Korupsi Yudisial dan Kegagalan Reformasi Hukum

Budiman Tanuredjo

Dunia peradilan Indonesia kembali terguncang. Serial jual-beli vonis hakim menandakan robohnya pilar kekuasaan kehakiman Indonesia. Beberapa waktu sebelumnya, kita juga mendapati skandal mafia peradilan paripurna yang melibatkan jaksa Pinangki Sirna Malasari, advokat, polisi, dan pengusaha Djoko S Tjandra.

Jika rangkaian skandal ini tak secara serius ditangani, kegagalan negara Indonesia modern yang pernah disampaikan Prabowo Subianto sebelum menjadi presiden bisa saja menjadi kenyataan.

Publik terenyak saat bekas pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, diadili atas tuduhan menjadi makelar kasus dengan terdakwa Ronald Tanur.

Di rumah Zarof, menurut Kejaksaan Agung, ditemukan uang hampir Rp1 triliun dan logam mulia. Namun, di proses persidangan, asal-usul uang Rp1 triliun seakan disamarkan.
Tuduhan jaksa kepada Zarof menjadi gratifikasi. Mengapa bukan suap? Mengapa tidak dilacak asal-usul uang Rp1 triliun tersebut? Mengapa tidak dijerat dengan tindak pidana pencucian uang?

Ketika kasus Zarof masih dalam proses persidangan, empat hakim di Pengadilan Jakarta Selatan ditangkap Kejaksaan Agung. Mereka dituduh menerima suap sebesar Rp60 miliar dari korporasi sawit sebagai imbalan atas putusan lepas yang membebaskan terdakwa dari semua tuntutan pidana. Selain hakim, juga ditangkap panitera dan advokat. Ini bukan kasus yang berdiri sendiri. Ini adalah gejala dari masalah yang lebih dalam, yakni kegagalan sistemik institusi yudisial Indonesia dan kemunculan mafia peradilan yang beroperasi di balik layar negara. Ini adalah โ€peradilan bayanganโ€. Kita tidak hanya sedang menyaksikan korupsi, tetapi juga erosi kepercayaan publik dan supremasi hukum.

Sistem kolusi

Dalam bukunya, Judicial Dysfunction in Indonesia, Simon Butt (2023) menulis bahwa pengadilan di Indonesia mengalami disfungsi institusional yang mengakar. Suap, kolusi, dan jual beli perkara telah menjadi praktik rutin, dari pengadilan tingkat pertama hingga Mahkamah Agung dan pernah menyentuh Mahkamah Konstitusi. Butt menilai bahwa reformasi pasca-Soeharto, seperti pembentukan pengadilan tipikor dan lembaga pengawasan yudisial, gagal memberantas akar masalahnya, yaitu jaringan korupsi yang bertahan di dalam tubuh peradilan.

Ilustrasi korupsi, kolusi, dan nepotisme.

Lembaga pengawas internal, seperti Komisi Yudisial dan Badan Pengawas Mahkamah Agung, sering kali tidak efektif, bahkan turut terlibat. Mahkamah Agung terlalu normatif dalam menyikapi penangkapan hakim dengan pernyataan, โ€menghormati proses hukumโ€.
Selayaknya, jika merasakan ada sense of crisis, Mahkamah Agung membentuk tim gabungan untuk membongkar jaringan mafia peradilan yang beroperasi di lingkungan peradilan dan membersihkannya. Sebab, kasus ini bukan yang pertama!

Sebelumnya, Prof Gary Good-paster, Guru Besar Emeritus University of California Davis, Amerika Serikat, menulis, โ€Sistem hukum Indonesia tak bisa dipercaya-sungguh, tidak bisa digunakan untuk memberikan keputusan yang jujur, tetapi boleh jadi bisa dipercaya untuk melindungi kegiatan-kegiatan korup.โ€ Gary menuliskan pandangan saat memberi pengantar buku suntingan Prof Tim Lindsey. (Kompas, 24/9/2022).

Sebastian Pompe dalam The Indonesian Supreme Court: A Study of Institutional Collapsememberikan kritik sosiologis yang tajam. Ia menggambarkan Mahkamah Agung mengalami โ€keruntuhan diam-diamโ€; bukan melalui kehancuran dramatis, melainkan melalui korosi perlahan akibat politik patronase, budaya diam, dan relasi kekuasaan informal.

Menurut Pompe, banyak hakim bekerja dalam lingkungan tertutup, tempat senioritas dan loyalitas lebih dihargai daripada integritas atau kualitas hukum. Ia memperingatkan bahwa reformasi tidak akan berhasil tanpa perubahan nilai dan budaya kelembagaan.

Kepemimpinan Ketua Mahkamah Agung Sunarto, hakim agung yang relatif bersih, diuji justru saat terjadi krisis. Kepemimpinan Sunarto dan Presiden Prabowo yang akan genap enam bulan diuji bukan pada saat bulan purnama, melainkan justru saat bumi disambar petir mafia untuk meruntuhkan fondasi negara hukum.

Situasi saat ini dapat dianggap sebagai โ€critical junctureโ€ dalam sistem peradilan. Skandal korupsi yang melibatkan bekas pejabat tinggi Mahkamah Agung dan hakim-hakim pengadilan menunjukkan adanya peluang untuk melakukan reformasi mendalam. Keputusan yang diambil oleh aktor politik dan hukum dalam periode ini akan menentukan arah dan kualitas institusi peradilan Indonesia di masa depan.

Budaya impunitas

Kasus Zarof Ricar dan empat hakim PN Jaksel memperkuat apa yang telah lama diungkapkan para pemikir tersebut. Sistem hukum Indonesia bukan hanya korup, melainkan telah dikuasai dari dalam. Dalam kasus Zarof, jumlah uang yang ditemukan menimbulkan pertanyaan besar: siapa yang menjadi sumber dana ini?

Apakah pejabat lain melakukan hal serupa? Ke mana uang itu mengalir? Mengapa proses persidangan seakan melokalisasi kasus Zarof hanya gratifikasi? Bukan suap?
Dalam kasus hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, jumlah suap diduga mencapai puluhan miliar rupiah. Ini bukan transaksi kecil.

Ini menunjukkan adanya operasi sistemik yang melibatkan lebih dari satu aktor; mungkin termasuk pengacara, panitera, dan pihak korporasi sebuah kartel yudisial.

Selama dua dekade terakhir, Indonesia telah mencoba berbagai reformasi yudisial. Namun, sistem tetap rapuh. Apakah ini suatu gejala kelelahan reformasi, ataukah reformasi itu sendiri tidak pernah benar-benar berakar?

Reformasi hukum di Indonesia terlalu fokus pada desain institusi formalโ€”pembentukan lembaga baru, aturan etik baru, dan pengadilan khusus. Namun, ia mengabaikan jaringan informal kekuasaan, norma sosial, dan campur tangan politik yang justru merongrong institusi itu.

Akibatnya, pengadilan kita justru berjalan dalam mode korupsi sebagai praktik default. Penunjukan hakim tidak transparan. Penanganan perkara bisa dimanipulasi. Dan, putusan pengadilan dapat ditebak bukan dari dasar hukum, melainkan dari siapa membayar siapa.b

Pengalaman Georgia

Salah satu negara yang bisa menjadi inspirasi adalah Georgia. Awal 2000-an, pasca-Revolusi Mawar, Georgia melakukan reformasi radikal terhadap sistem peradilannya.
Banyak hakim korup diberhentikan, sistem perekrutan dan promosi dibuat transparan, dan gaji hakim dinaikkan signifikan untuk mengurangi godaan suap.

Yang tak kalah penting, Georgia menerapkan transparansi digital, seperti penunjukan perkara secara acak, publikasi putusan secara daring, dan sistem e-court. Masyarakat sipil dilibatkan secara aktif dan ada komitmen politik yang kuat untuk menantang kepentingan-kepentingan lama.

Ilustrasi masa aksi menggelar revolusi. Image by Freepik.

Meski menuai kritik atas dugaan sentralisasi kekuasaan eksekutif, pengalaman Georgia menunjukkan bahwa reformasi cepat dan tegas dapat menghasilkan perubahan jika didukung kemauan politik, tekanan publik, dan perlindungan kelembagaan.

Pelajaran bagi Indonesia: inkrementalisme saja tidak cukup dalam menghadapi korupsi yudisial yang mengakar. โ€Bersih-bersih totalโ€ mungkin diperlukan untuk memulihkan kepercayaan publik.

Beberapa langkah krusial perlu dipikirkan, misalnya kepemimpinan visioner. Pertama, perlu figur di pucuk lembaga yudisial yang tak hanya bersih, tetapi punya keberanian memutus jejaring patronase.

Kedua, perekrutan meritokrasi dan rotasi hakim. Sistem penunjukan dan mutasi harus berbasis kinerja dan transparansi untuk mencegah terbentuknya kartel internal.

Ketiga, sistem digitalisasi penanganan perkara yang transparan. Pergerakan perkara, mutasi hakim, dan laporan kekayaan harus bisa dipantau secara real-time.

Keempat, pengawasan sipil. Akademisi harus aktif memantau dan mengkritisi putusan yang mencurigakan.

Kelima, pendidikan etika dalam fakultas hukum di perguruan tinggi. Pendidikan hukum perlu menanamkan etika publik dan tanggung jawab sosial, bukan sekadar teori pasal. Namun, itu membutuhkan keteladanan kepemimpinan.

Keenam, memasukkan ke dalam daftar hitam para advokat penyuap agar tidak lagi bisa berpraktik.

Titik balik atau titik jatuh?

Indonesia berada di persimpangan penting. Jika pengadilan tak lagi dipercaya sebagai tempat mencari keadilan, rakyat akan beralih pada main hakim sendiri, sinisme, atau apatisme terhadap demokrasi.

Skandal terbaru ini jangan dianggap sebagai kebetulan. Ini bagian dari pola. Peradilan telah berubah menjadi arena perdagangan kekuasaan, bukan tafsir hukum. Jika dibiarkan, ini bisa menghancurkan keseluruhan kerangka negara hukum.

Simon Butt dan Sebastian Pompe telah menawarkan diagnosis yang tajam. Butt menekankan perlunya reformasi sistemik. Pompe mengingatkan bahwa tanpa perubahan budaya, reformasi akan mandek. Prabowo Subianto sebelum menjadi presiden pernah menyebut Indonesia bisa menjadi โ€negara gagalโ€ pada 2030.

Pernyataan itu kini terasa relevan. Jika institusi penegak hukum tidak mampu menjalankan mandat keadilan, kita tengah menyaksikan bukan hanya krisis hukum, melainkan juga krisis kebernegaraan. Negara hukum yang tak mampu menjamin keadilan bagi warganya perlahan menjelma menjadi negara gagal.

Pertanyaannya: apakah negara, masyarakat sipil, dan kalangan hukum berani menghadapi kenyataan iniโ€”atau reformasi lagi-lagi hanya akan menjadi dekorasi? Jika peradilan runtuh, ide tentang keadilan pun runtuh. Dan, tanpa keadilan, demokrasi hanya akan menjadi ritual kosong.

(Artikel ini telah dimuat di Harian Kompas, 22 April 2025)


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *