“Kita bisa lakukan evaluasi terhadap hal-hal yang mungkin perlu diperbaiki, tapi mungkin menurut saya tidak kembali ke versi yang asli. Karena yang asli itu seperti dikatakan Bung Karno dulu, itu adalah sifatnya Undang-Undang Dasar revolusi. Jadi memang sementara, nanti kalau kita sudah merdeka, kita buat lagi Undang-Undang Dasar yang baru, yang lebih sempurna sesuai dengan tuntutan zaman,”
โ Pengamat Hukum Tata Negara, Satya Arinanto
Forum Purnawirawan TNI menyampaikan 8 tuntutan terkait sejumlah hal seputar pemerintahan. Dari 8 poin tuntutan, salah satu yang paling mengundang perhatian adalah soal usulan mengganti Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Selain itu, putusan yang ditandatangani oleh ratusan purnawirawan jenderal itu juga menuntut agar Undang-Undang Dasar 1945 yang sekarang berlaku (amandemen ke-4) dikembalikan ke versi asli. Tuntutan itu menjadi tuntuan pertama yang mereka rumuskan.
“Kembali ke UUD 1945 asli sebagai tata hukum politik dan tata tertib pemerintahan,” demikian isi tuntutan tersebut.

Dipandu oleh jurnalis senior Budiman Tanuredjo, sejumlah tokoh bergabung dalam Satu Meja The Forum KompasTV (30/4/2025) dan memberikan pandangannya terkait usulan para purnawirawan TNI itu.
Mantan Komandan Pusat Polisi Militer (Danpuspom) ABRI Mayjen (Purn.) Syamsu Djalal membenarkan hal itu. Bagi ia dan teman-teman purnawirawan lainnya, kita harus berpedoman kepada UUD 1945 dalam bernegara. Tidak soal apakah UUD 1945 versi lama atau amandemen.
Yang pasti, Forum Purnawirawan TNI sepakat bahwa pemilihan Presiden dan Wakil Presiden semestinya dikembalikan pada Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) seperti sedia kala.
“MPR itu kan lembaga tertinggi. Nah, ini sekarang diubah DPR (jadi lembaga tertinggi). Ada apa DPR? DPR itu orang-orang semuanya apa?,” ujar Djalal.
Direktur Eksekutif Indikator Politik Burhanuddin Muhtadi menyebut usulan ini bukan barang baru di Indonesia. Beberapa waktu sebelumnya, Presiden Prabowo juga pernah meminta hal yang sama, kembali ke UUD 1945 asli di mana hak politik rakyat untuk memilih presiden dan wakil presiden dikembalikan pada MPR.
Namun, jika hal itu benar dilakukan akan menimbulkan gejolak besar di masyarakat kita yang notabene sudah tidak memiliki hak apapun dalam politik, kecuali hak suara.
“Saya meminjam istilah para ilmuwan, itu the last line of defense. Jadi, buat rakyat itu semua hak merasa sudah diambil sama elit. Satu-satunya hak yang mereka punya adalah hak untuk memilih pemimpin. Dan kalau misalnya itu diambil juga, dugaan saya akan semakin besar kontroversi dari publik. Dan itu mungkin akan membuat para elite, termasuk Presiden berpikir ulang untuk misalnya mengembalikan proses pemilihan ke MPR,” demikian Burhanudin menduga.
Terlebih, Presiden Prabowo sudah pernah menunjukkan sikap “mengalah” ketika kehendak rakyat menentang putusan pemerintah. Dalam hal ini ketika DPR hendak menyabotase putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait Pilkada yang dianggap reformis, namun rakyat tidak menghendakinya dan melakukan demonstrasi besar-besaran.
Pengamat Hukum Tata Negara Satya Arinanto menjelaskan UUD 1945 pernah mengalami 4 kali perubahan. Mulai dari UUD 1945 asli menjadi Konstitusi RIS 1949, kemudian berubah menjadi UUDS 1950, kembali lagi ke UUD 1945 lama, terakhir menjadi UUD 1945 pasca reformasi sampai saat ini.
“Secara teoritis kalau saya lihat mereka itu (perubahan UUD 1945) kecuali yang kembali itu yaโ yang kembali itu kan karena ada kegagalan di konstituante pada waktu ituโ secara umum itu ke hal yang ke depan, kembali lagi tidak ke teks yang lama,” jelas Satya.
“Karena Bung Karno sendiri dulu kan mengatakan bahwa Undang-Undang Dasar 45 itu Undang-Undang Dasar Revolusi, revolutie groundwet kata beliau. Nanti kalau kita sudah merdeka, kita bikin lagi yang baru, padahal beliau yang termasuk pembuatnya,” lanjutnya.

Anggota Dewan Penasihat PSI yang juga seorang aktivis anti korupsi, Irma Hutabarat menganggap usulan kembali ke UUD 1945 asli ini tidak urgen untuk dilakukan saat ini. Baginya, Indonesia memiliki masalah yang jauh lebih penting untuk segera diselesaikan dan mendapat perhatian lebih besar, yakni korupsi.
Irma menganggap demokrasi di Indonesia sudah pernah ada di tahap berhasil, damai, dan dihargai oleh dunia internasional. Pada intinya kondisi demokrasi kita masih jauh lebih baik ketimbang negara lain di dunia.
“Kita tidak boleh melupakan bahwa masalah kita yang utama itu adalah masalah korupsi yang masih terjadi. Dan kita harus mengakui bahwa dari the index corruption perception itu kita masih di yudikatif dan juga di legislatif. Artinya kita harus memberi perhatian yang khusus terhadap corruption ini. Apapun yang dilakukan di DPR, di MPR, maupun di lembaga-lembaga lain tidak lepas dari urusan ini (korupsi),” jelas Irma.
Ia berpikir tak akan maju suatu bangsa jika masih dipenuhi dengan tindak korupsi. Korupsi adalah akar permasalahan sebuah bangsa. Apapun permasalah yang ada di Indonesia saat ini, hulunya adalah adanya tindak korupsi yang menggerogoti tak hanya keuangan negara, tapi juga moral bangsa.
Korupsi di Indonesia sudah demikian parah, nominal uang yang dikorupsi pun kian tak masuk akal. Ribuan triliun rupiah. Bagi Irma, mengesahkan UU Perampasan Aset Koruptor menjadi lebih penting ketimbang kembali ke UUD 1945 yang lama.
Ketua Badan Pengkajian MPR Andreas Hugo Pareira menyebut saat ini MPR tidak ada pada jalur untuk kembali ke UUD 1945 lama, karena menimbang potensi kemarahan yang akan terjadi pada rakyat. Presiden pun tak akan mengambil risiko itu, risikonya terlalu besar.
“Ketika DPR ketika itu Baleg mau mengubah Undang-Undang Pilkada, tapi dengan respon luar biasa dari rakyat, karena mereka merasa bahwa inilah apa yang sudah mereka punya, yang lain semua sudah terbagi ke elite-elite politik melalui proses pemilu. Jadi hak dasar mereka sebagai rakyat itu kalau diambil lagi akan menimbulkan reaksi. Situasi itu mungkin berbeda dengan ketika Bung Karo dulu di Dekrit Presiden,” ungkap Andreas.
Bangsa Ini Harus Apa?
Di tengah kondisi negara saat ini yang menghadapi begitu banyak permasalahan ekonomi, geopolitik, korupsi, ditambah adanya tuntutan dari purnawirawan TNI untuk mengembalikan Konstitusi ke UUD 1945 asli, apa yang harus dilakukan oleh pemerintah dan bangsa ini?
Satya Arinanto menyebut kita harus tetap menjalankan sistem demokrasi yang selama ini sudah berjalan. Tuntutan perubahan pasti akan ada, itu hal yang wajar. Perbaiki apa yang perlu dan bisa diperbaiki, tapi tidak harus kembali ke UUD 1945 asli.
“Kita bisa lakukan evaluasi terhadap hal-hal yang mungkin perlu diperbaiki, tapi mungkin menurut saya tidak kembali ke versi yang asli. Karena yang asli itu seperti dikatakan Bung Karno dulu, itu adalah sifatnya Undang-Undang Dasar revolusi. Jadi memang sementara, nanti kalau kita sudah merdeka, kita buat lagi Undang-Undang Dasar yang baru, yang lebih sempurna sesuai dengan tuntutan zaman,” jelas Satya.
Burhanudin berpandangan bahwa kita harus memahami tuntutan para purnawirawan itu sebagai bentuk keprihatinan mereka terhadap kondisi nasional kita. Dan itu sah-sah saja, ketika satu kelompok masyarakat tertentu menyuarakan pandangan dan keinginannya, entah itu bermuatan politik ataupun tidak.
Namun, yang paling utama adalah tetap fokus pada permasalah utama yang dihadapi bangsa, jangan sampai abai terhadap persoalan besar yang ada di depan mata. Ia setuju dengan Irma Hutabarat, bahwa korupsi masih menjadi penyakit terparah yang tengah diidap Indonesia saat ini.
“Meskipun terlalu naif juga meminta purnawirawan untuk melakukan eksekusi isu korupsi yang begitu kuat (mendesak pemerintah mengesahkan UU Perampasan Aset misalnya), karena faktanya pemerintah sekarang kekuatannya sangat luar biasa, 81 persen di parlemen, PDI Perjuangan sendiri juga bahkan tidak segarang pada masa Pak SBY,” jelas Burhanudin.

Sayangnya, langkah tegas terhadap isu korupsi belum juga diambil oleh pemerintah hingga hari ini. Burhan melihat ada konflik kepentingan di antara elite-elite pemerintah.
Selain korupsi, Irma menambahkan masalah utama bangsa ini adalah tingginya angka pengangguran, judi online, narkoba, dan compang-camping penegakan hukum. Namun, ia menyimpulkan semua masalah-masalah itu tetap berasal dari masalah korupsi yang sudah begitu menjamur dan membudaya.
“Kita harus mengidentifikasi apa sih sebetulnya yang paling bermasalah bagi bangsa ini. Kalau saya sendiri tetap mengatakan bahwa masalah korupsi itu adalah masalah yang harus di-address oleh semua pihak, termasuk para purnawirawan yang tentu sudah khawatir soal itu,” ujarnya.
Kita ingin membenahi penegakan hukum yang rusak misalnya, tapi lembaga peradilan kita juga korup, maka apa yang bisa diharapkan? Irma menyebutnya sebagai menggantungkan harapan pada asap.
“Jadi, perampasan aset para koruptor itu adalah keniscayaan kalau menurut saya,” tegas dia.
Andreas memiliki pandangan lain soal akar permasalahan di Indonesia. Jika Irma menyebut korupsi sebagai masalah utama, Andreas justru menyebut hilangnya kepercayaan di antara elemen bangsa, baik rakyat, pemerintah, partai politik, ormas, dan sebagainya yang membuat kondisi menjadi runyam.
“Saya melihat satu hal persoalan dan itu merepresentasikan apa yang kita hadapi sekarang, yaitu trust, kepercayaan. Jadi ada kecenderungan kita saling tidak percaya sekarang. Ini berbahaya,” sebut Andreas.
“Saya kira mengembalikan itu dan mencari akar persoalan dari trust. Saya kira itu yang seharusnya kita lakukan,’” imbuhnya.

Syamsu Djalal sepakat bahwa korupsi menjadi permasalahan utama yang harus segera diselesaikan oleh pemerintahan Prabowo-Gibran. Ia mengusulkan, kurangi jumlah partai politik yang ada di Indonesia, karena partai politik menjadi salah satu jembatan korupsi itu terjadi.
“Terus terang saja kita harus lihat partai politik. Partai politik itu kalau harus dihilangkan sekali enggak mungkin, mungkin dikecilin, mungkin dua partai, tiga partai, (sama seperti) waktu sama Pak Harto. Karena apa, siapa Anda, mau jadi apa, walikota, anggota DPR, ada ini (uang) enggak? Semuanya bayar, enggak ada yang free.Dan itu untuk jadi walikota berapa? Untuk jadi bupati berapa? Untuk jadi presiden apalagi?,” ungkap Djalal.
“Maka partai politik harus diperkecil. Kalau enggak mau dihapus semuanya, di kecilkan. Jangan sebanyak sekarang, berapa puluh partai politik itu menyebabkan korupsi juga. Mau jadi apa semua harus bayar, pungkasnya.
Leave a Reply