“Saya tidak apriori mengatakan tidak perlu. Kalau itu pada saat dirasakan perlu, kenapa tidak? Bisa saja, enggak ada yang melarang,”
โ Arsirek amandemen ke-4 UUD 1945, Jakob Tobing
Politik adalah hal yang sangat dinamis, cair, dan penuh denfan ketidakpastian. Jangankan dulu dan sekarang, pagi dan siang saja suatu hal bisa berubah 180 derajat. Mengapa? Semua tergantung pada kepentingan yang sedang diperjuangkan.
Ya, politik dipenuhi banyak kepentingan, berbagai pihak masuk ke arena yang sama untuk mengejar kepengingannya masing-masing. Tak heran, kepentingan rakyat yang mestinya jadi pokok kerja para politisi dan pejabat pemerintahan, justru terkesampingkan karena mereka fokus memburu urusan pribadi.
Bicara soal bagaimana cairnya politik dan segala hal di dalamnya yang begitu mudah untuk dlberubah, kita menghadapi satu isu yang dulu sempat ada, kemudian ditiadakan karena banyak yang memprotes, namun kini perlahan hal itu mulai tumbuh kembali, bahkan secara tidak langsung dilegalkan melalui aturan undang-undang.
Dwifungsi ABRI, atau saat ini berubah menjadi TNI.
Dwifungsi ABRI yang dulu eksis di era pemerintahan Orde Baru, dikritik keras pada saat reformasi. Akibatnya, tentara pun tidak bisa menduduki jabatan sipil apapun, bahkan tidak dilibatkan dalam kegiatan politik di lembaga kekuasaan manapun. Tentara netral, tugasnya hanya melindungi kedaulatan negara.
Namun kini, tentara bisa menjabat sebagai menteri, tentara bisa menjadi pimpinan berbagai badan atau lembaga pemetintahan, bahkan dalam Undang-Undang TNI yang baru, tentara diperkenankan menjabat di 15 jabatan sipil, termasuk di Mahkamah Agung (MA).
Apakah ini bentuk dari kembalinya dwifungsi ABRI?

Politisi senior yang juga terlibat sebagai salah satu arsitek amandemen UUD 1945 ke-4 di tahun 2002, Jakob Tobing, tidak begitu saja yakin bahwa dwifungsi ABRI kembali melalui UU TNI yang baru.
“Kalau dia menduduki jabatan itu, dia berhenti (dari militer), itu kan cerita lain lagi. Tapi kalau menduduki jabatan dan tidak berhenti itu (inilah dwifungsi TNI). Saya rasa itu tidak ada, semuanya berhenti,” kata Jakob saat menjadi tamu dalam siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.
Namun, soal 15 jabatan sipil yang terbuka untuk dimasuki oleh militer Jakob memandang itu sebagai hal yang harus dikitisi. Hal itu lantaran kebijakan besarnya tidak demikian, militer dan sipil adalah dua kelompok masyarakat yang haknya dibedakan.
Lagi pula, Indonesia bukan negara militer, Indonesia adalah negara berbentuk republik dnegan kedaulatan tertinggi ada di tangan rakyat.
Jika TNI dianggap militer sehingga dilarang menduduki jabatan sipil, namun ada banyak anggota Polri yang diperkenankan duduk di jabatan sipil, dengan alasan mereka termasuk warga sipil. Hal itu tentu mendatangkan kecemburuan di kalangan TNI yang disadari atau tidak dijadikan alasan pembenar bagi anggota TNI yang masuk menjabat di posisi sipil.
“Itu termasuk hal yang harus dikoreksi, bukan untuk pembenaran sesuatu. (Polisi dan tentara menjabat di posisi sipil) tidak sesuai dengan tugas-tugas pokoknya,” jelas Jakob.
Baginya, keputusan untuk menjadi polisi, tentara, pegawai negeri, atau apapun itu, merupakan keputusan pribadi tiap orang. Negara tidak mengarahkan apalagi memaksakan. Semua itu adalah pilihan bebas dengan konsekuensi masing-masing.
Jadi, jika seseorang sudah memutuskan untuk masuk ke dunia militer, terima segala hak dan kewajiban sebagai seorang militer, jangan lantas iri dengan sipil. Karena sipil pun demikian, mereka hidup dengan hak dan kewajibannya sendiri dan tidak bisa mendapatkan hak-hak seorang militer.
Perlu digarisbawahi, sipil dan militer adalah dua kelompok masyarakat yang hidup dalam batasan hak dan kewajibannya masing-masing, tidak bisa dan memang seharusnya tidak diperbolehkan saling menyeberang.

Kalangan intelektual perlu turun dan mengambil peran, ketika pemerintah mulai melegalkan sesuatu yang seharusnya dibukakan jalan pun tidak boleh. Seperti revisi UU TNI beberapa bulan yang lalu yang mempersilakan anggota TNI untuk menjabat posisi di berbagai kementerian dan lembaga pemerintahan.
Jakob menyebut, para cendekiawan ini harus bersikap kritis, tidak hanya sekedar menikmati apa yang tersaji. Semua harus turut bertanggung jawab dalam posisinya masing-masing.
“Sebagai orang ahli, berpendidikan tinggi, atau mahasiswa, kalau ada yang tidak cocok ya kita bilang dong, kita sampaikan. Jangan kemudian kalau sudah terjadi baru marah-marah,” ujar pria 82 tahun itu.
Oleh karena itu, ia mengapresiasi para mahasiswa, kelompok akademisi, juga para aktivis yang selama ini tak henti berteriak lantang jika ada hal yang keliru dalam pemerintahan dan menyampaikan kritiknya demi kebaikan negara.
Sering kali suara mereka diabaikan, mungkin didengar, namun tak jadi bahan pertimbangan pengambilan keputusan. Lelah pasti mereka alami dalam bersuara. Namun, Jakob yakin amarah publik yang diabaikan dan tidak didengarkan, sedikit demi sedikit, mereka bukan hilang, tapi akan terakumulasi, dan pada satu titik bisa meledak.
UU Kepresidenan
Beralih pada Undang-Undang Kepresidenan yang selama ini tidak pernah dimiliki oleh Indonesia sebagai negara yang menganut sistem presidensial.
Presiden dan wakil presiden dalam urusan tata negara bukanlah perseorangan, presiden dan wakil presiden adalah lembaga kenegaraan yang disebut sebagai Lembaga Kepresidenan.
Bedanya, lembaga ini hingga sekarang tak juga diatur dengan undang-undang khusus. Tidak seperti lembaga negara lain yang masing-masing memiliki UU tersendiri. Misalnya MPR, DPR, DPRD, dan DPD dengan UU MD3, TNI dengan UU TNI, Polri dengan UU Polri, Dewan Pertimbangan Presiden dengan UU Wantimpre, dan seterusnya.
Berbagai pihak sebenarnya sudah mendesak untuk segera dibentuk dan disahkannya UU Kepresidenan sejak awal reformasi bergulir. Sayangnya, hingga hari ini UU yang diharapkan belum juga direalisasikan padahal Indonesia sudah dipimpin oleh sosok-sosok Presiden yang silih berganti.

Sebagai orang yang saat ini berada di eksternal pemerintahan, Jakob bersikap netral. Ia menilai UU itu bisa saja dibuat jika memang dirasa perlu. Namun jika tidak, maka tidak ada kewajiban pada diri DPR juga pemerintah untuk membuatnya.
Lagi pula, sedikit banyak aturan soal Presiden dan wakil presiden sudah tercantum dalam konstitusi. Misalnya soal batas usia, masa jabatan, aturan soal kemungkinan dipilih kembali, dan sebagainya
“Itu sebetulnya tinggal masalah apakah kita merasa perlu ada undang-undang atau tidak. Saya tidak apriori mengatakan tidak perlu. Kalau itu pada saat dirasakan perlu, kenapa tidak? Bisa saja, enggak ada yang melarang,” tegas politisi senior asal Riau itu.
Secara pribadi, ia belum melihat urgensi UU Kepresidenan saat ini. Namun kembali lagi, ia tidak berada dalam sikap menentang atau mendukung UU Kepresidenan. Jika dirasa perlu, silakan susun.
“Misalnya yang mengatur rumah tangga, jangan sampai kehidupan rumah tangganya jadi (tercampur) dengan fungsi kepresidenannya. Menjadi bentrokan gitu ya, why not?,” kata pria yang 34 tahun duduk sebagai anggota DPR/MPR itu.
Soal mengapa hingga hari ini UU Kepresidenan Tak kunjung jadi, Jakob memerkirakan karena alasan cakupan UU yang terlalu luas, kurang spesifik.
Ia juga memberikan satu saran kepada pihak-pihak yang menginginkan terbentuknya UU Kepresidenan. Saran itu adalah, jika ingin sesuatu konsepnya harus jelas, tawarkan ide itu pada orang lain dan galang dukungan, kumpulkan suara.
“Tidak semua yang kita pikir itu harus jadi aja. Harus menggalang dukungan dan harus mampu menawarkan ide-ide ini, sehingga memperoleh dukungan. Itulah politik. Tidak berasumsi ada dalam posisi kalau kami minta harus jadi. Ya enggak dong,” pungkas Jakob.
Leave a Reply