“Ada spekulasi pejabat BUMN kini tak bisa disentuh Komisi Pemberantasan Korupsi, karena dikecualikan sebagai bukan penyelenggara negara. Pertanyaannya bukan hanya mengapa, tapi siapa yang memberi mereka kekebalan? Jawabannya adalah DPR dan pemerintah. Mereka mengesahkan undang-undang BUMN. Mereka pula yang mencabut status penyelenggara negara dari para pengelola uang rakyat. Ini sudah bukan soal hukum semata, ini soal desain kekuasaan. Ketika hukum dibuat untuk melindungi elit dan bukan untuk melayani rakyat, di situlah demokrasi dan negara hukum bisa digerogoti dari dalam,”
Pejabat Badan Usaha Milik Negara (BUMN), termasuk anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas tak lagi disebut sebagai penyelenggara negara, mengacu pada Undang-Undang No 1 Tahun 2025 tentang BUMN hasil revisi yang baru saja diberlakukan akhir Februari lalu.
Hal itu menimbulkan anggapan, bahwa korupsi di tubuh BUMN jadi makin mudah dilakukan, karena para pelakunya tak lagi masuk dalam kategori pihak-pihak yang menjadi target kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Terpisah, dalam UU KPK disebutkan bahwa lembaga itu berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparatur penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang menyebabkan kerugian negara minimal Rp1 miliar.
Lantas benarkan revisi UU ini memperlebar terbukanya pintu korupsi di BUMN?

Membahas tema tersebut, Budiman Tanuredjo berdialog dengan sejumlah tokoh terkait dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (7/5/2025) yang mengangkat tema “Undang-Undang Direvisi, BUMN Leluasa Korupsi?”.
Staf khusus Menteri BUMN Arya Sinulingga membantah dengan tegas jika ada yang mengartikan revisi UU BUMN membuat para pejabat BUMN kebal dari hukum terkait isu korupsi.
Ia menyebut dimanapun pencuri akan ditangkap, entah di lembaga pemerintahan, perusahaan swasta, termasuk di perusahaan BUMN.
“Sama saja dengan di BUMN, kalau ada yang korupsi, ditangkap. Jadi kalau dikatakan bahwa korupsi di BUMN bebas, itu terlalu luar biasa pemelesetannya,” kata Arya.
Arya menjelaskan, sejak UU BUMN yang lama, kekayaan BUMN dan kekayaan negara sudah dipisah dan merupakan dua entitas berbeda. Kekayaan BUMN adalah entitas korporasi. Jika BUMN mengalami kerugian, negara tidak akan menutupnya dengan mengucurkan dana APBN. Kerugian yang timbul akan diselesaikan dengan menggunakan uang korporasi.
Jadi, Arya menganggap penghilangan status penyelenggara negara bagi pejabat BUMN di UU BUMN hasil revisi adalah sesuatu yang tepat.
“Penyelenggara negara adalah kalau dia merugikan negara, keuangan negara, itu namanya penyelenggara negara. Tapi apakah BUMN kalau rugi, merugikan negara?” tanya dia.
Anggota Komisi VI DPR dari Fraksi Partai Nasdem Asep Wahyu Wijaya sebagai salah satu pihak yang turut membahas dan mengesahkan UU BUMN yang baru menjelaskan kondisi BUMN hari ini tidak sesederhana sebelumnya. BUMN perlu didukung untuk tumbuh menjadi lebih lincah, taktis, adaptif, dan cepat.
Selain itu, pertanggungjawaban para pejabat BUMN tidak melulu dilakukan kepada atasan, tapi juga pada para pemegang saham.
“Bagaimana mungkin kemudian entitas itu dilakukan dengan cara-cara yang sangat birokratis? Saya kira ini penting juga secara substansi clear,” jelas Asep.
Karena sudah tidak lagi menjadi penyelenggara negara, sebagai salah satu ikutannya, para pejabat BUMN pun tak lagi harus melaporkan harta kekayaannya (LHKPN) pada KPK.

Mantan Komisioner KPK Saut Situmorang melihat perubahan status pejabat BUMN dari pejabat negara menjadi bukan pejabat negara menyimpan risiko yang semakin tinggi.
Ia menjelaskan bahwa sebuah bisnis, termssuk BUMN pasti mengacu pada GRC (Governance atau tata kelola, Risk atau risiko, dan Compliance atau kepatuhan) untuk mencapai tujuannya.
Jika status penyelenggara negara dihilangkan, maka akan muncul ketidakjelasan yang bisa meningkatkan risiko korupsi. Dan jika risiko-risiko ini potensinya makin tinggi, maka kepatuhan atau compliance terhadap aturan yang berlaku akan menurun.
Saut mengaku masih tak paham mengapa status penyelenggara negara dilepaskan dari para pejabat BUMN.
Iya yakin, jika UU BUMN ini diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk dilakukan judicial review maka akan ditolak. Khususnya bagian pasal yang menjelaskan para pejabat BUMN bukan lagi penyelenggara negara.
“Sudah jelas kalau Anda bicara uang negara, bahkan huruf N di BUMN itu Negara. Kalau enggak bisa diaudit, saya enggak ngerti. Uang negara ini, ini bukan uang nenek moyang kita. Jadi praktis dia harus diaudit,” ujar Saut.
Menanggapi pernyataan Saut, Arya Sinulingga membantah jika disebut tidak ada audit di BUMN. Lagi pula, menurutnya tidak masuk akal jika kejahatan korupsi hanya bisa ditindak jika KPK terlibat masuk dan bekerja. Karena di perusahaan swasta yang tidak tersentuh KPK pun kejahatan fraud tetap ditindak.
“Saya rasa Bang Saut konyol kalau mengatakan perusahaan itu kalau bukan pejabat negara maka akan bisa korupsi,” seru Arya.
Pegiat anti korupsi Sudirman Said justru heran mengapa pejabat BUMN yang notabene mengurus usaha milik negara justru dilepaskan dari status penyelenggara negara.
Korupsi atau tidak, bukan ditentukan oleh status penyelenggara negara atau bukan. Said meyakini, jika bersih maka apapun statusnya tak akan korupsi. Sebaliknya, jika niatnya sudah kotor maka apapun sebutannya kejahatan korupsi akan tetap dilakukan.
“Sebetulnya saya juga terus bertanya ketika isu ini muncul, kenapa ya kok tiba-tiba ada semangat untuk sejauh mungkin tidak menempatkan diri sebagai penyelenggara negara. Jadi menurut saya kita mesti kembalikan pada kehendak moral kita apa sebetulnya. Kalau kehendak moral kita adalah mengurus segala sesuatu yang milik rakyat, milik negara dengan punuh amanah, semakin banyak rambu-rambu, semakin aman. Bukan dengan semakin mengurangi rambu-rambu,” jelas Dirman.
Yang jelas, penyelenggara negara ataupun bukan, jika seseorang melakukan pelanggaran maka akan tetap diproses secara hukum. Tidak ada istilah kebal hukum, sekalipun tak lagi menjadi penyelenggara negara.
Revisi UU BUMN Dikebut?
Sudirman Said menganggap proses pembahasan revisi UU BUMN begitu cepat hingga akhirnya disahkan. Namun hal itu dibantah oleh Arya Sinulingga yang menjelaskan bahwa proses ini sudah disiapkan sejak lama, berjalan selama 3 tahun.
Waktu persiapan yang cukup panjang diperlukan lantaran bukan perkara mudah untuk menggabungkan 144 BUMN menjadi 40-an BUMN yang tersisa saat ini.
“BUMN dari 144 BUMN tahun 2019, sekarang tinggal 41 BUMN, merger holding dan sebagainya. Enggak mungkin buru-buru. Perusahaan di merger susah banget. Dari 44 BUMN tinggal 41 BUMN. Itu proses selama 5 tahun. Dan dalam proses ini dibikinlah undang-undang itu bersama teman-teman DPR,” papar Arya.
Soal proses pembahasan hingga pengesahan yang relatif terbilang cepat, Arya menjelaskan revisi UU BUMN bahkan sudah dimulai di DPR sejak periode sebelumnya dan ini merupakan proyek carry over atau kelanjutan dari periode DPR sebelumnya.

Namun jawaban itu buru-buru dipotong oleh mahasiswa Universitas Indonesia yang menjadi pemohon uji materi Undang-Undang BUMN, Abu Rizal Biladina.
Rizal mempertanyakan soal status carry over revisi UU BUMN dari DPR periode sebelumnya ke periode saat ini.
“Saya dapat di SK 64-nya. Ini bisa di zoom mungkin, di SK DPR di nomor 109 itu tidak ada keterangan carry over di BUMN,” ujar Riza.
Arya pun menjelaskan SK DPR itu soal kepentingan. Jika ada kepentingan lain yang dirasa lebih diperlukan untuk Negara, maka akan didahulukan.
Ia menyebut sejak 2019-2024 DPR khususnya di Komisi VI sudah mengerjakannya. Semua tercatat dengan baik. Hanya saja tidak selesai di era pemerintahan Joko Widodo dan baru beres di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto.
“Saya berani jamin sama Anda. Saya taruhan sama Anda pun berani bahwa itu sejak 2019. Anda copot UI Anda, saya copot staf khusus saya, berani,” Arya menantang Rizal untuk adu bukti.
Leave a Reply