Membaca Tuntutan Purnawirawan TNI dari Kacamata Tokoh Amandemen UUD 1945

“Sebetulnya di satu pihak memang ada suatu patriotisme tetapi di lain pihak ada kekurangan pemahaman tentang sejarahnya,”

โ€”Arsitek amandemen UUD 1945 di tahun 2002, Jakob Tobing

Belum lama ini ratusan purnawirawan TNI yang tergabung dalam Forum Purnawirawan TNI menandatangani 8 tuntutan terkait sejumlah hal berkenaan dengan politik kenegaraan.

Mereka terdiri dari 103 Jenderal dari kesatuan darat, laut, dan udara, kemudian73 Laksamana, 65 Marsekal, dan 91 Kolonel.

Dari 8 poin yang dikemukakan, ada dua tuntutan yang menjadi perbincangan banyak pihak. Keduanya adalah udulan kembali ke UUD 1945 yang asli dan penghentian Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.

Bersama Jakob Tobing, politisi senior yang menjadi salah satu arsitek proses amandemen UUD 1945 di tahun 2002, Budiman Tanuredjo mencoba mengulik isu tuntutan para purnawirawan TNI ini dari sudut pandang yang lain.

Kembali ke UUD 1945 Asli

Tuntutan pertama yang dirumuskan para Purnawirawan TNI adalah kembali ke UUD 1945 asli. “Kembali ke UUD 45 asli sebagai tata hukum politik dan pemerintah,” demikian bunyi tuntutan itu.

Terlepas dari latar belakang apa yang sesungguhnya mendorong para Purnawirawan TNI mengajukan gagasan untuk kembali ke UUD 194T asli, Jakob mencoba melihat dari sisi positifnya.

“Saya melihatnya lebih kepada mereka para pejuang dan kecintaannya kepada Republik. Jadi lebih baik kita melihatnya dari sisi positif itu, sambil kemudian kita mungkin mendudukkan persoalannya,” kata Jakob dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Ia tak ingin berburuk sangka, sepenuhnya ia meyakini jika Indonesia bisa lahir dan terus berdiri hingga hari ini tak lepas dari perjuangan para purnawirawan itu.

“Sebetulnya di satu pihak memang ada suatu patriotisme tetapi di lain pihak ada kekurangan pemahaman tentang sejarahnya,” sebut dia.

Sejarah yang ia maksud adalah keinginan Indonesia untuk bebas dari dwifungsi ABRI dan mengembalikan supremasi kepada masyarakat sipil.

Jadi, terhadap sikap keras yang mereka sampaikan, kewajiban kita adalah coba memahami emosi yang ada. Hal itu agar bisa lebih memahami tuntutan yang dikemukakan. Apa tujuannya, mengapa mereka sampaikan, dan seterusnya.

Jakob Tobing berbincang dengan Budiman Tanuredjo dalam Back to BDM.

Sejak UUD 1945 diamandemen yang ke-4 yakni pada 2002, kelompok militer tak lagi ada dalam tatanan politik. Sebelumnya, ABRI masuk dalam Utusan Golongan yang ada di MPR, pasca amandemen, utusan golongan ditiadakan, termasuk keberadaan ABRI dalam pemerintahan dan kekuasaan politik negara.

Lagi-lagi Jakob tak mau melihat hal tersebut sebagai latar belakang para purnawirawan TNI meminta kembali ke UUD 1945 asli.

“Tidak sekedar itu saya lihat, tapi memang ada unsur kecintaan. Bahwa unsur tidak terlibat langsung lagi itu mungkin satu persoalan juga, tapi saya lebih melihat kepada doktrin-doktrin kejuangan kita sebagai bangsa yang merdeka melalui perjuangan,” ujar Jakob.

“Jadi walaupun saya memang tidak setuju dengan pendapat (tuntutan) itu, tapi tidak begitu apriori, hanya mencoba memahami itu,” lanjutnya.

Menurut pemahaman Jakob, UUD 1945 asli yang dimaksud para penuntut adalah UUD 1945 di awal masa kemerdekaan sebelum diubah menjadI UUD RIS.

Namun, ia melihat jika itu dikabulkan maka akan lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya, karena UUD 1945 di masa awal Indonesia terbentuk masih menganut sistem otoriter. Sementara Indonesia saat ini adalah negara demokrasi, bahkan salah satu negara demokrasi terbesar di dunia dengan kondisi masyarakat yang begitu heterogen.

“Posisi-posisi itu coba kita perhatikan. Kembali kepada sistem otoriter yang justru disusun dengan petunjuk Jepang tahun 44-45 itu, itu kemunduran yang luar biasa,” ungkap mantan Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh RI untuk Korea Selatan itu.

Implementasi UUD 45 Hari Ini

UUD yang berlaku dan menjadi dasar hukum tertinggi di Indonesia hari ini adalah UUD hasil amandemen 23 tahun yang lalu.

Sebagai salah seorang yang turut terlibat dalam penyusunan amandemen ketika itu, Jakob merasa ada hal yang perlu dikoreksi dari implementasi UUD 1945 hari ini yang ia lihat kurang sesuai dengan yang seharusnya.

Hal itu adalah sial konsistensi implementasi UUD 194. Lebih tepatnya pada pelaksanaan pemilihan langsung untuk kepala-kepala pemerintahan daerah. Pemilihan langsung menurutnya hanya diperuntukkan bagi pemilihan anggota MPR, DPR, DPRD, dan DPD. Sementara pemilihan kepala daerah, bukan dipilih oleh rakyat melalui pemilu, namun dipilih secara demokratis oleh pemerintah pusat dengan pertimbangan masing-masing DPRD.

Disebut demokratis, karena presiden sebagai pengusul tidak bisa memaksakan kehendaknya dalam menentukan kepala daerah, dibutuhkan persetujuan dari DPRD.

Namun, tidak demikian yang terjadi hari ini. Seluruh kepala daerah kini dipilih langsung oleh rakyat dengan melakukan pencoblosan.

“Kita menginginkan pemilihannya bukan di tangan rakyat yang akhirnya main uang segala macam itu. Tapi lebih kepada DPRD-nya, lebih kepada pemerintah pusatnya. Ini kan negara kesatuan. Tapi kemudian begitu saja terus, loh kok jadi ada undang-undang tentang pemilihan kepala daerah,” ia mengaku heran.

Jakob Tobing dalam Back to BDM.

Dipilih secara langsung dan dipilih secara demokratis adalah dua terminologi yang berbeda.

Dengan dipilih secara demokratis, maka Jakob menjelaskan seorang kepala daerah tidak memiliki kekuasaan yang mutlak dalam dirinya atas daerah yang dipimpinnya, melainkan menjadi bagian dari negara kesatuan.

“Saya mau bilang apa ya? Iya (penyimpangan terhadap UUD 1945 sudah terlalu jauh),” kata pria kelahiran 13 Juli 1943 itu.

Jakob pun mengakui ada cukup banyak maksud asli dari UUD 1945 yang tidak terimplementasikan dalam praktik bernegara hari ini. Meski begitu, ia mengaku tidak menaruh kecewa, hanya saja belum bisa merasa puas.

Yang pasti, hari ini ia melihat ide-ide demokrasi yang dulu dirancang para pendiri bangsa sudah bisa mengakar di masyarakat. Itu adalah satu hal yang tidak mudah terbentuk, maka harus diapresiasi.

Demokrasi mengakar, misalnya rasa kritis uamg tumbuh di masyarakat. Sekarang kita berharap para aktivis demokrasi, para cendekiawan, dan berbagai organisasi kemasyarakatan untuk turut menumbuhkembangkan demokrasi yang sudah tumbuh akarnya ini.

Pelaksanaan demokrasi di Indonesia boleh merosot, namun nilai-nilai demokrasi yang ditanamkan sudah mulai nampak hasilnya. Nyatanya, setiap ada hal yang tidak beres kelompok muda dan para aktivis selalu lantang bersuara, turun ke jalan menyerukan kritik. Itu adalah sinyal yang baik, tanda bahwa demokrasi masih hidup.

Pergantian Wakil Presiden

Tuntutan selanjutnya dari para Purnawirawan TNI yang banyak menjadi perbincangan adalah soal usulan menurunkan Gibran dari posisi Wakil Presiden dan menggantinya dengan sosok baru.

Mengusulkan pergantian Wakil Presiden kepada MPR karena keputusan MK terhadap Pasal 169 huruf Q UU Pemilu telah melanggar hukum acara MK dan UU Kekuasaan Kehakiman,” demikian tuntutan itu berbunyi.

Terkait hal ini, Jakob melihat ada ganjalan di benak para purnawirawan menyangkut Gibran yang bisa maju menjadi calon wakil presiden ketika itu meski usianya belum memenuhi syarat yang ditentukan oleh konstitusi.

Ia bisa lolos akibat konstitusi yang berhasil diubah di MK melalui sidang yang dipimpin oleh pamannya sendiri. Hasil keputusan di MK itu kemudian juga dicap sah oleh DPR, MPR, dan seterusnya.

“Jadi secara formalitas, prosedur enggak ada masalah, tapi secara materiil, substansi kan itu tadi ada yang memersoalkan, loh dia sebetulnya belum cukup umur pada waktu itu. Mungkin itu,” jelas Jakob yang 34 tahun berpengalaman sebagai anggota DPR/MPR baik dari Partai Golkar maupun PDI Perjuangan.

BDM memberikan buku karyanya kepada Jakob Tobing.

Secara teoritis, MPR bisa-bisa saja mencopot Gibran dan menggantinya dengan orang lain, konstitusi memungkinkan hal itu untuk dilakukan MPR. Namun dalam praktiknya tidak akan semudah itu.

Soal Gibran, nyatanya tak hanya para purnawirawan TNI yang khawatir jika Gibran terus menjadi wakil dari Presiden Prabowo Subianto. Mantan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Hendro Priono, mantan Kepala BIN Sutiyoso juga memiliki kekhawatiran serupa.

Mereka hanya cemas, jika terjadi sesuatu pada Presiden Prabowo sehingga ia berhalangan tetap menjadi seorang presiden, sosok Gibran yang akan menggantikan. Sosok pemuda yang pengalaman politiknya masih begitu pendek, usianya terbilang muda, dan rekam jejak kompetensinya di bidang pemerintahan belum teruji.

Menyikapi hal itu, Jakob merespons netral. Kecemasan itu mungkin memang nyata dirasakan oleh mereka, namun tuntutan untuk menurunkan Gibran bisa saja diserukan untuk kepentingan yang berbeda-beda. Ada yang benar-benar peduli dengan masa depan bangsa, mungkin ada yang bermuatan dendam politik, bahkan ada juga yang ingin mencuri kesempatan untuk bisa menduduki posisi yang nantinya ditinggalkan.

“Kita sebagai orang yang ikut berpikir mestinya juga bisa memilah-milah. Karena mungkin yang ini kepentingannya adalah menggunakan sentimen-sentimen ini ke arah ini, yang satu sebagai orang biasa di bidang politik. Kan kita ngerti itu,” jelas pria yang menyelesaikan pendidikan doktoralnya di Leiden University itu.

Apapun itu, Jakob mengajak semua pihak untuk senantiasa mengambil hal positif dari satu isu panas yang terlempar ke publik.

Adapun soal tuntutan kembali ke UUD 1945 asli yang memungkinkan dwifungsi ABRI kembali hidup, sebisa mungkin harus bersama-sama kita hindari.

“Karena sebelum dwifungsi ada, perjuangan kemerdekaan kita adalah perjuangan rakyat semesta. Itu semua itu bukan sisi militer, itu rakyat. Modal dan kekuatan perjuangan kita jangan dikecilkan. Pada waktu kita menghadapi perang mempertahankan kemerdekaan segala macam, yang berjuang siapa? Rakyat,” pungkas Jakob.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *