Herlambang Perdana Ungkap Sisi Gelap Kampus, Jual Beli Paper dan Gelar Guru Besar Benar Adanya

“Sudah jadi dan tinggal ganti nama, dan itu difasilitasi dengan jurnalnya dan tinggal submit dan Dikti menerima, dia asses. Oh ya oke, Anda layak jadi guru besar,”

โ€”Pendiri Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Herlambang Perdana Wiratraman

Dunia kampus di Indonesia nengalami berbagai persoalan baik dari eksternal maupun internal. Dari segi eksternal, kampus banyak menerima tekanan dan intervensi dari kekuasaan untuk tidak bersuara terlalu lantang, bahkan cenderung dibungkam kebebasan akademiknya.

Dari sektor internal, permasalahan kampus tak kalah runyamnya. Isu soal adanya praktik-praktik transaksional untuk mendapatkan gelar profesor atau guru besar ternyata benar adanya. Kejujuran dan integritas ternyata tak lagi menjadi mahkota yang dihargai oleh semua civitas akademika di negara kita. Tak semua menempuh jalur curang, tapi jalur haram itu sudah menjadi pilihan banyak oknum di dunia pendidikan, karena memang ada pihak yang menyediakan.

Hal itu sebagaimana diungkap oleh dosen dari Fakultas Hukum Universitas Gadja Mada Herlambang Perdana Wiratraman.

Herlambang yang juga merupakan pendiri Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menyebut pernah melakukan investigasi dan menemukan banyaknya mafia yang terlibat dalam proses penetapan guru besar abal-abal.

“Mafia di level fakultas, universitas, Dikti juga terlibat. Bahkan ada mafia perjurnalan, ada mafia yang mengorganisasi, mengorkestrasi. Dan ini semuanya masih belum tuntas, karena menyisir dunia pergurubesaran itu juga satu PR besar bagi kementerian sekarang. Kalau ini dibiarkan maka level destruksinya akan membesar di belakang hari,” kata Herlambang dalam podcast Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Persoalan ini harus dipikirkan jalan keluarnya dan diselesaikan sesegera mungkin. Bagaimanapun, integritas menjadi salah satu material utama dalam pondasi kebebasan akademik.

Bagaimana publik akan percaya pada kampus, jika kampus sendiri membangun dirinya dengan cara yang licik. Bagaimana mungkin karakter baik akan dilahirkan dari kampus, jika mereka sendiri memilih jalan keburukan dalam membentuk dirinya.

Herlambang Perdana Wiratraman dalam Back to BDM.

Herlambang mengungkap selama ini banyak dosen yang mengeksploitasi karya-karya mahasiswa dan mengklaimnya sebagai karya pribadi hanya demi menambah kuantitas karya-karya ilmiahnya di mata internasional.

Terlepas dari mahasiswa yang tidak mempermasalahkan karyanya diakui sang dosen, namun praktik semacam ini tak sepantasnya dianggap normal.

“Akan merusak institusi akademik. Dia enggak memproduksi pengetahuan, dia hanya memproduksi tukang. Dia hanya akan memproduksi manusia-manusia yang tidak punya sisi manusia. Karena dia hanya lahir untuk mendapati posisi atau status saja. ini yang saya kira rugi besar negeri ini kalau institusi akademik justru dipakai alat untuk mengangkat proses-proses status sosial saja, tapi tidak memiliki keberpihakan terhadap problem ketidakadilan sosialnya.” ungkap Herlambang.

Kembali pada mafia guru besar dan mafia karya ilmiah, KIKA menemukan adanya jaringan mafia perdagangan jurnal yang mereka sebut sebagai Transnational Organized Publication Crime yang melibatkan jaringan yang begitu luas di Indonesia.

Sayangnya, sejauh ini belum ada respons nyata dari pemerintah untuk menyelesaikan persoalan ini. Dan kasus-kasus yang sudah terkuak hanya mengambang begitu saja, tak ada upaya tegas untuk menindaknya. Padahal proses menjadi guru besar secara buruk akan melahirkan guru besar-guru besar yang buruk juga.

Pria yang menamatkan pendidikan magisternya di Mahidol University Thailand ini nyebut orientasi dari mafia ini adalah bisnis semata. Ada pihak yang menjual, ada juga pihak yang membeli. Ada yang menawarkan jasa, ada pula yang membutuhkan jasa tersebut. Namun bagi konsumennya, orientasinya tentu mendapat posisi guru besar secara instan. Status guru besar sendiri di dalam masyarakat kita seolah memiliki legitimasi yang tinggi, dianggap sebagai orang berilmu dan memiliki kapasitas paten.

Herlambang Perdana Wiratraman nertandang ke kediaman Budiman Tanuredjo untuk berbincang di siniar Back to BDM.

Bisnis jual beli karya ilmiah ini banyak diistilahkan dengan sebutan “Paper Mill”. Jadi oknum yang mengincar posisi guru besar itu tidak melalukan penulisan jurnal, tidak melakukan penelitian, dia hanya belanja jurnal anonim di Paper Mill itu dan memasukkannya ke sistem administrasi di kampusnya, tentu dengan menggunakan namanya sendiri, untuk mendapat kenaikan posisi.

“Sudah jadi dan tinggal ganti nama, dan itu difasilitasi dengan jurnalnya dan tinggal submit dan Dikti menerima, dia asses. Oh ya oke, Anda layak jadi guru besar,” kata Herlambang.

Paper Mill ini adalah sesuatu yang sudah jamak dilakukan secara terbuka, semua pihak bisa membelinya. Keberadaannya tidak sembunyi-sembunyi sebagaimana praktik joki.

Harga yang ditawarkan tentu bervariasi, sejauh yang Herlambang ketahui dari teman-teman media, sistem yang diberlakukan adalah sistem paket.

Jadi, pembeli membeli paket artikel, sekaligus pengurusannya hingga artikel ilmiah itu diterima dan membuatnya mendapat jabatan atau pangkat yang dimau.

“Tergantung, ada yang satu artikel Rp80 juta per artikel, dia untuk memudahkan kenaikan pangkat, kalau dia punya uang langsung beli tiga artikel. Paket lengkap. Di mata mereka kan ini sudah paket hemat untuk menuju kekuasaan tertentu. Jadi menghalalkan segala cara itu sudah masuk di dunia akademik. Ini yang kita patut khawatirkan,” ujar dosen di bidang Hukum Tata Negara ini.

ia pun berjarak menjadi jurnalis jauh lebih istimewa hari-hari ini ketimbang menjadi akademisi. Kerja jurnalis jauh lebih ketat dan jujur, tidak seperti dunia kampus yang penuh dengan manipulasi.

Jika praktik mafia jurnal seperti ini terus dibiarkan beroperasi, kita hanya akan mendapatkan generasi yang manipulatif, jauh dari kata berintegritas.

“Dan (praktik) ini bukan hanya kampus yang tidak dikenal. Kampus-kampus yang dikenal juga ada tuh track record data menunjukkan sekian ratus tulisan dihasilkan dimasukkan ke jurnal-jurnal yang sebenarnya predatoris, statusnya discontinued. Dan di Indonesia ribuan jumlahnya,” ujar dia.

Herlambang menjelaskan, Kementerian Pendidikan sesungguhnya sudah nengetahui adanya praktik ini, namun mereka juga menyadari permasalahan yang terjadi begitu kompleks dan melibatkan banyak pihak. Sehingga tidak diketahui sejauh mana upaya penyelesaian yang sudah kementerian lakukan.

Herlambang Perdana Wiratraman dalam Back to BDM.

Mafia jurnal ilmiah seperti ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tapi juga di banyak negara lain, khususnya negara-negara dunia ketiga. Hanya saja, penanganan di masing-masing negara tentu berbeda, ada yang sangat tegas seperti Thailand dan Malaysia. Namun ada juga yang tak jelas juntrungnya seperti di negara kira.

Akibat maraknya praktik jual beli jurnal di Indonesia, ada pihak internasional yang akhirnya mulai meragukan kualitas jurnal yang diproduksi oleh ilmuwan kita

“Ini kan sedih, kita orang yang ingin menulis secara baik, terbit di negeri sendiri itu. Tapi kemudian muncul dalam sebuah news di salah satu media edukasi, sebaiknya tidak mempercayai artikel submission dari Indonesia. Sudah sampai ke situ,” sebut Herlambang prihatin.

Beberapa waktu belakangan, ada sejumlah kabar soal politisi yang melanjutkan pendidikan tingginya, memperoleh gelar akademik yang lebih tinggi, bahkan beberapa memeroleh sebutan guru besar kehormatan atas sumbangsih pemikiran dan kerjanya di bidang-bidang tertentu.

Namun, hal itu tak lantas membuat Herlambang merasa bangga, lantaran tak sedikit dari mereka yang ternyata menempuh cara di luar semestinya dalam menyelesaikan pendidikannya.

“Kalau politisi, kita bangga kalau mereka peduli ya terhadap problem masyarakat. Artinya mereka bisa tampil dengan keberanian, dengan kewenangan yang dimiliki untuk membentengi hak-hak masyarakat karena itu mandatnya konstitusi. Tapi kalau hanya sekedar simbol, status ya, apalagi tren dunia kampus yang semakin menggampangkan guru besar kehormatan ini juga saya kira tidak perlu dan tidak ada hal yang membanggakan sama sekali,” ungkapnya.

KIKA sendiri mengambil sikap untuk menolak pemberian gelar guru besar atau profesor kehormatan, bukan doktor kehormatan atau doktor honoris causa. Alasannya, pemberian gelar itu di Indonesia tidak seperti di negara-negara luar.

Di Indonesia, pemberian gelar kehormatan relatif mudah dilakukan sehingga terkesan merendahkan marwah institusi akademik kita. Dari kacamata Herlambang, profesor kehormatan hanya pantas diberikan pada orang yang benar-benar memiliki kapasitas, kemampuan, dan dedikasi atas keilmuannya.

“Bukan seperti yang kita saksikan belakangan ini, transaksional sekali. Ada jaksa tiba-tiba jadi profesor. Ada polisi jadi profesor. Ada mantan koruptor jadi profesor. Ini kan kampus-kampus sudah keblinger,” serunya.

Meskipun secara aturan dibolehkan, namun ia tetap tidak membenarkan praktik pemberian gelar kehormatan secara serampangan, hanya atas dasar motif transaksional, bukan karena ada latar belakang sumbangaih akademis.

“UGM pernah hendak memberikan gelar profesor kehormatan. Tapi beruntunglah waktu itu ratusan akademisi di UGM menyuarakan bersama menolak pemberian gelar profesor kehormatan. Saya kira ini pembelajaran baik, mudah-mudahan untuk UGM maupun kampus lain bahwa itu tidak tepat, walaupun secara aturan dibolehkan,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *