Ketika Kejahatan Peradilan Didiamkam di Negeri Ini…

“…Itu harus dibuka, dibongkar. Tanpa itu, suatu saat masyarakat fade up, ah ini mah ujung-ujung ketebak, hilang lagi, nanti akan ada lagi. Tadi berapa 60 miliar, ada lagi 600 miliar, ada lagi 2 triliun, lagi 3. Itu soon akan terjadi, bukan?,”

โ€”Advokat senior, Tony Budidjaja

Ada begitu banyak kejahatan peradilan yang terjadi di Indonesia. Suap, jual beli perkara, mafia hukum, tawar-menawar pasal, intervensi kekuatan, dan lain sebagainya.

Ada yang dilakukan terang-terangan, ada pula yang sembunyi-sembunyi. Ada yang dilakukan dengan kesadaran dan orientasinya keuntungan, ada pula yang dilakukan karena tertekan sehingga terpaksa melakukan kejahatan demi memeroleh keselamatan. Ada yang sudah terkuak di media, namun banyak juga yang masih tersimpan rapat dan tak terendus siapa-siapa.

Sayangnya, setiap pelanggaran hukum yang terkuak, sebesar apapun itu, misalnya kasus Zarof Ricar dengan temuan uang dan logam mulia sebesar Rp1 triliun di rumahnya, tak ada pihak yang bertindak luar biasa, semua respons yang diberikan sekadar formalitas semata. Padahal, kasus mafia hukum yang sudah berlangsung selama 10 tahun itu adalah sesuatu yang sangat besar, menyeret begitu banyak pihak, dan memuat nominal yang tak sedikit.

“Ini masalah kemauan melebihi masalah kemampuan. Sebenarnya enggak terlalu sulit kok kalau mau diselidiki kemana, karena itu pasti bukan hanya satu kasus, itu pasti multiple, pasti banyak sekali. Itu harus dibuka, dibongkar. Tanpa itu, suatu saat masyarakat fade up, ah ini mah ujung-ujung ketebak, hilang lagi, nanti akan ada lagi. Tadi berapa 60 miliar, ada lagi 600 miliar, ada lagi 2 triliun, lagi 3. Itu soon akan terjadi, bukan?,” ujar Advokat senior Tony Budidjaja saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM .

Advokat Tony Budidjaja dalam Back to BDM.

Masalah Zarof Ricar ini, Tony meyakini menjadi tak kunjung terungkap karena banyaknya pihak yang berkepentingan dan terlibat di dalamnya, baik kepentingan politik maupun bisnis.

“Saya meyakini kalau jumlahnya demikian spektakuler itu ada kepentingan pihak-pihak lain, ada oknum-oknum lain yang menikmati. Dan bukan mustahil bukan cuman satu layer, bukan satu level, marena nilainya besar. Enggak ada logikanya seorang berani melakukan suatu tindakan kalau itu tidak dipahami, diketahui, dibina, dilindungi, atau dibela oleh ini,” sebutnya.

Jika pemerintah, lembaga peradilan, dan semua pihak merespon dan memprosesnya dengan baik, maka dipastikan akan ada banyak sekali kasus yang semula masih menjadi tabir akan turut terbuka.

Tony menganggap sistem peradilan yang korup selama ini menjadi sesuatu yang memang dijaga. Pasalnya, kejahatan-kejahatan di peradilan sudah ada sejak awal ia memulai praktik hukum, hampir 30 tahun yang lalu, bahkan sudah ada jauh sebelum itu.

Tony Budidjaja dalam podcast Back To BDM.

Ia harus mengakui, sistem peradilan yang korup ini belum diakui secara formal. Jadi akan sangat sulit untuk dilakukan perbaikan.

“Bagaimana mungkin ada pertobatan, bagaimana mungkin ada perubahan, kalau dosanya ini tidak diakui dulu. Harus diakui bahwa sudah ada kecurangan, sudah ada praktik-praktik kebohongan, dan sudah ada praktik-praktik yang ada dalam sistem kita itu harus diakui lebih dulu,” kata Tony.

Kembali pada pembiaran pelanggaran hukum di lembaga peradilan, ia meyakini sesungguhnya kondisi ini tidak didiamkan begitu saja. Pasti ada pihak-pihak yang merasakan keresahan, menyadari ada kesalahan, namun mereka tidak memiliki kekuatan untuk bersuara.

Begitu juga dengan para advokat seperti dirinya, yang dirasa masih begitu minim bersuara. Minim menyerukan pentingnya penegakan marwah profesi sebagai advokat.

“Saya pernah berinteraksi dengan advokat-advokat muda, saya katakan yang baru datang banyakkan mereka mempunyai harapan, tujuan masuk ke dunia advokat itu karena pekerjaan, karena kenyamanannya, karena ketenarannya, karena fasilitasnya, bukan karena profesinya, bukan karena tujuan kenapa dia disebut sebagai profesi,” ujarnya.

Advokat adalah profesi, ada tanggung jawab besar yang harus diperjuangkan di balik keren atau gagahnya sebutan sebagai seorang advokat. Demikian juga hakim, jaksa, dan lainnya. Semua adalah profesi. Sayangnya, tidak semua advokat memahami makna profesinya, pun dengan hakim dan jaksa. Padahal, semua baru bisa disebut menjalankan profesinya apabila sudah melayani kepentingan masyarakat.

Bagi Tony, hakim baru pantas disebut sebagai Yang Mulia apabila telah bekerja melayani masyarakat dan masyarakat puas dengan kinerjanya, para hakim mengorbankan kepentingan pribadinya demi tegaknya hukum dan keadilan di masyarakat.

Ia menyayangkan, para pemimpin baik di tataran eksekutif maupun yudikatif tak juga mengeluarkan pernyataan yang keras menanggapi kasus-kasus pelanggaran hukun yang ada di lembaga peradilan. Jangankan pernyataan berani untuk melawan, tegas menyatakan itu sebagai satu kesalahan pun tidak terdengar.

Yang ada adalah respon formalitas seperti “kita hormati hukum yang sedang berjalan”, “kita gunakan asas praduga tak bersalah”, “kita prihatin dengan situasi ini”, “kita mengutuk tindakan itu”. Tak ada yang lebih dari itu.

Advokat Tony Budidjaja dalam Back to BDM.

Jika sekadar mengecam, tapi tidak ada komitmen dan solusi untuk memberantasnya, maka kejahatan di dunia peradilan pasti akan terus terjadi dan terulang.

“Mudah-mudahan mereka ikut mendengar dan bereaksi, hanya Tuhan yang bisa bicara langsung. Pada saat hati nuraninya bicara, Sang Penciptanya bicara langsung, secara orang itu baru punya kesadaran dan melakukan perubahan,” ujar Tony.

Untuk memperbaiki situasi ini, Tony berpendapat perlu dilakukan sejumlah tindakan. Pertama, mencari akar permasalahan yang notabene adalah masalah budaya atau kebiasaan di masyarakat yang gemar memberikan sesuatu yang sifatnya informal pada orang lain yang sudah bekerja untuknya. Diperlukan waktu yang sangat panjang untuk mengubah kebiasaan masyarakat, sehingga diperlukan dukungan pernuh dari pemimpin di tingkat eksekutif dan legislatif.

Yang kedua, harus ada perbaikan sistem pengawasan, pencegahan, atau deteksi awal sehingga potensi kejahatan di peradilan bisa ditekan sedemikian rupa.

“Jadi bukan hanya dibebankan kepada RI-1 atau MA-1 saja, tapi menurut saya harus ditanyakan juga lembaga-lembaga struktural yang sudah dibentuk. Harus terima tanggung jawab ini. Where were they? Dimana mereka? What they are doing right now untuk merespon kejadian seperti ini? Jadi ini menunjukkan lemahnya sistem pengawasan terjadi,” jelas Tony.

Upaya perbaikan yang ketiga adalah bersamai masyarakat, jangan pernah tinggalkan mereka. Ketika jari nurani para pemimpin lemah, masyarakat adalah sumber yang bisa menguatkan. Masyarakat adalah pihak yang tak memiliki kepentingan saat masuk ke ranah hukum. Mereka hanya menginginkan perlindungan hukum dan keadilan.

“Kita bicara pemerintahan, kita bicara yudikatif, kita lupa the main beneficiary, kita lupa yang paling berkepentingan terhadap semua itu  bukan kaum elit, (tapi) masyarakat, termasuk mereka yang miskin, yang lemah, punya berbagai keterbatasan. Itulah yang harusnya punya hak untuk bersuara, didengar kepentingannya, dan itulah advokat perlu ada di sana, berpihak pada pihak mereka,” jelas Tony.

Masyarakat juga perlu diberi akses untuk mengetahui atau membongkar sistem peradilan yang korup. Diperlukan transpasi, sehingga masyarakat bisa mengetahui apa yang sebenarnya terjadi. Semua kejahatan di dalam lembaga peradilan agar terbuka dan diketahui umum. Jadikan mereka sebagai mitra, bukan pihak yang justru dinomorsekiankan dan pendapatnya tak pernah didengar.

Revolusi mungkin diperlukan lagi untuk membuat perubahan besar kembali terjadi di negeri ini. Namun, resolusi biasanya akan memakan korban jiwa. Tony tak menentang revolusi, namun ia berharap ada cara atau pendekatan yang lebih lembut untuk bisa memperbaiki kondisi Indonesia.

Ia sebagai advokat mengaku kelompoknya tidak bisa bersuara lantang dan suara itu digemakan di ruang-ruang publik yang luas, media lah yang bisa melakukannya. Maka dari itu peran dari media begitu dibutuhkan. Media bisa mendesak publik, bahkan para pemimpin agar segera muncul reaksi atas apa yang terjadi.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *