“Selama pemerintahan Pak Jokowi, di ujung itu ada banyak undang-undang yang diproses dengan cepat, agak ngumpet-ngumpet, dan tidak membuka meaningful participation… Jadi itu menimbulkan presepsi publik bahwa ada kejadian-kejadian dimana undang-undang yang krusial yang harusnya diketahui publik kemudian diproses dihindarkan dari partisipasi,”
โPegiat Antikorupsi Sudirman Said
Sebagai lembaga legislatif, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) memiliki sejumlah fungsi, salah satunya adalah fungsi legislasi. Fungsi yang memungkinkan mereka untuk menyusun dan membahas undang-undang.
Dalam menjalankan fungsi itu, DPR harus mengedepankan keterbukaan dan memberi ruang bagi publik untuk terlibat dan berpartisipasi. Mahkamah Konstitusi (MK) dalam putusannya menyebut keterlibatan publik itu dengan istilah meaningful participation.
Sayangnya, dalam beberapa kesempatan pembahasan UU, aspek-aspek itu tidak dilakukan dengan optimal oleh DPR. Salah satunya saat pembahasan dan pengesahan revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

Hal ini mendorong dua orang mahasiswa dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Abu Rizal Biladina dan Bima Surya, mengajukan uji formalitas UU BUMN hasil revisi beberapa waktu lalu ke MK.
Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (7/5/2025), Rizal menceritakan bagaimana sosok Guru Besar FH UI Prof. Sulistiowati Irianto yang diundang DPR untuk hadir di Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU), namun tidak mendapatkan rancangan undang-undang (RUU) juga naskah akademik dari RUU BUMN yang akan disahkan. Tanpa pernah menerima dua hal itu, tiba-tiba pada 4 Februari 2025 UU BUMN yang baru sudah disahkan.
Atas kejadian itu, ia merasa DPR telah melanggar aturan yang notabene mereka buat sendiri, terkait tata cara pembahasan UU yang harus melibatkan partisipasi publik.
“Di situ akhirnya kami berdua, saya berdua sama Bima Surya mengajukan permohonan ini ke MK tepatnya pada tanggal 8 April. Di situ kita mendalilkan bahwasanya ada asas keterbukaan itu dilanggar, yang mana warga negara Indonesia itu setidaknya mendapatkan draf RUU atau enggak naskah akademik. Sampai saat ini tidak ada akses, tidak ada keterbukaan dari DPR,” jelas Rizal.
Ia mempertanyakan bagaimana cara agar
masyarakat sipil bisa ikut terlibat, jika sekelas guru besar yang diundang dalam RDPU saja tidak bisa mendapat informasi terkait UU yang dibahas.

Anggota Komisi VI DPR dari fraksi Partai Nasdem Asep Wahyu Wijaya menegaskan bahwa pada saat itu sesungguhnya naskah akademik ada, draf RUU juga ada. Namun ia menganggap proses pembahasan UU BUMN kemarin adalah sudah di ujung. Sebelumnya, pembahasan RUU BUMN sudah dilakukan sejak DPR periode sebelumnya, sehingga proses partisipasi publik dan keterbukaan informasi menurutnya sudah selesai.
“Yang kita bahas itu yang di ujung. Ketika saya cek kepada para senior yang lebih dulu masuk DPR ini memang sudah lama kita bahas, bahkan mereka sudah ke mana-mana. Artinya dengan begitu saya berasumsi baik, berhusnudzon, proses transparansi sudah selesai, diskusi publik sudah selesai,” sebut Asep.
Terkait Prof. Sulis yang tidak mendapat draf RUU dan naskah akademik, Asep menanggapi singkat. Ia memastikan Prof. Sulis tidak meminta kepada dirinya.
Untuk mendapatkan naskah akademik juga draf RUU menurut Asep ada mekanisme tersendiri yang harus dilakukan.
“Menghubungi staf, yang kemudian memimpin kan juga pimpinan komisi, pimpinan panja waktu itu. Ya silakan dengan mereka,” sebutnya.
Laman resmi DPR-RI nampaknya tidak menyediakan saluran untuk masyarakat bisa mendapatkan informasi terkait pembahasan suatu undang-undang.
Mantan Komisioner KPK Saut Situmorang melihat rumitnya alur untuk mendapatkan draf RUU maupun naskah akademik suatu RUU mencerminkan tidak optimalnya penerapan konsep meaningful participation.
Padahal, masyarakat sepenuhnya memiliki hak untuk mengetahui apa yang sebenarnya sedang dibahas oleh para legislator di DPR. Karena setiap undang-undang akan berdampak pada kehidupan mereka.
Dan meaningful participation merupakan tanggung jawab DPR selaku pembuat undang-undang, terlepas dari siapa pihak yang menjadi inisiator undang-umdang, apakah pemerintah atau DPR itu sendiri.
“Sehingga pertanyaannya kok kayak gini ya disembunyi-sembunyiin, sampai ada pasalnya gitu banyak yang dibahas cuma berapa menit, coba pasal sebegitu banyak. Kan itu kata per kata harus dijelaskan,” ujar Saut.
Ia meyakini, semakin banyak suara yang masuk, semakin pihak yang terlibat, kebijaksanaan akan makin tercermin dalam undang-undang sebagai yang dibahas.
Ia menyebutnya dengan istilah wisdom crowd.
“Meaningful participation itu penting, karena pikiran orang banyak yang disebutnya wisdom crowd. Orang makin banyak itu makin wisdom (bijaksana). Kalau kamu cuma 400 orang atau 300 orang saja pasti kecundungan wisdom crowd-nya enggak ada. (Naskah) akademik itu wisdom crowd itu. Jadi makin banyak orang mikir makin bagus. Makanya istilahnya meaningful participation. Jadi jangan ditutup-tutupin,” seru Saut.
Ia menyayangkan pembahasan RUU BUMN yang kini sudah disahkan menjadi UU No 1 Tahun 2025 kemarin dilaksanakan tanpa mengajak orang-orang yang berkompeten. Padahal jika itu dilakukan, saran positif bisa dikumpulkan untuk menghasilkan BUMN yang kompetitif, lincah, adaptif, sesuai dengan yang diharapkan.
Menegasikan pernyataan Saut, Asep mengatakan DPR sesungguhnya sama sekali tidak keberatan jika ada publik yang ingin turut berpartisipasi mengemukakan pendapatnya dalam proses pembahasan sebuah undang-undang.
Buktinya DPR tetap mengundang sejumlah pihak dalam RDPU, misalnya pakar, akademisi, dan sebagainya. Hanya saja, tidak semua pendapat yang disampaikan bisa direalisasikan.

Pegiat Antikorupsi Sudirman Said berpendapat di masyarakat saat ini terlanjur terbentuk persepsi bahwa DPR terbiasa membuat keputusan secara sembunyi-sembunyi, kilat, dan tanpa melibatkan rakyat.
Praktik-praktik semacam itu banyak terjadi di akhir masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi).
“Selama pemerintahan Pak Jokowi di ujung itu ada banyak undang-undang yang diproses dengan cepat, agak ngumpet-ngumpet, dan tidak membuka meaningful participation. Ada Undang-Undang Cipta Kerja, ada Undang-Undang Minerba, ada Undang-Undang revisi Korupsi, Anti Korupsi juga. Undang-undang KPK juga begitu. Jadi itu menimbulkan presepsi publik bahwa ada kejadian-kejadian dimana undang-undang yang krusial yang harusnya diketahui publik kemudian diproses dihindarkan dari partisipasi,” jelas Dirman.
Revisi UU BUMN Sudah Disahkan…
UU BUMN yang baru telah disahkan 4 Februari 2025 dan mulai diberlakukan di akhir bulan yang sama. Di antara semua pro dan kontra yang mewarnai UU ini, Dirman menyebut ada pihak yang diuntungkan dengan disahkannya UU BUMN ini.
Pihak itu adalah mereka yang meminta agar pasal-pasal di dalam UU lama diubah menjadi sebagaimana tercantum sekarang. Salah satunya soal pejabat BUMN yang tak lagi disebut sebagai penyelenggara negara, sehingga tak masuk dalam daftar pihak yang bisa diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Itu akan menjadi bahaya apabila di baliknya tersimpan niat jahat oknum tertentu untuk lebih leluasa melakukan tindak korupsi di BUMN.
“Yang bahaya adalah kalau dorongan itu didasari pada niat jahat atau mensrea, yaitu kemauan ingin membuat keleluasaan, sehingga kontrol yang semula berlapis-lapis kemudian dihilangkan. Itu menurut saya bahaya,” jelas Dirman.
Staf Khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga menjelaskan penghapusan status penyelenggara negara pada jajaran pejabat BUMN itu ada tujuannya.
“Ketika ada sebuah kebijakan diambil oleh direksi itu tidak ada fraud-nya, enggak ada korupsinya, tapi merugikan perusahaan, itu bisa ditangkap. Ini banyak kejadian. Akhirnya apa? Orang enggak berani berinovasi,” jelas Arya.
Padahal sebagai badan usaha, BUMN dituntut untuk terus bisa berinovasl dan menyesuaikan dengan tuntutan pasar.
Arya meyakinkan semua pihak bahwa revisi UU BUMN hanya mengubah soal itu saja. Pejabatnya tidak lagi dijadokan penyelenggara negara agar tidak menjadi korban jika kebijakan yang dibuatnya merugikan perusahaan.
“Hanya itu yang sekarang hilang di undang-undang itu. Tapi kalau nyuri, tangkap,” kata dia.

Perubahan terkait status penyelenggara negara itu menurut Saut Situmorang makin meningkatkan ketidakpastian dan risiko korupsi. Bagaimana tidak, pejabat BUMN tak lagi disebut sebagai penyelenggara negara, otomatis mereka jika melakukan korupsi tak akan tersentuh oleh KPK yang secara undang-undang tugasnya diatur untuk mengusut kasus korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelenggara negara.
“Jadi saya orang akhir mengatakan undang-undang ini menimbulkan kecurigaan dan menimbulkan risiko yang sangat tinggi di dalam pemberantasan korupsi. Dan itu yang menurut saya oke judicial review-nya segera dan kemudian hopefully apa yang diimpikan oleh si pembuat undang-undang dalam hal ini pemerintah, ruling government saat ini,” ungkap Saut.
“Kalau mereka bisa buktikan bahwa ini baik, indeks persepsi korupsinya baik, pertumbuhan ekonominya baik, pertumbuhan ekonomi di atas 8 persen, ini bangga. Silakan saja presiden gebukin saja kita di sini yang enggak setuju itu,” lanjutnya.
Uji formalitas sudah diajukan ke MK, sekarang semua pihak hanya tengah menunggu bagaimana hasilnya.
Sebagai salah satu pihak yang mengajukan, Abu Rizal Biladina berharap anggota DPR membuka ruang diskusi dan menampilkan draf RUU kepada publik.
Karena selama ini ia menyangsikan keterbukaan yang diklaim telah dilakukan oleh DPR kepada masyarakat, khususnya kelompok mahasiswa.
“Teman-teman mahasiswa juga demo enggak ada yang welcome dari DPR gitu ya. Jadi kayak dari tahun ke tahun praktik legislasi undang-undang ini sudah melenceng dari peraturan itu sendiri. Mereka yang menciptakan peraturan tapi mereka sendiri yang melanggar. Lembaga negara yang membuat legislasi tapi melanggar legislasi itu sendiri,” ujar Rizal.
Leave a Reply