“…para pengola Danantara yang harus memperlihatkan (kesungguhannya), Presiden khususnya di dalam konteks ini, karena itu dianggap merupakan gagasan kelanjutan, gagasan dari sang ayah yaitu Prof. Sumitro Djojohadikusumo,”
โPengamat Sosial Fachry Ali
Presiden Prabowo Subianto secara resmi telah meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Agata Nusantara (Danantara) pada akhir Februari 2025.
Danantara menjadi super holding yang mengelola aset fantastis senilai Rp14.800 triliun yang merupakan aset dari BUMN-BUMN yang bergerak di berbagai sektor usaha.
Danantara ini sejenis dengan Tamasek di Singapura atau Khazanah Nasional di Malaysia.
Pembentukan Danantara sesungguhnya merupakan gagasan dari ayahanda Prabowo, Sumitro Djojohadikusumo, yang coba direalisasikan oleh Prabowo karena dipandang memiliki tujuan yang baik bagi perekonomian Indonesia.
Dengan Danantara, Prabowo berharap dapat menciptakan kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat Indonesia. Danantara ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi aset, menarik investasi global ke Indonesia, dan memperkuat daya saing Indonesia di sektor strategis.

Pengamat Sosial Fachry Ali memandang Danantara sebagai satu gagasan strategis yang bisa menjadi solusi bagi Indonesia saat ini. kondisi saat ini negara-negara sudah harus bisa tumbuh dan berkembang dengan kekuatan masing-masing, tanpa bantuan-bantuan finansial dari negeri lain.
“Dalam arti tumbuh dan berjuang itu sebenarnya kasarnya adalah tanpa ada financial assistance, capital assistance to develop their own economic countries. Tanpa itu kan megap-megap semuanya. Di dalam konteks inilah saya melihat Danantara itu adalah sebuah solusi yang muncul dari konsolidasi kapital pada tingkat domestik and not dependent from foreign aid,” kata Fachry dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.
Dengan kata lain, Danantara menjadi substitusi dari hilangnya partner pembangunan yang selama ini berasal dari bantuan pendanaan luar negeri.

Yang menjadi pekerjaan rumah kemudian adalah bagaimana agar Danantara ini tidak hanya memperjuangkan sisi pembangunan Indonesia, namun juga menjunjung tinggi hak asasi manusia dan demokrasi di dalamnya.
“Yang harus kita ingat adalah kasus Rempang. Kasus Rempang ini sudah dua konteksnya, pertama dananya datang dari luar, yang kedua paradoksnya adalah yang terlempar itu adalah masyarakat setempat. Jadi melalui Danantara kita berbicara tentang visi pembangunan yang manusiawi plus demokrasi,” seru Fachry.
Susunan pengurus Danantara sudah dibentuk, lembaga apa saja yang terlibat untuk mengawasi akuntabilitasnya juga sudah ditunjuk. Di antara nama dan badan yang masuk dalam daftar, ada nama Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Presiden ke-7 RI Joko Widodo (Jokowi) yang diberi posisi sebagai Dewan Pengarah Danantara.
Meski ada dua sosok mantan presiden dalam posisi yang sama, Fachry meyakini hal itu tidak akan mempersulit proses konsolidasi dalam Danantara. Alasannya, baik SBY maupun Jokowi tidak ada dalam posisi eksekutif dalam konteks Danantara.
“Dewan pembina, jadi bukan sesuatu yang mengambil keputusan. Kendati pun di situ akan menjadi sorotan positif dan negatif dan seterusnya,” ujar penulis berusia 70 tahun itu.
Krisis Kepercayaan Publik…
Meski memiliki semangat dan tujuan yang baik, sayangnya banyak pihak yang skeptis dan tidak sepenuhnya percaya pada pengelolaan Danantara. Suara sumbang ini datang kebanyakan dari kalangan muda.
Bukan tanpa alasan, rasa tidak percaya itu lantaran ada banyak kasus korupsi yang terjadi di tubuh BUMN yang terjadi sebelumnya dan terungkap ke publik. Misalnya kasus korupsi di Jiwasraya, Bumi Putera, Asabri, Pertamina, dan sebagainya.
Dengan fakta itu, bukan hal yang aneh ketika publik menyangsikan sekuritas aset sebesar belasan ribu triliun yang akan dikelola oleh Danantara nanti.
Fachry pun setuju dengan hal itu. Dari bacaannya di berbagai media, ia mengaku lebih banyak menemukan respons yang memuat ketidakpercayaan ketimbang mereka yang percaya pada Danantara.
“Di situ para pengola Danantara yang harus memperlihatkan (kesungguhannya), Presiden khususnya di dalam konteks ini, karena itu dianggap merupakan gagasan kelanjutan, gagasan dari sang ayah yaitu Prof. Sumitro Djojohadikusumo,” ujar Fachry.
Publik yang penilaiannya patut dipertimbangkan dalam hal ini adalah yang termasuk dalam komunitas politik (political community). Artinya, mereka yang peduli dengan nasib bangsa, mereka yang terinformasi dengan baik terkait persoalan bangsa, juga mereka yang kerap bertanya dan melontarkan kritikan demi kebaikan bangsa.
Danantara adalah sebuah pertaruhan. Jika berhasil, maka perekonomian negara bisa terangkat tinggi. Sebaliknya, jika gagal dan justru dijadikan bancakan korupsi, maka bukan tidak mungkin keuangan negara ini akan kolaps.
Sebagai sebuah badan negara, Danantara ditantang untuk bisa menjalankan tata kelola perusahaan yang baik, tata kelola yang sesuai dengan aturan hukum atau Good Corporate Governance (GCG).
Permasalahannya kemudian, Danantara diketuai oleh Roslan Roeslani yang saat ini merupakan Menteri Investasi dan Hilirisasi di Kabinet Merah Putih.
Padahal, dalam Undang-Undang Kementerian disebutkan seorang menteri yang masih menjabat dilarang merangkap sebagai CEO atau komisaris di badan atau lembaga lain.
Hal ini akan mempersulit Danantara untuk meyakinkan publik, khususnya komunitas politik sebagaimana dijelaskan sebelumnya, bahwa super holding ini sudah dikelola dengan baik dan akan berjalan dengan baik pula.
Fachry menyarankan agar Rosan memberikan penjelasan kepada publik terkait rangkap jabatan yang ia perankan. Prabowo pun diminta untuk turun tangan menjelaskan.
“Di dalam konteks itu memang secara fungsional itu antara (Kementerian) Investasi dengan Danantara itu sangat dekat. Tetapi dari sisi undang-undang apakah itu sejalan? Ini yang kemudian harus dijelaskan,” kata Fachry.

Jika Danantara benar akan dijalankan, maka pemerintah harus bisa memastikan badan investasi ini akan memberikan keadilan bagi masyarakat. Keadilan dalam arti distribusi pendapatan yang seimbang bagi masyarakat.
Peraih penghargaan Achmad Bakrie XIX bidang Pemikiran Sosial itu menyebut Danantara bisa menjadi andalan untama untuk menciptakan kekayaan domestik. Kekayaan yang dikontrol oleh negara, kemudian didistribusikan secara merata kepada seluruh masyarakat.
Karena permasalahan ekonomi politik di Indonesia saat ini adalah ketimpangan modal sehingga menimbulkan ketidakadilan.
“Mereka yang memegang modal secara besar-besaran pada tingkat dalam negeri dan mereka itu adalah too big to fail. Mereka adalah pemegang-pemegang modal besar, Warga Negara Indonesia, punya hak politik yang sama, tetapi material resources yang mereka miliki itu luar biasa dan terus terang berpotensi memengaruhi kebijakan-kebijakan negara,” jelas Fachry.
Kekuatan para kapitalis dalam negeri itulah yang dikhawatirkan menjadikan Indonesia sebagai “shadow state“, negara demokrasi namun sesungguhnya sedikit banyak dikendalikan oleh kelompok oligarki atau kelompok kepentingan tertentu.
Apalagi, kelompok masyarakat tingkat ekonomi menengah kini terus menurun jumlahnya. Padahal merekalah kelompok masyarakat yang paling vokal menyampaikan kritik, merekalah masyarakat yang memiliki kemampuan dan waktu untuk urun pikiran demi keberlangsungan negara.
Menurunnya kelompok kelas menengah ini juga bisa dibaca sebagai kegagalan distribusi otoriras politik yang makin lama makin timpang.
“Sekarang yang dilakukan oleh Said Didu. Said Didu itu he is alone. Sekarang ini berjuang untuk mengingatkan dampak yang tidak baik dari penguasaan modal yang begitu besar yang bersifat ekspansif,” ungkap Fachry.
“Saya katakan negara tidak terlalu bisa menghindari pengaruh dari mereka ini, itu too big to fail. Kalau mereka dipukul maka yang berbahaya adalah at least secara teoritis perekonomian as of all. Inilah sebenarnya the substance of political problem in Indonesia today,” lanjutnya.
Lantas bagaimana Negara harus menangani komunitas bisnis yang besar dan memengaruhi kebijakan politik nasional itu?
Jawabannya adalah penegakan hukum. Fachry menegaskan, semua orang berhak kaya, dan ketika orang memiliki modal maka berhak untuk memperluas modal itu agar mendapat keuntungan yang lebih besar.
Namun lerlu dicatat, cara perluasan modal itu harus sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Jangan menggunakan jalan pintas, metode curang, atau bantuan orang dalam yang memiliki kewenangan di pemerintahan.
“Headline Kompas itu mengatakan banyak sekali muncul organisasi-organisasi yang ikut nimbrung untuk memperlancar ekspansi modal itu tanpa dasar hukum yang kuat. Jadi mudah, setidak-tidaknya secara normatif, bangun kekuatan di penegak hukum yang kuat,” sebut Fachry.
Sekarang kita tinggal menunggu langkah apa yang akan diambil oleh Presiden. Apakah dia sudah mempersiapkan strategi sesuai dengan format politiknya sendiri atau justru masih meraba. Bagi Fachry, Prabowo adalah seorang pemimpin yang memiliki kapasitas untuk mendialogkan berbagai hal, berbekal pengetahuannya yang luas, kemampuan bahasa asing yang mumpuni, juga berbagai hal lainnya.
Leave a Reply