pemerintah. Itu sulit sekali cari narasumber yang lugas dan berani mengkritisinya,” kisah Herlambang.

Akibatnya, kini banyak akademisi dan ilmuwan yang bersikap apatis jika sesuatu terjadi pada negara ini. Bukan tidak mau bersuara, tapi lebih kepada keilmuan mereka tidak diberi ruang untuk didengar. Berbicara percuma. Bukan untung, malah bisa jadi buntung akibat dianggap melawan kekuasaan.

Untungnya, di saat represi semakin menguat, makin banyak akademisi kampus yang mewakafkan dirinya, demikian bahasa Herlambang, untuk tetap berani menyampaikan analisis-analisis kritisnya demi kebaikan negara dan bangsa.

Perang narasi dan algoritma

Kontrol menguat dari penguasa itu salah satunya juga melalui kontrol narasi di publik dengan menggunakan pendengung, pemengaruh, dan teknologi yang bisa memanipulasi ruang publik.

Algoritma juga dimanfaatkan sedemikian rupa, sistemik, sehingga ruang-ruang informasi publik dipenuhi oleh narasi yang sesuai dengan kehendak penguasa, sekalipun banyak ditentang oleh kalangan saintis.

“Kekhawatiran yang paling mendasarkan dalam situasi ini adalah kebijakan negara itu menjadi anti sains. Dan politik anti sains ini enggak boleh terus-menerus. Kenapa? Karena kita semua berkepentingan masa depan negeri ini harus lebih bisa dijawab secara lebih baik ya, karena membawa peradaban yang lebih manusiawi, ramah terhadap persoalan ekologi, dan keadilan sosial itu kan menjadi kewajiban kita semua untuk merealisasikan. Maka sains based policy itu harusnya menjadi hal yang melekat dalam setiap kebijakan,” papar lulusan program Doctorate Faculty of Law Leiden University ini.

Salah satu contoh kebijakan politik yang tidak berdasarkan sains adalah yang baru-baru ini dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi. Gubernur mengirim anak-anak nakal ke barak tentara untuk menjalani pendidikan karakter.

Padahal, jika pemerintah menghargai keberadaan sains, maka bukan militer yang dipilih untuk menyelesaikan hal ini, namun psikolog dengan semua keilmuan yang dimiliki.
Jadi, sains tidak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan politik. Lebih mengkhawatirkan lagi ketika keputusan ini banyak didukung dan dianggap normal, lumrah.

“Penormalan atas hal-hal yang sebenarnya anti sains atau menyimpang atau justru merusak sisi kemanusiaan kita, karena hal yang sifatnya violence misalnya tiba-tiba menjadi jamak dan dinormalkan. Itu yang kita khawatir,” kata Herlambang.

Dan manipulasi narasi bukan hanya terjadi du Indonesia, namun di negara-negara lain di era serba digital seperti sekarang ini.

Herlambang menekankan, kita semua sekarang hidup di era segala sesuatu itu bisa diubah (switch) dalam waktu yang singkat. A tiba-tiba dianggap B, B menjadi C, dan seterusnya.  Salah-benar, etis-tidak etis, semua penilaian dikonstruksi secara cepat menggunakan teknologi dan memanfaatkan sistem algoritma.

Herlambang Perdana Wiratraman nertandang ke kediaman Budiman Tanuredjo untuk berbincang di siniar Back to BDM.

Jika dulu algoritma dan teknologi digunakan untuk membentuk citra seseorang yang ingin mendapatkan kekuasaan dalam konteks kepentingan elektoral. Tapi hari ini cara yang sama masih terus dilakukan demi bisa merawat (maintaining) kekuasaan yang sudah didapat.

“Jadi dia ingin bertahan berkuasanya dengan memanfaatkan itu, sehingga tidak jarang kebijakan-kebijakan yang dikritisi publik itu bisa disapu bersih oleh algoritma itu,” ujar Herlambang.

Dalam tararan ini, publik yang bersuara menggunakan nalarnya bisa tak didengar, karena disingkirkan narasinya menggunakan kemajuan teknologi.

Meski kondisi sudah demikian pelik, nampak suram, namun Herlambang percaya pintu perbaikan akan selalu terbuka, meski tak selalu lebar.
Perubahan pasti terjadi meski tak akan instan. Semua perlu proses, konsistensi, dan bisa diawali dengan hal-hal yang sederhana namun dilakukan dengan hati.

“Semua diawali dari yang sederhana, intens, by heart ya dengan hati. Kemudian dia menjumpai realitasnya dan mengasah menjadi mematangkan proses-proses pembelajaran itu,” ujarnya.

Dan dunia kampus memiliki peran besar dalam tugas ini, oleh karenanya jantan coba-coba menghalangi kebebasan kampus dalam menyuarakan kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *