“Presiden sebelumnya yaitu Joko Widodo itu masih punya pengaruh begitu yang ada, sehingga kita sekali lagi saya katakan kita dikunci di dalam menciptakan wacana-wacana yang lebih produktif terhadap Indonesia terhadap demokrasi dan segala macam,”
โPemikir Sosial, Fachry Ali
Presiden Prabowo Subianto telah meimpin Indonesia hampur 7 bulan lamanya sejak dilantik 20 Oktober 2024. Meski begitu, aroma-aroma adanya dualisme kepemimpinan antara Prabowo dan Presiden sebelumnya, Joko Widodo masih, terasa hingga hari ini.
Presiden ke-6 Republik Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menggunakan istilah “matahari kembar” untuk menjelaskan situasi kepemimpinan nasional saat ini.
Awam bisa melihat bagaimana masih banyak menteri dan pejabat di lingkungan Prabowo yang merupakan orang-orang dekat Jokowi. Bahkan Wakil Presiden pun merupakan putra sulung Jokowi. Saat Idul Fitri tiba, sejumlah menteri kabinet Prabowo sowan ke kediaman Jokowi di Solo dan menyebutnya sebagai bos.

Penulis sekaligus Pemikir Sosial Fachry Ali membenarkan pemerintahan Prabowo saat ini masih ada di bawah bayang-bayang pengaruh Jokowi. Bagi Fachry, Prabowo belum tegas menentukan format politik apa yang hendak ia jalankan.
Akibatnya, poros kekuatan lama yang berkuasa sebelum Prabowo menjadi Presiden masih terus bekerja dan itu nampak di tingkat permukaan.
“Itu masih kereng (keren) dalam bahasa Betawi dan kemudian orang masih menganggap ada dualisme, matahari kembar, dan seterusnya. Apalagi kalau kita lihat di dalam susunan kabinet,” ujar Fachry dalam siniar Back to BDM, YouTube Budiman Tanuredjo.
Kabinet Merah Putih yang dipimpin Prabowo saat ini Fachry anggap sebagai hasil kompromi antara penguasa baru dan penguasa lama. Prabowo dan Jokowi pun masih tampil mesra, melemparkan pujian, menjadi pelindung bagi satu sama lain.
Masih lekat dipikiran bagaimana Prabowo meneriakkan “Hidup Jokowi” di tengah-tengah seruan “Adili Jokowi” yang menggema di berbagai daerah di Indonesia. Jokowi pun memuji Prabowo sebsgai Presiden terkuat, tidak ada yang berani mengritik, kepuasan publik begitu tinggi, kekuatan politiknya pun paten.
Terakhir, Prabowo yang membela Jokowi ketika mantan Wali Kota Solo itu disebut-sebut menyetir mantan menantu Soeharto itu. Dengan gaya komunikasinya, Prabowo menegaskan jika Jokowi tidak turut campur dalam pemerintahan yang ia pimpin, dan ia bukanlah presiden boneka yang digerakkan oleh Jokowi.
Hal-hal semacam inilah yang hari ini masih mewarnai politik Indonesia, Fachry menyebutnya dengan artificial politics. Artifisial, kegaduhan soal keaslian ijazah Jokowi, posisi PDIP dalam pemerintahan, hubungan antara Prabowo-Megawati-Prabowo, yang menurut Fachry semuanya masih berkaitan dengan efek samping Pilpres 2024.
Kita belum masuk pada substansi politik yang seharusnya mendapat perhatian lebih. Misalnya turunnya indeks demokrasi di Indonesia jpasca putusan MK soal penurunan batas usia sebagai syarat menjadi calon presiden dan calon wakil presiden. Belum lagi soal kesetaraan, penegakan hukum, kejahatan korupsi, dan lain-lain yang masih jauh dari kata ideal.
“Jadi kita bisa mengatakan artificial politics yang berlangsung sekarang ini lebih merupakan pentilan-pentilan saja. Kembali saya gunakan bahasa Betawi, yang kemudian menjadi kabut untuk melihat dengan lebih jernih terhadap the real political problem in Indonesia today,” jelas Fachry.

Kita baru bisa meninggalkan artificial politics ini dan masuk ke substansi jika Presiden Prabowo telah berhasil membentuk konsolidasi otoritasnya sendiri. Tidak seperti sekarang ini, di mana para pembantunya masih bekerja untuk dua bos yang berbeda. Atau jika ada para pejabat di bawahnya yang masih mempunyai pandangan pro atau kontra dengan “kekuatan Solo”.
Jika konsolidasi sudah terbentuk, maka cara berpikir juga cara bekerja pemerintahan akan lebih jernih. Mereka akan lebih mudah melakukan evaluasi atas banyaknya hal-hal kecil yang tidak substansial yang telah terjadi sejak awal perintahan Prabowo hingga saat ini. Konsolidasi juga akan memunculkan pertukaran wacana yang lebih substansial untuk menyelesaikan persoalan-persoalan mendasar yang ada di Indonesia.
“Beberapa kalangan misalnya sudah harus menganggap bahwa perdebatan yang berlangsung sekarang ini, perdebatan yang bersifat ecek-ecek ini, kita anggap tidak substansial dan harus muncul sebuah kalangan baru yang mulai berbicara tentang hal-hal yang lebih serius,” sebut Fachry.
Padahal, jika menilik peta kekuatan politik Prabowo saat ini yang dudukung oleh 82 persen partai politik di parlemen, itu adalah modal besar bagi Prabowo untuk bisa membentuk konsolidasi politik yang kokoh. Mengeksekusi program-program kerja juga seharusnya tak sulit, karena dukungan politik pasti dikantongi. Betapa tidak, hampir semua ketua umum partai politik ada dalam kabinetnya, kecuali Ketua Umum PDIP dan Nasdem.
Namun demikian, Fachry menyebut hal mudah itu menjadi terkesan sulit akibat pengaruh Jokowi masih bermain di pemerintahan Prabowo.
“Presiden sebelumnya yaitu Joko Widodo itu masih punya pengaruh begitu yang ada, sehingga kita sekali lagi saya katakan kita dikunci di dalam menciptakan wacana-wacana yang lebih produktif terhadap Indonesia terhadap demokrasi dan segala macam,” ujar Fachry.
Fachry mencontohkan, ia pernah mengusulkan agar seluruh fakultas hukum yang ada di Indonesia meneliti tentang Keputusan MK No 90 yang begitu kontroversial. Hal itu menurutnya lebih substantif bagi demokrasi di Indonesia ketimbang meributkan keaslian ijazah Jokowi yang baginya hanya bersifat hiburan politik semata.
Memperbaiki Indonesia…
Kondisi Indonesia saat ini tidak bisa dibilang baik-baik saja. Ekonomi melemah, demokrasi turun, hukum diperjualbelikan, korupsi meningkat, pendidikan bisa dibeli, semua ada dalam posisi yang compang-camping.
Lantas bagaimana kita bisa memperbaikinya? Dari mana langkah perbaikan harus dimulai? Sementara kondisi geopolitik dunia terus bergejolak dan menuntut negara manapun untuk bersiap menanggung dampak-dampaknya.
Fachry menyebut hal pertama yang harus dibenahi adalah ideologi partai-partai politik. Saat ini partai politik bekerja tanpa ideologi. Bahasa sederhananya, siapa yang memenangkan pemilu, maka partai politik akan bergerombol merapat.
“Akibatnya, patokan untuk memberikan evaluasi yang bersifat substansial terhadap any political action, any political decision, any political policy itu tidak ada, tidak ada sama sekali. Jadi itu (ideologi partai politik) harus didorong,” kata Fachry.

Partai politik kehilangan ideologi. Bahkan kerap terdengar istilah sarkastis yang menyebut partai politik hanyalah perusahaan pengerah politisi. Maksudnga, ketua umum partai politik akan mengirimkan kader-kadernya untuk mengisi kursi-kursi di DPRD, kehakiman, lembaga negara, menteri, kepala daerah, pemimpin BUMN, dan sebagainya. Hanya itu tujuan dan kerja-kerja partai politik.
Ideologi pada masing-masing partai politik harus terus didorong untuk kembali eksis. Partai politik sebagai wadah aspirasi rakyat seharusnya bisa menjalankan fungsinya dengan baik, bersuara demi kebenaran dengan jalan ideologinya masing-masing. Misal Golkar sebagai partai yang berjalan di jalur tengah (tidak ekstrem kanan atau kiri), PDIP dengan Marhaenismenya, PKS dengan pandangan Islam moderatnya, dan seterusnya.
“Ideologi itu sebenarnya adalah vehicle, wahana untuk melakukan evaluasi. Evaluasi ideal tentang dunia sekitarnya. Ini kan tidak ada, semuanya kan asal masuk. Dan ketika dia (Prabowo) bilang bikin koalisi permanen, belum apa-apa sudah bikin koalisi permanen untuk (pemilihan) presiden berikutnya. Di mana kekuatan evaluasi itu. ketika mereka (partai-partai koalisi) tiba-tiba setuju saja dan seterusnya,”ungkap Fachry heran.
“Bangsa Indonesia as a whole pasca (Keputusan No 90) MK itu memang betul-betul mengalami krisis kecerdasan. Tiba-tiba kita menerima begitu saja keadaan yang ada,” lanjutnya.
Ketika partai politik yang menjadi saluran aspirasi publik kini tak lagi memiliki ideologi, di sisi lain masyarakat terus menyuarakan aspirasinya melalui saluran-saluran digital yang ada di genggaman.
Fachry melihat aktivitas dunis digital masyarakat itu sebagai sesuatu yang bukan produktif menghasilkan voice, tapi sebaliknya, justru berisik membuat noise.
“Pasar dari ide itu semakin digaduhkan. Diramaikan, tetapi sekaligus digaduhkan oleh situasi-situasi ini di dalam keadaan literasi yang sangat terbatas dari masyarakat kita. Karena itu, hiburan (seperti mempermasalahkan ijazah Jokowi) menjadi sangat penting,” tandasnya.
Leave a Reply