“Pada saat lembaga peradilan tidak diyakini bisa menjalankan tugas dan fungsi dengan baik, kemana lagi masyarakat harus mencari keadilan? Sekarang sudah kita lihat makin banyak dan makin sering kita jumpai lawless society, chaos di mana-mana. Karena mereka enggak yakin, kalau kasus ini saya bawa ke ranah hukum, pelanggaran itu saya ajukan ke pengadilan, apakah saya akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan,
โAdvokat Senior, Tony Budidjaja
Sistem peradilan di Indonesia tidak bersih di berbagai tingkatannya bukan merupakan rahasia umum. Banyak orang sudah mengalaminya sendiri ketika harus berurusan dengan hukum, atau setidaknya mendengar kesaksian dari orang terdekatnya tentang apa yang terjadi di balik sebuah putusan.
Di pemberitaan nasional pun, kabar menggelikan dari dunia peradilan kerap dipertontonkan ke publik. Bagaimana hakim disuap puluhan miliar demi meringankan bahkan menghapuskan vonis seseorang atau kelompok tertentu. Bagaimana oknum-oknum di lembaga yudikatif ternyata juga turut bermain dengan menjadi makelar untuk memperjualbelikan hukum.
Tak hanya oknum-oknum di kekuasaan kehakiman yang harus disorot, semua kejahatan hukum ini tentu juga tak bisa dilepaskan dari peran masyarakat atau pihak yang berperkara yang menggunakan jan pintas demi mendapat kemudahan di meja persidangan.

Advokat senior Tony Budidjaja pun melihat realitas yang sama. Bahkan, ia prihatin dan sedih atas maraknya kejahatan-kejahatan hukum yang dilakukan justru oleh para penegak hukum itu sendiri.
Namun, dalam siniar Back to BDM di YouTube Budiman Tanuredjo, Tony yang hampir 30 tahun berkecimpung di dunia hukum menyebut hal semacam ini sudah ada sejak awal ia bekerja, bahkan masa-masa sebelumnya.
“Sejak momen pertama saya praktik dengan hukum, saya sudah mendengar, saya sudah melihat, dan bahkan mengalami sendiri praktik-praktik di mana peradilan dan hukum bisa diperjualbelikan,” kata Tony.
Dunia hukum ia sebut memiliki tradisi-tradisi yang tidak baik. Misalnya kebiasaan meminta dan memberi insentif tertentu saat mengurus perkara. “Uang rokok”, “uang semir”, “uang pelicin”, atau sebutan-sebutan yang lainnya.
Tony yang merampungkan pendidikan masternya di Leiden University itu beberapa waktu lalu menulis sebuah artikel di Kompas. Judulnya “Kejahatan oleh Hakim”.
Judul itu ia ambil demi menegaskan, siapapun yang berbuat jahat maka disebut sebagai penjahat, sekalipun dia adalah seorang hakim, tiada pengecualian. Jangan karna dia hakim, lantas kita ragu menyebutnya sebagai penjahat.
Terlebih hakim disebut sebagai wakil Tuhan untuk memberikan keadilan di dunia. Tak hanya itu, hakim juga merupakan wakil negara untuk memberikan perlindungan dan keadilan bagi tiap warga negara.
“Apa yang terjadi kalau ternyata keadilan yang dicita-citakan, apalagi atas nama Tuhan dan tugas negara ini tidak dijalankan sebagaimana mestinya,” tanya Tony.
Wakil Tuhan macam apa yang putusannya bisa ditekan dengan kekuatan dunia atau bahkan sekadar dibeli dengan sejumlah uang.
Independensi dan kebebasan hakim saat ini banyak disangsikan oleh masyarakat. Bagaimana tidak, banyak hakim yang putusannya bisa dipengaruhi oleh kekuasaan, baik kekuasaan politik, maupun ekonomi. Putusan hasil transaksi gelap itu sudah pasti akan menguntungkan pihak yang memegang kuasa, dan merugikan pihak lawan yang tak memiliki kapasitas yang sama.
Peradilan hari ini adalah tentang menang dan kalah, bukan benar dan salah.
“Kekuasaan yang bebas akan menjerumuskan atau membiarkan terjadinya suatu dictatorship, sesuatu kuekuasaan yang mutlak, artinya yang tidak bisa diganggu gugat. Jadi menut kami, kekuasaan kehakiman membutuhkan kemitraan untuk akuntabilitas, untuk pertanggungjawaban, untuk pengawasan. Tanpa itu, dictatorship akan terjadi,” jelas Tony.
Dictatorship tidak hanya bisa dilakukan oleh kekuasaan politik, tapi juga oleh kekuasaan kehakiman.
Jika lembaga peradilan menjalankan peran dan kontribusinya sesuai dengan amanat undang-undang, maka mereka akan merangkul dan menjadi mitra pihak-pihak yang lain, termasuk masyarakat dan segala keresahan yang ada pada mereka.
Dengan situasi lembaga peradilan yang memprihatinkan seperti saat ini, Tony sungguh berharap pemerintah untuk melakukan tindakan-tindakan nyata untuk segera memperbaikinya. Menurut Tony, kita sudah ada di level yang cukup kritis.
Padahal, hukum, politik, ekonomi memiliki kesinambungan dan peran satu sama lain. Politik dan ekonomi tidak akan stabil jika hukum rusak. Pun sebaliknya.
Jika peradilan kotor yang seperti terus dibiarkan, maka Tony Budidjaja membayangkan negara ini akan hancur dan haru ini tanda-tanda kehancuran sudah terjadi.
“Selama ini hukum tidak ditempatkan sebagaimana mestinya, sebagai dasar, sebagai referensi utama dan yang pertama dalam setiap kebijakan pemerintahan, itu sudah masalah,” ujar dia.

Hukum adalah benda mati yang baru bisa hidup dan terasa dampaknya dengan pembacaan dan penafsiran para penegak hukum, terutama hakim lewat putusannya.
Jadi, jika putusan hakim saja bisa dibeli dan dipesan dengan kekuasaan dan harta, betapa bahayanya hukum bagi orang-orang yang tidak memiliki kuasa atas keduanya.
Sekarang, persepsi publik mulai terbentuk, bahwa keadilan tidak pasti didapatkan di lembaga peradilan, bahwa hukum belum tentu akan menghukum pihak yang bersalah. Persepsi itu sudah ada dan bukan tidak mungkin terus berkembang.
Persepsi belum tentu benar, tapi keberadaannya sangat penting. Sekali saja publik tidak percaya pada lembaga peradilan, maka Tony mengatakan itu sebagai awal dari malapetaka.
“Pada saat lembaga peradilan tidak diyakini bisa menjalankan tugas dan fungsi dengan baik, kemana lagi masyarakat harus mencari keadilan? Sekarang sudah kita lihat makin banyak dan makin sering kita jumpai lawless society, chaos di mana-mana. Karena mereka enggak yakin, kalau kasus ini saya bawa ke ranah hukum, pelanggaran itu saya ajukan ke pengadilan, apakah saya akan mendapatkan kepastian hukum dan keadilan,” ungkap Tony.
Tony tidak pernah mengatakan bahwa semua penegak hukum di lembaga peradilan sebagai orang yang kotor, tidak profesional, dan sebagainya. Masih ada pribadi-pribadi penegak hukum yang berintegritas dan memegang teguh nilai-nilai etika juga kebenaran. Dan ia menaruh hormat yang tinggi pada mereka.
Faktor Budaya
Tony melihat kebiasaan suap, jual-beli perkara, tawar-menawar vonis, pilah-pilih pasal, atau hal lain yang ada di dunia peradilan kita datang dari faktor budaya yang melingkupi masyarakat itu sendiri.
Sesederhana kebiasaan masyarakat kita memberi dan menerima “uang rokok” pada orang-orang yang bekerja, termasuk pada hakim. Mungkin maksudnya bukan untuk memengaruhi apalagi membeli putusan, melainkan sekadar tanda terima kasih sudah melakukan pekerjaan yang membantu urusannya. Padahal tanpa harus memberi uang tambahan itu pun, hakim sudah menerima gaji dan tunjangan atas pekerjaan yang dilakukan oleh Negara.
“Secara enggak langsung kita itu membangun budaya yang keliru. Jadi sekarang kalau kita mau jujur, itu sebenarnya manifestasi atau konsekuensi dari budaya yang kita sendiri pelihara, dengan kita tidak mau melaporkan hal-hal yang tidak sesuai dengan seharusnya, bahkan memberikan pembelaan bahwa ini kan karena mereka (hakim) kurang uang, karena mereka susah,” papar Tony.
Terlepas dari faktor budaya, Tony juga menyadari bahwa banyak hakim mau tidak mau pada akhirnya terjerembab pada hal yang sama karena sistem yang memaksa.
Sistem ini sudah ada sejak lama, bahkan sejak sebelum para penegak hukum yang sekarang bertugas bekerja secara profesional di lembaga-lembaga peradilan.

Indonesia pernah melakukan perbaikan sistem melalui Reformasi di tahun 1998. Banyak undang-undang diperbaiki, diperbaharui. Banyak komisi-komisi dibentuk demi pemerintahan yang lebih transparan dan profesional.
Namun ada yang terlupa dari perjuangan Reformasi, yakni perbaikan kualitas aktor-aktor yang menjalankan undang-undang dan komisi-komisi itu.
“Yang harusnya jadi fokus bukan hanya undang-undangnya, kalau perlu stop produksi undang-undang sampai kita punya aktor, sampai punya orang-orang yang mengerti tugas, tanggung jawab profesinya. Kalau hakim tidak dianggap sebagai satu profesi, advokat tidak dianggap sebagai satu profesi, itulah celakanya,” kata Tony.
Maka ketika Joko Widodo terpilih sebagai Presiden dan mengusung Revolusi Mental, Tony merasa suka, seolah mendapat angin segar terkait kerisauannya tentang kualitas moral para penyelenggara kehakiman.
Meski Revolusi Mental ala Jokowi baginya terdengar belum jelas, setidaknya itu ada karena didasari keinginan memperbaiki mental, cara kerja, dan perilaku manusia-manusia Indonesia.
Sayangnya, selama 2 periode pemerintahannya, Jokowi dianggap belum juga tuntas melakukan “Revolusi Mental” yang ia gembar-gemborkan. Tony pun sadar, memperbaiki mental suatu bangsa bukanlah perkara mudah dan bisa dilakukan dalam waktu instan, dengan komitmen yang tinggi.
Namun, Tony juga tidak menutup kemungkinan jika “Revolusi Mental” ternyata hanya sebatas jargon belaka.
“Jangan terus komitmen itu serahkan kepada rakyat, rakyat tentu akan ikut pada saat para pemimpinnya, penguasanya (melakukan sesuatu). Mereka pegang kekuasaan eksekutif, kekuasaan legislatif, kekuasaan yudikatif, mereka memberikan contoh. Mereka yang pegang kekuasaan ayo bertindak, masa lagi-lagi jadi penonton. Mungkin paling banter menjadi (penyeru) wacana, ikut mengutuki tapi tidak akan ada perubahan sampai ada benar-benar suatu tindakan nyata, konkret yang dilakukan oleh mereka,” pungkas Tony.
Leave a Reply