Danantara, Badan Inventasi tapi Kental Kepentingan Politik?

“…di Singapura, yang kuat kan sebenarnya mantan Perdana Menteri dan sebagainya menjadi advisor, tapi kita sama-sama tahu bahwa pasar percaya politik yang ada di sana itu pro terhadap pasar. Sedangkan di Indonesia persepsi pasar melihat bahwa ini secara kendaraan dan sebagainya, tidak setransparan, tidak good governance, tidak sebaik itu,”

โ€”Ekonom Senior Imaduddin Abdullah

Pemerintahan Prabowo Subianto membentuk Badan Pengelola Investasi yang diberi nama Daya Anagata Nusantara atau lebih dikenal sebagai Danantara. Danantara ini dipercaya mengelola aset sebesar lebih dari Rp9.000 triliun. Jumlah yang sangat besar.

Danantara dibentuk dengan tujuan mengoptimalkan pengelolaan aset negara untuk mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Jika ini berhasil, maka Indonesia akan bisa mempercepat pertumbuhan investasi. Namun jika gagal, ini akan menjadi sesuatu yang sangat buruk bagi perekonomian negara. Pertaruhan besar ada di dalam Danantara.

Apalagi, Indonesia kini diliputi begitu banyak kasus korupsi dan dipimpin oleh pejabat-pejabat yang tak lagi memegang nilai dan integritas. Jadi, peluang Danantara menjadi bancakan korupsi, tentu satu hal yang potensinya terbuka lebar dan tak bisa begitu saja dihilangkan.

Ekonom senior dari The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah menilai Danantara secara niat itu baik. Negara ingin memperbaiki iklim investasi sehingga perekonomian bisa bergerak.

Namun, kekhawatiran juga ada terkait bagaimana nantinya Danantara dijalankan dan dikelola, karena tingkat kepercayaan publik yang rendah.

Beberapa waktu yang lalu, Presiden sudah memilih nama-nama yang menjadi pimpinan Danantara. Di antara nama-nama itu ada nama Menteri BUMN Erick Thohir sebagai Ketua Dewan Pengawas dan Menteri Investasi dan Hilirisasi atau Kepala BKPM Rosan Roeslani sebagai CEO Danantara.

Sempat ada anggapan mereka adalah orang-orang titipan kekuasaan. Namun Imad berharap anggapan itu tidak benar dan mereka yang sudah diamanahi jabatan bisa mengelola aset besar ini secara lrofesional.

“Karena saya percaya kalau misalnya ini profesional, governance-nya baik, maka Danantara ini benar menjadi game changer. Tapi kalau ini hanya menjadi tanda kutip bancakan, hanya untuk mengamankan interest dari elit-elit atau oligarki ini, saya akhirnya melihat bahwa ini besar ya (dampak buruknya),” sebut Imaduddin.

Wawancara BDM bersama Ekonom senior Imaduddin Abdullah dalam Back to BDM.

Untuk memastikan Danantara berfungsi sesuai dengan tujuan awalnya, maka dibutuhkan pengawasan semua pihak, termasuk masyarakat. Publik harus memastikan Danantara bisa menarik investasi yang memberi dampak positif bagi perekonomian jangka panjang Indonesia.

Danantara tidak seperti BUMN yang tidak berani melakukan investasi yang akan merugi dalam jangka waktu pendek. Sebaliknya, Danantara memiliki keistimewaan untuk membuat investasi yang imbal baliknya baru akan terjadi secara jangka panjang.

“Itu yang harusnya lebih didorong. Jadi ekonominya bisa bergerak melakukan transformasi, sehingga bisa mencapai pertumbuhan ekonomi yang tinggi,” kata Direktur Kolaborasi Internasional di INDEF itu.

Rangkap Jabatan

Terkait dengan pejabat Danantara yang merangkap jabatan politik sebagai menteri, sesungguhnya hal itu bertentangan dengan Undang-Undang Kementerian Negara. Meski begitu, nyatanya hal itu tetap berjalan dan seolah-olah dibiarkan terjadi.

Inilah yang membuat pria pemilik gelar master ganda dari Swedia dan Jepang ini menilai negara kita tidak tegas menjalankan regulasi yang dibuat sendiri. Undang-undang bisa diubah untuk melegalkan sesuatu yang keliru. Dikhawatirkan, itu akan melahirkan kebiasaan buruk: mengubah undang-undang sesuai kepentingan, melegalkan yang ilegal, menormalkan yang abnormal, dan sebagainya.

“Harusnya dari awal prosesnya (pemilihan pimpinan Danantara) itu dibuat sesuai dengan regulasi yang ada. Jadi tidak melanggar undang-undang, tapi tidak juga mengakali regulasi atau undang-undang yang ada,” ujarnya.

Hal yang lebih ia khawatirkan dari tabrak regulasi ini adalah jika para calon investor mengartikan bahwa Danantara ini akan dijalankan secara tidak profesional.

Rangkap jabatan ini juga menimbulkan pertanyaan soal legitimasi dari pengawasan Danantara. Dewan pengawas yang dalam hal ini Menteri BUMN, mengawasi CEO yang merupakan Menteri Investasi dan Hilirisasi. Keduanya sama-sama sebagai seorang menteri.

Dan yang paling Imad khawatirkan dari pemilihan orang-orang yang rangkap jabatan ini adalah jika pasar membaca Danantara hanya menjadi alat atau kendaraan untuk mengakomodir kepentingan elit dan oligarki semata.

Sebagaimana sudah terjadi, Bursa Efek terkoreksi tajam bahkan perdagangan sempat dihentikan sejenak (trading halt). Pasar melihat ini tidak profesional, tidak ada transparansi, dan akhirnya respons buruk diberikan pasar terhadap lantai bursa.

Keberadaan SBY dan Jokowi

Tak hanya pengelola yang rangkap jabatan menteri, Danantara juga diisi oleh nama-nama mantan Presiden seperti Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Joko Widodo (Jokowi).

Lagi-lagi, Imad menganggap hal ini hanya akan memberi dampak buruk bagi Danantara itu sendiri, lantaran keduanya tidak bisa dipisahkan dari kepentingan politik. Kesan politiknya lebih kental ketimbang kesan sebagai senior, penasihat, dan sebagainya. Meski sudah purna tugas, SBY dan Jokowi masih menjadi seseorang yang bersinggungan dengan politik hingga hari ini.

“SBY sekarang masih kuat dengan Partai Demokratnya, kita juga tahu walaupun berkali- kali dibantah oleh Pak Jokowi bahwa tidak melakukan cawe-cawe dan sebagainya, tapi kan kita lihat bagaimana pejabat-pejabat politik itu sowan ke Jokowi. Dan kita secara umum melihat bahwa Jokowi ini masih punya peranan yang besar dalam politik di Indonesia,” ungkap alumni S1 Hubungan Internasional Universitas Indonesia itu.

Keberadaan keduanya dikhawatirkan akan membuat Danantara lebih bersifat politis, ketimbang aspek pemerintahan, ekonomi, dan manfaat ekonomi.

BDM menyerahkan buku karyanya kepada Imaduddin Abdullah.

Lagi pula, efektif kah keberadaan para mantan presiden atau orang-orang politik untuk sebuah badan yang bergerak di bidang investasi?

Bagi Imad, hal itu masih mungkin saja dilakukan untuk memperkuat dari segi politik. Hanya saja, kita harus melihat tokoh politik siapa yang diajak turut serta.

“Misalnya di Singapura, yang kuat kan sebenarnya mantan Perdana Menteri dan sebagainya menjadi advisor, tapi kita sama-sama tahu bahwa pasar percaya politik yang ada di sana itu pro terhadap pasar. Sedangkan di Indonesia persepsi pasar melihat bahwa ini secara kendaraan dan sebagainya, tidak setransparan, tidak good governance, tidak sebaik itu,” papar dia.

Jadi, Imaduddin menyarankan agar Pemerintah fokus memastikan Danantara dikelola oleh orang-orang yang memiliki latar belakang good governance transparency, profesional, dan sebagainya ketimbang menempatkan mantan-mantan presiden di sana.

Terlepas dari semua itu, Imad menduga pemilihan orang-orang di Danantara adalah politik kompromi. Di sana ada orang-orang profesional, namun ada juga yang masih bersinggungan dengan politik.

“Jadi lebih kepada mengakomodir berbagai hal untuk memastikan itu tetap berjalan, karena tidak bisa dipungkiri kalau Danantara ini besar tapi tidak ada orang-orang yang kuat secara politik kan tidak stabil juga,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *