“Penugasan TNI untuk menjaga kejaksaan menimbulkan pertanyaan. Komunikasi yang minim dan kebijakan yang tak transparan memicu spekulasi. Apakah hukum kini butuh senjata? Apakah kejaksaan begitu rentan? Apakah situasi sedang darurat? Dalam demokrasi, penegakan hukum harus tunduk pada prinsip sipil. Selain rawan tumpang tindih kewenangan, langkah ini juga kabur secara hukum. Semua keputusan publik disampaikan dengan terang bukan dalam bisik-bisik kekuasaan. Demokrasi sehat lahir dari keterbukaan bukan dari perintah,”
Sebanyak kurang lebih 6.000 prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) akan diterjunkan untuk menjaga dan mengamankan kerja Kejaksaan Agung Republik Indonesia hingga di daerah-daerah. Hal ini dilandasi pada Kebijakan Panglima TNI Jenderal Agus Subianto yang diterbitkan 5 Mei lalu.
Sayangnya, penugasan para tentara ini menuai banyak kritikan. Ada yang mengatakan tidak sesuai tupoksi tentara sebagai penjaga kedaulatan negara, ada yang menyebut merendahkan tugas tentara, menyalahi aturan konstitusi, militer terlalu banyak masuk ke ranah sipil, tidak tepat karena negara tidak dalam keadaan darurat, dan sebagainya.

Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (14/5/2025) yang mengangkat tema “TNI Jaga Kejati dan Kejari, Sinergi Atau Intervensi?”, sejumlah narasumber menyampaikan pandangannya dan saling bertukar pikiran.
Penasihat khusus Presiden Urusan Pertahanan Jenderal Purnawirawan TNI Dudung Abdurrahman mengatakan diturunkannya TNI untuk menjaga kejaksaan merupakan kerja sama antara Kejaksaan Agung Republik Indonesia (Kejari) dengan TNI yang ditandai dengan nota kesepahaman (MoU) sejak 6 April 2023.
Kerja sama ini terkait dengan hal pendidikan, pelatihan, pertukaran informasi, termasuk Penugasan TNI di lingkungan Kejari.
Prajurit TNI yang ditugaskan untuk diperbantukan ke lembaga atau kementerian lain selama ini menurut Dudung sudah banyak dilakukan. Salah satunya bagaimana TNI diturunkan untuk bersama-sama POLRI menumpas Kelompok Kriminal Bersenjata (KKB) di Papua.
“Justru yang harus kita cermati adalah tugasnya ini nanti sebagai apa. Jangan sampai nanti dia tugas di Kejaksaan dengan mental prajurit itu adalah mental perang, kemudian ditugaskan di Kejaksaan. Jangan sampai SOP-nya menyalahi dan nantinya akan feedback (buruk) kepada TNI,” kata Dudung.
Hal lain, jika nantinya para anggota TNI ditugaskan di kantor-kantor kejaksaan hanya untuk berjaga semacam piket, ini secara tidak langsung merendahkan kedudukan tentara. Jika hanya itu kepentingannya, menugaskan tentara dirasa terlalu berlebihan.
“Terlalu tinggilah kalau menurut saya TNI dilibatkan dalam tugas-tugas seperti itu. Tapi (apabila) ada tugas-tugas khusus dan itu pun harus jelas tugasnya (maka bisa dipahami). Jangan sampai nanti akhirnya merugikan TNI,” ujar dia.

Di luar sana, ada begitu banyak kekhawatiran atas ditugaskannya TNI di ranah lembaga hukum ini, salah satunya yang dikemukakan oleh Koalisi Masyarakat Sipil. TNI dikhawatirkan akan mengambil peran Polri, mengintervensi jalannya penanganan hukum, dan sebagainya. Terkait hal itu, Ketua Komisi Kejaksaan Pujiono Suwadi memastikan kekhawatiran itu tidak akan terjadi.
Pasalnya, berdasarkan penjelasan Jaksa Agung ST. Burhanudin, TNI hanya dijadikan sebagai supporting system saja atau pengamanan, tanpa menyentuh ranah inti yakni penegakan hukum yang ada di Kejaksaan.
“Pengamanan, karena titik urgensinya kan sebenarnya MoU sudah 2023, PKS (Perjanjian Kerja Sama) 2024, dan itu adalah wujud dari implementasi, tindak lanjut dari adanya Jampidmil, perkara-perkara koneksitas yang semakin naik,” jelas Puji.
Perkara koneksitas maksudnya adalah tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum (sipil) dan peradilan militer.
Selain tingginya koneksitas itu, berdasarkan pantauan intelijen internal, Kejaksaan juga memerlukan TNI untuk mengamankan berbagai kasus yang tengah mereka tangani.

Pengamat militer Connie Rahakundini Bakrie mengaku sempat khawatir mengetahui Kepala Pusat Penerangan (Kapuspen) TNI Komjen Kristomei Sianturi tak turut hadir untuk memberi penjelasan kepada publik. Jika tak ada penjelasan dari atas, maka rakyat di bawah akan semakin bingung dan memunculkan polemik lain. Termasuk dirinya yang jadi menjadikan hal ini sebagai satu dot atau titik yang kemudian ia hubung-hubungkan dengan titik titik kejadian lainnya di Indonesia.
“Misalnya saja apakah ini ada hubungannya, kan sekarang sedang dirumuskan atau sedang dibicarakan di DPR tentang Undang-Undang Partai yang baru, aturan partai, pemilu, dan lain-lain. Apakah nanti fungsi tentara di Kejaksaan yang ada di seluruh Indonesia 534 sekian ya kalau enggak salah, itu nantinya pada 2029 (terkait) pemenangan pemilu, gitu? Atau pengawasan yang berlebihan terhadap pemilu. Karena buat apa pakai tentara?,” jelas Connie.
Menurutnya harus ada pernyataan dan penjelasan resmi dari Kapuspen TNI, apa maksudnya dari kerja sama ini, mengapa kerja sama harus dibuat, apakah akan berlaku seterusnya, dan sebagainya.
Namun, penjelasan yang disampaikan oleh Dudung membuat Connie sedikit lega, setidaknya ada kekhawatiran yang terucap jika hanya dijadikan sebagai petugas jaga maka menurunkan tentara adalah hal yang tidak pas.
Lagi pula, terlalu banyak melibatkan militer dalam urusan sipil akan menyeret militer untuk masuk ke arena politik. Dan militer berpolitik adalah hal yang tidak diperbolehkan di Indonesia.
Connie tegas menyampaikan tentara adalah militer yang tugas dan fungsinya menjaga dan mempertahankan kedaulatan negara dari gangguan musuh.
Koalisi Masyarakat Sipil (KMS) adalah salah satu organisasi masyarakat yang lantang menyampaikan kekhawatirannya terkait penugasan TNI di Kejaksaan. Perwakilan dari KMS, Al Araf mengaku pihaknya sudah sejak lama menyampaikan kritikan terhadap nota kesepahaman antara TNI dan Kejaksaan Agung.
“Ada problem konstitusional yang serius dari soal ini. Terbitnya Telegram serta MoU yang dibuat antara Kejaksaan dan Panglima itu ada persoalan mendasar terkait dengan konstitusi sehingga presiden harus segera mengoreksi kebijakan ini,” kata Al Araf.
Ia menjelaskan, dalam Pasal 10 UUD 1945 disebutkan bahwa Presiden adalah pemegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat, Laut, dan Udara. Sehingga hanya presiden yang bisa mengendalikan TNI.
Aturan dasar itu kemudian diturunkan dalam Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004. Pengendalian dan pengerahan kekuatan TNI dilakukan untuk operasi perang dan selain perang. Pengerahan itu hanya bisa dilakukan atas dasar keputusan politik negara, yakni keputusan politik presiden dengan pertimbangan DPR.
“Kewenangan pengerahan kekuatan bukan ada di Panglima dan juga bukan di Kejaksa Agung, tapi ada di Presiden. Jika ada kebutuhan untuk mengerahkan membantu Kejaksaan Agung, hanya Presiden otoritas yang boleh mengerahkan itu. Kenapa? Karena dalam negara demokrasi, presidenlah yang dipilih oleh rakyat, bukan Panglima TNI. Hanya mereka yang dipilih oleh rakyat lah yang bisa mengerahkan kekuatan TNI. Karena itu keputusan panglima TNI dan kepala staf plus MOU jaksa Agung itu hal yang salah dan keliru secara konstitusional,” jelas dia.
Selaku Penasihat khusus Presiden Urusan Pertahanan, Dudung tidak melihat ada instruksi Presiden Prabowo Subianto di balik kerja sama itu.
“Dalam hal ini, pengerahan pasukan ini saya yakin tidak ada (instruksi/perintah) dari Presiden, tapi dari dasar nota kesepahaman itu sendiri,” tegas Dudung.
Dalam satu wawancara, Kapuspen TNI menjelaskan tidak ada yang salah dengan kerjasama antara TNI dan Kejaksaan. Semua berdasarkan kesepakatan kedua belah pihak yang sudah terbentuk sejak 2018. Lagi pula, menurut Kapuspen itu menjadi bentuk sinergitas antar lembaga negara dalam melaksanakan program pemerintah.
Namun, Pakar Komunikasi Politik Prof. Lely Arrianie menyebut komunikasi yang disampaikan oleh TNI tidak jelas dan justru memberikan ruang spekulasi di tengah publik.
“Spekulasi bermacam-macam. Dalam komunikasi politik itu kan diam pun berbicara. Jadi ketika misalnya ada TNI yang akan ditempatkan di kejaksaan tadi persepsinya sudah ngalor ngidul ke mana-mana. Apa hanya sekedar penjaga pintu gawang kejaksaan itu sendiri? Apakah sudah demikian mengkhawatirkan kondisi Kejaksaan sehingga TNI perlu turun tangan?,” tanya Lel.
Ia menggarisbawahi, komunikasi politik itu akan dimaknai oleh penerima pesan, bukan pembuat pesan. Oleh karena itu, Kapuspen selaku elite yang berwenang mengomunikasikan hal ini ke masyarakat harus bisa menyampaikannya dengan sejelas mungkin.
Saat ini kontroversi terjadi, artinya ada kegagalan komunikasi yang dilakukan, pesan tidak tersampaikan secara menyeluruh. Lely menyebut kontroversi ini sebagai bising-bising komunikasi politik.
“Dalam bayangan publik (TNI) ini disuruh ngapain atau ngawal tahanan nantinya? Yang sebenarnya di dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2025 itu sendiri terutama pasal 7 tidak ada satu pun ayat yang menyatakan wewenang TNI untuk diperbantukan di Kejari atau Kejati. Itu loh itu masalahnya,” sebutnya.
MoU yang ada pun menjadi dipertanyakan. Berdasarkan UU yang sama, TNI bisa diperbantukan ke pemerintah daerah. Masalahnya, Kejari dan Kejati bukan bagian dari pemerintah daerah.
Puji memandang Penugasan TNI itu bukan hanya sebatas tidak menyentuh ranah utama penegakan hukum di Kejaksaan, tapi juga tidak melanggar hukum.
Tidak melanggar hukum, artinya sesuai dengan UU TNI baik yang lama maupun yang baru, TNI memang ditugaskan untuk menjaga instansi negara yang bersifat vital dan strategis.
“Kita lihat dalam konteks perkembangan sekarang ini penegakan hukum, Kejaksaan menjadi tempat yang vital,” kata Puji.
Selain itu, TNI diturunkan di ranah sipil tanpa perlu perintah Presiden, bukan baru ini terjad. Ia mencontohkan bagaimana TNI turut menjaga kelancaran dan keamanan pemilu bersama Polri. Oleh karena itu, jika sekarang TNI ada di Kejaksaan, itu hal yang wajar saja menurutnya.
Al Araf buru-buru mengoreksi penjelasan UU TNI yang disampaikan Komisi Kejaksaan. TNI bisa ditugaskan untuk objek vital, ya benar. Asumsikan Kejaksaan adalah objek vital. Namun, dalam Pasal 3 ayat 7 UU Nomor 34 Tahun 2024, dijelaskan pelaksanaan operasi selain perang hanya bisa dilakukan atas dasar keputusan politik negara melalui Presiden dan DPR.
“Itu normatif begitu. Keputusan presiden ada itu bukan untuk didebat. Itu aturan hukum yang jelas. Sehingga kalau Kejaksaan ingin meminta perbantuan kepada militer, dia meminta kepada Presiden. Presiden yang memerintahkan, atas keputusan presiden itu aturan hukum. Kalau kita negara hukum, kita harus patuh pada hukum. Kalau kita tidak patuh pada hukum dan undang-undang, kacau negara ini,” papar Al Araf.
Keberadaan TNI di lingkungan Kejaksaan disebut Komisi Kejaksaan diperlukan untuk memberi deterrence effect atau efek gentar sehingga penegakan hukum mencapai tujuannya.
“Jadi kan kewenangan Kejaksaannya tidak bertambah, tetapi implementasi kewenangannya yang saat ini kan bertambah. Dalam implementasi itu, dalam analisis intelijennya barangkali di Kejaksaan itu dilihat bahwa AGHT-nya (ancaman, gangguan, hambatan, dan tantangan) memungkinkan ada yang dibutuhkan efek deterrence itu,” ujar Puji.
Penjelasan itu langsung dimentahkan oleh Al Araf yang menyebut jika ada alasan AGHT, berarti efek gentar diadakan bukan dalam konteks Kejaksaan, melainkan konteks pertahanan.
Araf juga menjelaskan, Kejaksaan merupakan bahian dari sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system) bersama-sama dengan kepolisian dan peradilan. Sehingga jika membutuhkan pengamanan jawabannya adalah kepolisian, bukan justru menarik masuk militer.
“Karena militer bukan bagian dari integrated criminal justice system. Dia fungsinya pertahanan, sebagai alat perang. Jadi itu sudah salah dan keliru,” tegas Al Araf.
Jika kepolisian sudah dikerahkan namun ternyata kondisi masih saja tidak memungkinkan, barulah kejaksaan bisa meminta bantuan TNI, dengan catatan melalui prosedur sesuak dengan aturan konstitusi. Yakni dengan meminta Presiden untuk membuat keputusan politik, bukan dengan membuat nota kesepahaman sendiri seperti yang saat ini sudah dilakukan.
“Karena Undang-Undang dan Konstitusi tidak memperbolehkan MoU. MoU bukan bagian data peraturan perundang-undangan. Tata peraturan undang-undang itu konstitusi sampai level perda. Mou tidak dikenal. MOU bertentangan dengan undang-undang dan bertentangan dengan konstitusi itu sudah disampaikan berulang kali ke DPR,” jelas dia.
Namun Puji bersikeras bahwa apa yang Kejaksaan dan TNI lakukan tidak bertentangan dengan konstitusi. Maka ia mempersilakan siapapun yang menganggap itu bertentangan untuk mengujinya di Mahkamah Agung (MA).
“Menurut saya tidak bermasalah menurut Anda bermasalah. yang bisa menyatakan secara clear itu kan tentu institusi yang punya kewenangan kalau Anda pengin menyatakan itu bertentangan, challenge dong itu di Mahkamah Agung, begitu kan peraturannya,” ujar Puji.
Terlepas dari urusan sesuai atau tidak dengan konstitusi, Jenderal Purnawirawan Dudung Abdurrahman hanya mengingatkan agar TNI memahami aturan yang ada sehingga nantinya tidak menimbulkan kerugian bagi TNI itu sendiri.
“Yang terpenting TNI harus paham betul tentang SOP mengerahkan pasukan yang sedemikian banyak. Jangan sampai nanti SOP ini tidak jelas yang nantinya akan merugikan TNI itu sendiri,” sebutnya.
Leave a Reply