“Bung Hatta pernah berkata “Negara berdiri karena keadilan dan runtuh karena pengkhianatan terhadap hukum. Minggu-minggu ini kita menyaksikan bagaimana hukum dikendalikan, hakim bisa dibeli, putusan bisa dirundingkan, keadilan dijadikan dagangan. Jika hukum hanya berpihak pada pemilik uang dan kuasa, republik ini sedang mpenuju jurang kehancuran. Tapi kita tak bisa hanya mengutuk kegelapan, kita butuh tiga hal dari pemimpin negeri: pembersihan internal menyeluruh di peradilan, Komisi Etik Independen yang bekerja tanpa kompromi, dan biarkan publik yang terus bersuara. Keadilan hanya mungkin hidup jika rakyat ikut menjaganya,”
Kasus jual beli perkara kembali terjadi di dunia hukum Indonesia. Kali ini, Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta (MAN) disebut oleh Kejaksaan Agung menerima uang suap sebesar Rp60 miliar. Uang itu diterima MAN dari seorang kuasa hukum sebuah korporasi bernama Marcella Santoso (MS) dan seorang advokat bernama Ariyanto (AR).
Suap diberikan untuk putusan onslag (lepas dari tuntutan hukum) yang diketuk hakim PN Jakarta Pusat pada 19 Maret 2025 terkait kasus ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan 3 perusahaan besar: PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group.
MAN ketika itu masih menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung Harli Siregar menyebut hingga saat ini sudah ada 8 orang yang ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus mafia peradilan ini. 8 tersangka teridiri dari 4 hakim (MAN, DJU, ASB, dan AM), 2 advokat (AR dan MS), 1 panitra (WG) dan 1 legal korporat (MSY).
“Saat ini sudah ada 17 orang saksi yang sudah diperiksa, dan dari 17 ini 8 orang sudah ditetapkan sebagai tersangka. Jadi yang pertama ada 4, kemudian 3, kemudian 1 kemarin,” kata Harli dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (16/4/2025).
Ke depan, Kejaksaan Agung akan terus menggali informasi dari para saksi dan pihak terkait untuk mendapatkan informasi lebih lanjut mengenai peran dari masing-masing tersangka, sehingga kasus ini akan menjadi lebih terang.
Harli menyebut, kasus yang terjadi di PN Jakarta Selatan ini ternyata berkaitan dengan kasus-kasus mafia hukum sebelumnya, seperti kasus di PN Surabaya, dan kasus Zarof Ricar (ZR).
Dari barang-barang sitaan hasil penggeledahan kasus Surabaya dan ZR, Kejaksaan Agung menemukan barang bukti elektronik yang di dalamnya termuat informasi catatan penanganan perkara yang dikaitkan dengan MS di Jakarta Selatan. Jadi ketiga kasus ini secara tidak langsung masih saling terhubung.
“Kami selaku investigator tentu melakukan kajian terhadap ini, apa sih peran MS ini, seperti apa dia, profilnya seperti apa dalam kaitan ini,” sebut Harli.

Dalam kasus PN Jakarta Selatan, Kejagung mendapati MS memiliki peran dan keterkaitan dalam putusan onslag yang dibuat hakim.
“Penyidik melakukan upaya penggeledahan di tempatnya MS. Di situ ditemukan catatan terkait bagaimana supaya perkara ini bisa onslag yang terkait dengan korporasi. Dari situlah penyidik berkeyakinan bahwa MS ini termasuk aktor dari peristiwa ini karena ada catatan-catatan terkait bagaimana ini supaya onslag,” jelas dia.
Lantas, siapa pihak yang menjadi penyedia uang suap Rp60 miliar yang diterima MAN?
Kejagung masih terus menyidik untuk mendalami soal sumber uang suap Rp60 miliar itu.
Sejauh ini, uang disebut berasal dari MSY, seorang legal corporate dari PT Wilmar Group yang saat ini sudah menjadi tersangka. Namun, penyidikan terhenti di titik itu. Dari mana MSY mendapatkan uang itu masih belum didapati jawabnya.
“Misalnya kalau saya MSY, masa 60 miliar saya kasih uang, kepentingan saya apa. Tapi kan secara hukum harus (terbukti), hitam putih harus bunyi, enggak boleh pakai perasaan,” sebut Harli.
Sebagai tindak lanjut dari kasus suap ini, penyidik dari kejaksaan menyita sejumlah uang dari para tersangka, baik dalam bentuk mata uang asing maupun rupiah. Jumlahnya tidak persis Rp60 miliar, jauh lehih kecil, karena diduga uang itu sudah menguap untuk berbagai penggunaan.
Selain uang, penyidik juga menyita 4 unit mobil mewah dari AR, terdiri dari Ferrari, Lexus, Mercedez Benz, dan Nissan GTR. Penyitaan dilakukan sesuai ketentuan undang-undang sebagai bentuk uang pengganti dan pemulihan hak-hak negara.
Praktisi hukum Saor Siagian mengapresiasi tindakan tegas Kejaksaan Agung yang berani mengusut kasus yang melibatkan para hakim ini. Saor menyebut, ini adalah hal yang secara psikologis tidak mudah untuk dilakukan.
“Kalau kita di pengadilan, tempat duduknya jaksa itu di bawah hakim. Biasanya prosesi untuk masuk pengadilan itu, ‘kepada hadirin, yang mulia akan masuk, silakan berdiri…’, termasuk jaksa (diminta berdiri). Kali ini mereka menangkap hakim,” ujar Saor.
Lebih lanjut, Saor sepakat dengan Harli bahwa sumber utama pemberi uang suap belum ditemukan. Tidak mungkin uang sebanyak itu diberikan oleh seorang corporate lawyer. Pasti ada pihak yang lebih besar di atasnya yang menjadi pemberi suap. Oligark.
Sayangnya, pemerintah kita tumpul jika sudah bersinggungan dengan kelompok oligarki.
Saor menghitung, 3 perusahaan besar yang berkasus tengah memperjuangkan keuntungan lebih dari Rp16 triliun, jadi jika mereka mengeluarkan Rp60 miliar untuk memuluskan proses hukum, maka itu bukan jumlah yang seberapa. Saor menyebutnya ecek-ecek.
Ia juga mengapresiasi media massa yang mengangkat isu ini, sehingga kebusukan sistem hukum bisa dilihat dan dikoreksi bersama. Saor tidak menuduh korporasi yang melakukan suap sebagai pihak yang jahat, namun sistem peradilan yang rusak memaksa siapapun yang masuk ke dalamnya menjadi jahat.
“Saya tidak menuduh bahwa tiga korporasi hebat ini adalah penjahat, tetapi (mereka) ini juga korban, karena sistem peradilan kita yang sangat rusak, busuk. Ketika orang bermasalah, kemudian dia mencari untuk bagaimana memenangkan perkara, bukan (mencari) siapa yang jago (ahli) untuk membahas ini,” ujar Saor.
Hakim pun sama, ketika melakukan pelanggaran moral, menerima suap misalnya, mereka tak lagi merasa takut atau khawatir, apalagi malu, karena semua pihak dimungkinkan sudah memainkan permainan yang sama.

Anggota Komisi III DPR-RI dari Fraksi Partai Demokrat Hinca Panjaitan menganggap hal-hal semacam ini sudah disiasati dengan melahirkan Komisi Yudisial (KY). KY sebagai pengawas eksternal, MA sebagai pengawas internal, dan Komisi III DPR-RI sebagai mitra MA dan KY, ternyata tak cukup kuat untuk mengawasi dan mengontrol kekuasaan para hakim. Masih saja jebol, terbukti dengan rentetan kasus mafia hukum yang ada di Indonesia.
“Sekarang ketika terjadi kasus ini lagi, rangkaian rentetan dari Surabaya sampai yang sekarang ini, ini membuktikan bahwa pengawasan terhadap power yang begitu kuat dipegang oleh pemegang palu masih tetap jebol oleh suap-menyuap dari si (pihak yang) berusaha untuk memenangkan perkaranya,” ungkap Saor.
Menanggapi pernyataan Saor, anggota Komisi Yudisial, Binziad Kadafi menyebut KY selama ini terus merekomendasikan, menganjurkan, menghimbau lembaga penegak hukum untuk fokhs pada judicial corruption.
Ada modus-modus yang dijalankan oleh para mafia di peradilan korupsi ini dan itu sulit diungkap, salah satunya menggunakan modus perantara.
“Kalau dalam kasus PN Jakarta Pusat ini perantaranya ada dua, WG selaku PP (Panitera Pengganti) di (PN Jakarta) Utara, tapi pada saat kejadian dia PP di (PN Jakarta) Pusat, kemudian yang kedua itu MAN selaku Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,” sebut Dafi.
Namun WG dan MAN memiliki tugas yang berbeda. WG menjadi fasitator komunikasi antara pihak berperkara dengan penyuap. Sementara MAN, bagiannya memfasilitasi komunikasi antara WG dengan hakim.
Dafi mengusulkan, untuk menguatkan langkah penegakan hukum terhadap para penegak hukum perlu dilakukan detoksifikasi. Caranya, dengan mengoptimalkan semua kewenangan upaya hukum yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum.
“Dalam hari ini Kejaksaan Agung maupun KPK, baik di penyidikan, penuntutan, termasuk apabila bisa diimbangi dengan pemeriksaan LHKPN dan gratifikasi,” jelas dia.
Leave a Reply