Budiman Tanuredjo
Sahabat saya, Sukidi Mulyadi PhD, mengirim tautan berita. Berita itu berjudul: Mahfud MD Dorong RUU Kepresidenan Cegah โAbuse of Power.โ Saya setuju dengan pesan atau agenda tersebut. Membahas gagasan UU Kepresidenan lebih penting daripada membahas usulan โSolo Jadi Daerah Istimewaโ.
Saatnya masyarakat sipil punya agenda tersendiri untuk memperbaiki tatakelola negeri ini yang kerusakannya hampir sempunya. Mendesakkan RUU Kepresidenan adalah salah satunya. Jika masyarakat sipil tak punya agenda tunggal, publik akan diombang-ambingkan oleh agenda elite untuk kepentingan elite, termasuk usulan โSolo sebagai Daerah Istimewa.โ Narasi berganti-ganti. Namun tidak ada yang tuntas. Isu pagar laut lenyap. Isu judi online entah bagaimana ceritanya.
Pada hari Senin, 28 April 2025, saya berbicara dengan mantan Ketua Panitia Adhoc I BP MPR Jakob Tobing untuk di kanal Youtube saya. Saya bertanya soal perlunya UU Kepresidenan yang tidak diperintahkan konstitusi untuk dibuat. Jakob menjawab diplomatis. โSilakan diperjuangkan. Pertajam konsepnya dan galang dukungan. Itulah politikโ ujar Jakob Tobing.
Isu RUU Kepresidenan adalah isu lama. Saat reformasi, DPR sudah membuat RUU Inisiatif soal Kepresidenan. Namun, Presiden yang berkuasa tidak mau. Atau menunda-nunda. Dengan berbagai alasan. Jika kita lihat dokumentasi Kompas 29 Juni 2002: โFraksi PKB Minta RUU Lembaga Kepresidenan Ditunda.โ Presiden berganti. Giliran Presiden Megawati Soekarnoputri meminta agar pembahasan RUU Kepresidenan ditunda sampai selelesainya amandemen UUD 1945. Perubahan UUD 1945 telah empat tahap dijalani. Dan sudah selesai. Kompas 30 Januari 2004 Kompas menulis: โRUU Lembaga Kepresidenan Tiga Presiden Tidak Juga selesai.โ

Kalau sampai sekarang, sudah enam presiden. Tapi tak kunjung dibahas juga. Jawabannya: tak ada kehendak politik dari Presiden berkuasa. Bagaimana Presiden Prabowo? Kita tidak tahu. Prabowo adalah presiden yang sudah selesai dengan dirinya sendiri. Secara intelektual, tak meragukan intelektualitas Presiden Prabowo. Secara politik, posisi politik Presiden Prabowo sangat-sangat kuat. Sehingga jika ada harapan, Presiden Prabowo mengambil inisiatif untuk membahas RUU Kepresidenan sangat masuk akal.
Gagasan lama soal perlunya UU Kepresidenan muncul dari satu kegelisahan. Kekuasaan presiden terlalu luas, terlalu cair, dan terlalu pribadi. Hampir tanpa kontrol. Dalam diri Presiden, melekat jabatan sebagai kepala pemerintahan, jabatan sebagai kepala negara, sebagai panglima tertinggi atas angkatan, sebagai ketua umum partai politik, sebagai kepala keluarga. Satu posisi banyak tangan.
Pada era kuat-kuatnya Orde Baru, seorang Presiden dehem saja sudah banyak tafsir atas dehem itu. UUD 1945 tidak menjelaskan: dalam jabatan apa ketika presiden menggunakan pengaruhnya untuk meng-endorse keluarganya untuk jabatan politik. Di tingkat nasional atau lokal. Untuk menempatkan orang-orang yang sudah berjasa secara politik untuk jabatan komisaris, duta besar, atapun penasihat atau staf khusus. Nepotisme dan koncoisme lebih kentara daripada meritokrasi.
Pertimbangan lainnya adalah soal kesetaraan dengan lembaga negara lain. Jika DPR, MPR mempunyai UU MPR, DPR dan DPD (UU MD3), jika Gubernur dan Kepala Daerah dipayungi UU Pemda, jika MA dan MK diwadahi UU MK dan MA, mengapa UU Kepresidenan harus diistimewakan. Apakah cukup diatur dalam pasal-pasal dalam konsitusi yang masih sangat umum.
Periode โLame Duckโ
Ada satu celah yang berbahaya tapi tidak pernah dibicarakan yakni masa โlame duckโ presiden. Saat hasil pemilu sudah jelas, tapi masa jabatan belum selesai. Pada situasi itu, Presiden sudah โsetengahโ kehilangan mandat politik. Tapi masih memegang semua tombol kekuasaan. Bagaimana jika tiba-tiba Presiden melebarkan organisasi, menunjuk orang dalam posisi srategis? Bukankah itu bisa meninggalkan โranjauโ bagi Presiden berikutnya?
Sejarah menjadi guru penting bagi bangsa ini. Kita tak mungkin menggantungkan pada moralitas kekuasaan, mengantungkan pada etika kekuasaan, mengandaikan dipegangnya pada prinsip negara hukum. Sejarah telah membuktikan demi dan untuk kerabat, aturan bisa diubah dan disesuaikan agar sesuai dengan kehendak ekuasaan. Dalam praktinya, apa yang pernah dikatakan Raja Perancis Louis XIV (1643โ1715): โnegara adalah sayaโ, secara samar-sama terjadi di negeri ini.
UU Kepresidenan, mungkin adalah jawaban atas perilaku kekuasaan. Karena kita tak mungkin menyerahkan pada kesadaran pribadi seorang presiden. UU Kepresidenan paling tidak akan mengatur posisi presiden sebagai kepala pemerintahan, sebagai kepala negara, sebagai penguasa tertinggi atas angkatan, sebagai ketua partai dan sebagai kepala keluarga. UU Kepresidenan bisa mewadahi desain kelembagaan dan personal staf khusus, utusan khusus, penasihat khusus, dewan pertimbangan presiden. RUU Kepresidenan sekaligus uga bisa mewadahi posisi mantan-mantan presiden sebagaimana The President Club di Amerika Serikat. Sebagaimana Presiden Prabowo mengutus mantan Presiden Jokowi ke Vatican untuk menghadiri pemakaman Paus Fransiskus.
Indonesia menganut sistem presidensial, tapi kenyataannya tanpa regulasi pelaksana lembaga presiden. Yang terjadi adalah presidensialisme personalis. Presidennya presidensial, tapi sistemnya menjadi personal. RUU Kepresidenan bukan soal membatasi presiden. Tapi soal menyelamatkan demokrasi ke depan. Seperti kata Montesquieu:
โPower must be checked by power.โ
Dan Bung Hatta mengingatkan:
โKekuasaan tanpa pengawasan adalah jalan menuju kezaliman.โ

Jika semua lembaga diatur lewat undang-undang, mengapa lembaga presiden dibiarkan tanpa batasan. Saya ngobrol dengan Sukidi. Dia mendukung gagasan RUU Kepresidenan yang digaungkan Mahfud MD. Namun yang lebih penting dari isu adalah ketaatan pada undang-undang. โBuat apa undang-undang dibuat, tapi tak ada keinginan melaksanakannya,โ kata Sukidi, intelektual yang pandangannya banyak dirujuk diamini elite negeri ini.
Saya kira Sukidi benarnya juga. Jika melihat UU Kementerian Negara, sudah jelas ada pelanggaran tapi ya dibiarkan saja atau dicarikan pembenarannya. Ketika UU Kementerian Negara melarang menteri rangkat jabatan, tapi ketika jabatan dirangkap, ya dibiarkan saja. DPR pun pura-pura tidak tahu, ormas pun masa bodoh. ***
Leave a Reply