Tensi AS-China Masih Tinggi, Trade War Bisa Berujung Real War

Tension yang makin tinggi, bukan tidak mungkin satu waktu bisa terjadi open war, dimulai dengan misalnya nanti Xi Jinping melakukan apa-apa dengan Taiwan yang bagi dia bukan negara yang independen. Nanti di situ Amerika harus membela Taiwan,”

โ€”Mantan Fellow Kongres AS, Bara Hasibuan

China merupakan negara yang menjadi musuh utama Amerika Serikat dalam urusan ekonomi dan perdagangan. Diketahui, awal April kemarin Presiden Amerika Donald Trump baru saja mengumumkan tarif impor baru untuk negara-negara dunia, dan China adalah negara yang mendapat angka paling tinggi di antara negara-negara lainnya, yakni 145 persen.

China membalasnya dengan memasang tarif impor barang AS ke negaranya sebesar 125 persen. Menanggapi balasan tersebut Washington mengancam Beijing akan kembali menaikkan tarifnya menjadi 245 persen.

Tensi hubungan kedua negara itu masih tinggi. Trade war yang saat ini berlangsung antara AS dan China dikhawatirkan bisa berubah menjadi real war atau perang dalam arti kata sesungguhnya.

Mantan Fellow Kongres Amerika Serikat Bara Hasibuan menilai potensi itu sebagai sesuatu yang sangat mungkin terjadi. Ia mencuplik satu teori dari seorang profesor bidang politik di Harvard Kennedy School bernama Prof Graham T Allison.

“Dia bilang kalau ada satu great power yang sudah terlalu lama mendominasi, kemudian ada satu lagi emerging power yang kelihatannya kekuatan itu mendekati, pada akhirnya, pada suatu waktu akan terjadi konflik antara kedua (kekuatan) itu. Dan memang sekarang fenomena itu sudah kita saksikan,” kata Bara saat menjadi narasumber podcast Back to BDM.

Amerika adalah negara yang dalam hal ini ada di posisi sebagai pemain lama pemegang kekuatan ekonomi terbesar dunia, sementara China adalah negara yang saat ini kekuatan ekonominya kian membesar mendekati AS.

Di bawah kepemimpinan Presiden Xi Jinping, China menjadi bangsa yang memiliki harga diri. China menjadi satu-satunya negara yang dengan berani melawan atau melakukan retaliasi terhadap ketentuan tarif impor yang ditetapkan oleh Trump. China percaya diri dengan kekuatan negaranya, jika pun melawan Amerika, maka tak ada masalah karena banyak hal mereka telah miliki dan persiapkan.

Kekuatan militer sangat baik, menguasai perdagangan di Asia, menjadi negara yang kaya akan inovasi, memiliki hubungan yang baik dengan negara-negara lain, dan sebagainya.

Alumni Boston University itu meyakini, sesungguhnya Trump berharap Zi Jin Ping menghubunginya terlebih dahulu dan meminta untuk negosiasi tarif ini. Namun, nampaknya hal itu tak akan dilakukan Jin Ping. Ia sudah mengetahui persis, jika melakukannya maka akan dipelintir habis-habisan oleh Trump, dan martabat negerinya akan berantakan.

Trade war ini, ketegangan ekonomi ini, tentu bisa berlanjut kepada ketegangan dalam segi geopolitik. Tension yang makin tinggi, bukan tidak mungkin satu waktu bisa terjadi open war, dimulai dengan misalnya nanti Xi Jinping melakukan apa-apa dengan Taiwan yang bagi dia bukan negara yang independen. Nanti di situ Amerika harus membela Taiwan,” sebut Bara.

“Artinya segala sesuatu bisa terjadi. Kemungkinan akan terjadinya military conflict itu sesuatu yang mungkin terjadi dan kita semua harus siap untuk apinya,” lanjutnya.

Entah apa yang bisa dilakukan untuk meredakan tensi perseteruan antara AS dan China, karena lembaga-lembaga internasional pun sudah banyak yang disfungsi.

Misalnya Organisasi Dagang Dunia atau WTO, sebagai badan yang memiliki kewenangan untuk mengatur perdagangan internasional, nyatanya tidak berfungsi optimal dalam menangani perseteruan dagang ini. Padahal, China dan Amerika Serikat secara resmi adalah anggota dari organisasi itu.

Demikian pula dengan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB atau Security Council) yang menurut Bara saat ini ada di bawah kontrol negara-negara kekuatan besar yang memiliki hak veto, seperti Amerika, China, Rusia, dan Perancis.

Veto right itu suatu konsep yang sebetulnya sudah outdated, karena itu ditentukan oleh para pemenang Perang Dunia ke-II. Harusnya sudah dilakukan reformasi besar-besaran, karena dunia sudah sangat berubah sejak tahun 45, tapi kan tidak dilakukan,” ujarnya.

Karena badan-badan internasional tak mampu lagi menghadapi apa yang terjadi hari ini lada China dan Amerika, akhirnya semua dikembalikan pada kebijaksaan masing-masing negara itu, juga negara-negara lain yang terdampak dengan mengadakan komunikasi secara bilateral.

Bara Hasibuan dalam podcast Back to BDM.

Kebijakan Trump ini sesungguhnya didasari pada rasa tidak terima jika ada negara lain yang turut menjadi polar besar di dunia ini, menyaingi Amerika. Ia menginginkan Amerika menjadi satu-satunya negara yang memegang kendali atas dunia. The only super power.

Banyak ahli ekonomi memredoksi kebijakan tarif Trump ini hanya akan membawa dampak buruk bagi Amerika itu sendiri, tak seperti apa yang diinginkan oleh Trump, yakni kebebasan Amerika secara ekonomi.

Ekonom melihat kebijakan tarif bisa menyebabkan inflasi besar-besaran di Amerika, karena harga-harga barang akan naik. Saat ini saja, pasar bursa dunia sudah menunjukkan respons yang sangat buruk, ini bisa menarik perekonomian Amerika ke tingkat yang lebih rendah.

Amerika dengan jalur kebijakan ini berarti tengah menutup diri secara ekonomi dari negara-negara di dunia, sebaliknya, China justru semakin terbuka. China melakukan investasi besar-besaran di negara-negara Afrika dan Asia, termasuk Indonesia.

“China kalau melakukan investasi tidak cerewet, tidak ada syarat-syarat kondisi human right harus bagus, environment harus bagus, dia kan tidak peduli. Yang penting proyeknya jalan, dia dapat international investment,” ujar Bara.

“Jadi ini bisa justru backfire terhadap Amerika, kepentingan Amerika, standing Amerika di dunia. Ini bisa mengisolasi Amerika. Dan China kemudian mengambil peran itu sebagai leader dari negara dengan kekuatan ekonominya,” ia melanjutkan.

Dari kacamata Bara, Trump sedang mengambil suatu gamble, suatu  tindakan judi yang sangat berisiko besar. Bisa berhasil mengembalikan kejayaan Amerika, bisa juga gagal dan berakhir buruk, Amerika akan teralineasi dan perannya digantikan China.

“Tapi prediksi orang-orang rasional bahwa ini justru tidak akan berhasil, makin memperburuk ekonomi,” kata Bara yang 8 tahun menghabiskan waktunya di Amerika untuk studi.

Padahal, sebetulnya Trump memimpin Amerika untuk kedua kalinya ini dalam kondisi ekonomi yang relatif baik. Presiden sebelumnya, Joe Biden mewariskan perekonomian yang tidak buruk, angka pengangguran menurun, lapangan kerja terbentuk, pasar saham juga baik. Namun semua ini kini berubah di bawah kepemimpinan Trump.

Dampak pada Politik Global

Bara menjelaskan Trump merupakan sosok pemimpin yang tidak terlalu peduli soal ideologi. Bagi dia, rkonomi adalah hal utama yang harus diperjuangkan untuk membuat Amerika kembali berjaya. Selebihnya, seperti hak kebebasan berbicara, demokrasi, hak asasi manusia, kesetaraan, keberagaman, lingkungan hidup, dan sebagainya adalah hal-hal yang tak lagi relevan untuk diperjuangkan.

Padahal, suatu negara bisa dikatakan hebat bukan hanya jika negara itu bisa mentereng secara ekonomi, namun juga menjunjung tinggi nilai-nilai tradisional sebagaimana disebutkan sebelumnya.

Sorry to say, kita harus mengakui dengan segala penyesalan bahwa isu-isu tersebut menjadi sesuatu yang tidak prioritas selama Trump menjadi presiden,” sebut Bara.

Karakter Trump yang abai terhadap aspek demokrasi, hak asasi manusia, dan lingkungan hidup, tentu akan banyak berpengaruh pada isu-isu sejenis di negara-negara lain, termasuk Indonesia. Demokrasi yang hingga saat ini masih terus diperjuangkan oleh para aktivis di Tanah Air bukan tidak mungkin ruangnya akan menjadi sempit.

Namun Bara menyebut efek itu tidak akan terlampau besar, karena aktivis demokrasi di Indonesia selama ini tidak terlalu menggantungkan diri pada Amerika. Mereka bisa bekerja secara independen dan ada organisasi-organisai internasional lain yang juga memperjuangkan demokrasi.

Indonesia Harus Apa?

Menyadari ada begitu banyak tantangan dan potensi perubahan di landskap internasional yang mungkin terjadi sebagai imbas perang dagang antara Amerika dan China, Indonesia harus merespons dengan tepat.

Sementara ini, memilih jalur negosiasi ketimbang retaliasi dengan Amerika dinilai sudah tepat. Meski Amerika bukan menjadi negara tujuan utama ekspor Indonesia, namun melawan bukan pilihan yang bijak bagi Indonesia, setidaknya untuk tetap menjaga hubungan baik dengan negara itu.

Tak hanya dengan Amerika, hubungan baik dengan tiap negara harus terus kita upayakan dan jaga dengan baik. Entah itu hubungan dengan China, Uni Eropa, dan lain sebagainya

Hubungan baik yang terjaga akan membuka potensi pasar baru bagi produk-produk ekspor Amerika. Jadi, jika pintu ekspor ke Amerika nampak sulit ditembus, maka Indonesia masih memiliki opsi negara lain untuk menjadi tujuan ekspor selanjutnya.

Di sisi lain, kesempatan ini juga bisa dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat perekonomian negara dan mengubah struktur ekonomi negara, misalnya soal pembatasan impor yang selama ini diterapkan harus ditingkatkan, disesuaikan, atau justru dikurangi.

Bara Hasibuan dalam podcast Back to BDM.

Terakhir, Indonesia harus melakukan perbaikan-perbaikan kaitannya dengan hubungan perdagangan dengan Amerika. Amerika telah mengirim sejumlah catatan untuk Indonesia agar bisa mengubah sejumlah hal, pemerintah pun telah menerima itu.

Namun, yang perlu diingat adalah bahwa tidak semua permintaan itu harus diuruti. Indonesia juga harus memikirkan kepentingan negara. Jangan sampai kita membuka pintu terlampau lebar untuk produk-produk impor. Perhatikan dan proteksi juga industri domestik kita.

“Kita siap melakukan koreksi, kita ingin supaya Indonesia lebih terintegrasi pada ekonomi global. Tetapi pada saat bersamaan kita juga ingin supaya industri lokal kita tumbuh. Memang itu suatu hal yang tidak mudah, bagaimana kita men- struct the balance, mencapai suatu keseimbangan antara mempromosikan industri lokal juga mengintegrasikan Indonesia kepada global economy dimana kita harus memperkuat volume ekspor dan impor,” jelas Bara.

Itulah tantangan besar yang tengah dihadapi dan harus diselesaikan oleh pemerintah kita sekarang in. Kondisi ini bisa menjadi blessing in disguise bagi Indonesia, sama kita menjadikannya suatu momentum untuk memperbaiki catatan ekonomi kita. Sehingga pada akhirnya ekonomi bisa tumbuh lebih besar.

“Memang tidak banyak (yang bisa kita lakukan), karena kita bukan merupakan super power, kita tidak bisa dalam posisi melakukan retaliasi, tapi kita bisa manfaatkan untuk memperkuat kita secara internal dan posisi kita di tataran dunia yang lebih luas,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *