“…kebijakan tarif itu, satu tidak memberikan dampak positif terhadap pencipta lapangan kerja, industri, dan sebagainya, di sisi lain juga harga-harga barang menjadi meningkat. Itu akhirnya menjadi double hit buat ekonomi US. Makanya tarif ini sebenarnya tidak cocok untuk menyelesaikan masalah US,”
โEkonom Senior Imaduddin Abdullah
Presiden Amerika Serikat Donald Trump belum lama ini membuat kebijakan perdagangan yang mengejutkan dunia. Ia memberlakukan tarif impor untuk puluhan negara dunia, termasuk Indonesia.
Indonesia dikenakan tarif timbal balik alias resiprokal sebesar 32 persen. Namun, Trump menunda pemberlakuan tarif baru ini selama 90 hari, terhitung sejak 9 April lalu.
Dirasa terlalu tinggi dan mengancam pelaku usaha dalam negeri yang mengimpor produknya ke Amerika Serikat, pemerintah Indonesia melakukan negosiasi dan mengajukan sejumlah penawaran terhadap Amerika dengan memberangkatkan 3 orang menteri ke AS.
Sementara China yang merupakan musuh besar AS dalam konteks perdagangan global dikenai tarif 102 persen. Tak seperti Indonesia yang memilih jalur negosiasi, negara yang dipimpin Xi Jin Ping itu melakukan perlawanan alias retaliasi hingga tarif yang dikenakan terus ditingkatkan oleh Trump. Terbaru, 145 persen. Genderang perang antar kedua negara itu nampaknya akan terus berlanjut.
Direktur Kolaborasi Internasional di The Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Imaduddin Abdullah membaca langkah besar Trump ini sebagai sesuatu yang sudah terprediksi, namun tetap mengejutkan karena skalanya yang luas, tarif yang sangat tinggi, dan dilakukan dalam waktu yang relatif cepat.
“Kita sudah tahu bahwa Trump akan menyerang negara-negara lain, tapi tentu kita tidak menyangka bahwa serangannya itu jauh lebih brutal dibandingkan Trump jilid pertama,” kata Imad saat menjadi narasumber di siniar Back to BDM YouTube Budiman Tanuredjo.

Di pemerintahannya yang pertama, Trump hanya menaikkan tarif impor pada China. Sementara kali ini, kenaikan tarif ia berlakukan pada lebih dari 60 negara dan kawasan di dunia, termasuk pada Meksiko dan Kanada yang selama ini menjadi partner utama dagang AS.
Tak berhenti di situ, Uni Eropa dan Inggris yang selama ini menjadi sekutu Amerika juga diperlakukan serupa.
“Awalnya mereka menyebut 15 negara yang tanda kutip mereka nganggapnya paling curang lah ke Amerika, tapi ternyata akhirnya mereka bikin terhadap 60 negara. Ini yang akhirnya menjadi semacam guncangan,” sebut Imad.
Berbeda dengan Indonesia dan banyak negara lain yang nampak begitu terguncang dengan kebijakan Trump, China yang notabene menjadi sasaran utama dari kebijakan dagang ini justru nampak sudah begitu siap.
Selain berani melawan, China juga tak memandang isu ini sebagai sesuatu yang sangat penting, terlihat tak ada pemberitaan soal tarif resiprokal AS di berita utama media-media mereka.
“Beberapa pengamat yang memang stay di China mengatakan bahwa China sangat siap dengan Amerika. Bahkan berita ini katanya masuknya di tier 3 tier 4 di koran mereka. Jadi enggak masuk di headline. Kalau kita kan mungkin yang Trump ini masuk di headline berita berhari-hari. Sedangkan Cina sudah sangat siap dan memang sudah mengantisipasi ini,” ujar ekonom yang memperoleh gelar PhD dari King College London itu.
Keputusan Tidak Tepat
Terlepas dari semua pro dan kontra yang meliputi kebijakan Trump itu, Ekonom senior itu menilai keputusan untuk menaikkan tarif impor adalah sesuatu yang tidak tepat jika tujuan dari kebijakan ini adalah untuk “memerdekakan” ekonomi Amerika seperti menciptaan lapangan kerja dan meningkatan industri dalam negeri.
Sebaliknya, ini justru merugikan perekonomian Amerika itu sendiri, karena struktur dasar perekonomian Amerika didominasi oleh sektor jasa. Sektor jasa menguasai sekitar 77 persen perekonomian negara itu.
“Kalau kita pelajari pengalaman di jilid satu, ternyata kebijakan tarif yang ditetapkan itu justru tidak menyelesaikan masalah. Trade defisit malah meningkat, sektor industrinya output-nya berkurang, tenaga kerja di sektor industri tersebut juga akhirnya berkurang. Jadi saya pikir perlu melihat secara lebih detail (seperti apa) struktur ekonomi yang ada di Amerika Serikat dan apakah (kebijakan) tarif ini kebijakan yang tepat untuk diterapkan di Amerika dengan struktur ekonomi yang seperti itu,” jelas Imad.
Penolakan terhadap kebijakan Trump ini pun banyak dikemukakan oleh masyarakat juga politisi di Amerika itu sendiri.
Imaduddin mengatakan, sistem ekonomi yang selama ini dijalankan oleh Amerika, sistem kapitalisme yang dipadukan dengan kebudayaan liberal, hanya menguntungkan bagi kelompok ekonomi kelas atas, sementara masyarakat kecil tidak mendapatkan keuntungan dari proses yang berjalan.
Sementara bantalan sosial dan bantalan ekonomi sangat minim diberikan kepada kelompok masyarakat kelas bawah.
“Bahkan kalau kita lihat, bandingkan dengan negara-negara maju lainnya, Amerika Serikat ini negara dengan social protection yang paling rendah. Ini membuat ketidakpuasan di masyarakat, sehingga akhirnya mereka melihat bahwa liberalisasi globalisasi yang selama ini didorong oleh US ternyata gagal dan mereka (masyarakat) ingin meriset, mengulangi lagi dari awal,” ungkap Imad.
Jadi, jika tujuan Trump adalah ingin melindungi segenap rakyat Amerika dari serangan globalisasi, maka meningkatkan tarif impor adalah hal yang keliru. Alih-alih menaikan tarif, Imad beranggapan Trump seharusnya fokus memberikan perlindungan sosial dan ekonomi pada kelompok masyarakat yang tidak diuntungkan dari proses globalisasi itu. Bisa berupa pelatihan kerja, peningkatan kemampuan, dan sebagainya, sehingga mereka tetap bisa bersaing dan bertahan.

Kenaikan tarif juga akan mematikan industri Amerika, karena negara ini sudah begitu sulit untuk membangun industri baru: harga bahan baku mahal, tenaga kerja pun mahal. Mau tidak mau, Amerika harus melakukan impor untuk mendukung industri dalam negerinya, misalnya dalam perusahaan Boeing.
Boeing dirakit di Amerika namun bahan pembuatannya berasal dari luar negeri. Dengan penerapan tarif impor yang tinggi, maka bahan baku pembuatan pesawat akan menjadi semakin mahal. Jika sudah begitu, Boeing akan kalah saing dengan perusahaan kompetitor, Airbus yang sangat memanfaatkan perdagangan bebas di Eropa.
“Permasalahannya adalah ketika Amerika sudah tidak bisa lagi menjadi negara yang industrialis, maka selamanya akan bergantung kepada impor. Dan selama itu ada tarif, maka yang terkena dampak adalah konsumen. Jadi memang konsumen yang merugi,” ujar lulusan S1 Hubungan Internasional Universitas Indonesia itu.
“Jadi kebijakan tarif itu, satu tidak memberikan dampak positif terhadap pencipta lapangan kerja, industri, dan sebagainya, di sisi lain juga harga-harga barang menjadi meningkat. Itu akhirnya menjadi double hit buat ekonomi US. Makanya tarif ini sebenarnya tidak cocok untuk menyelesaikan masalah US,” imbuhnya.
Perlawanan China
Dampak negatif dari kebijakan tarif resiprokal Trump ini merata ke seluruh negara yang masuk dalam daftar, juga pada AS itu sendiri. Namun, dampak itu akan menjadi semakin besar ketika suatu negara melakukan pembalasan atau retaliasi seperti China.
“Kalau negara melakukan pembalasan, retaliasi, yang kita temukan ternyata dampaknya jauh lebih besar. Jadi retaliasi ini sebenarnya tidak memberikan manfaat apa-apa, hanya untuk sebagai bahan bargaining power. Retaliasi ini tahap awal untuk mengembalikan atau membatalkan tarif yang sudah ditetapkan,” jelas Imad.
China pada awalnya hanya dikenakan tarif 104 persen, sudah sangat tinggi, namun tiba-tiba ditingkatkan menjadi 125 persen. Namun China membalas dengan menerapkan tarif impor kepada AS sebesar 84 persen. Tak berhenti, AS kembali menaikkan tarif impor produk dari Beijing menjadi 145 persen. China pun kembali membalas, namun disebut ini yang terakhir, menaikkan tarif impor dari AS menjadi 125 persen.
Meski kedua negara menerapkan tarif gila, tujuan China menurut Imad hanya satu, mencoba membawa permasalahan ini masuk ke ranah negosiasi dan menurunkan tarif ke tingkat yang moderat dan tidak setinggi yang ditetapkan sekarang.
Ini sebagaimana terjadi pada Kanada. Kanada sempat memberikan pilihan untuk menaikkan tarif barang impor ke negaranya dari Amerika Serikat atau Kanada akan menaikkan pajak bahan-bahan energi yang akan masuk ke Amerika.
“Ini kan akhirnya masyarakat Amerika melihat bahwa, wah kita enggak bisa seperti itu. Dan di pemerintahan US juga melihat bahwa kalau tetap melakukan perang dagang maka yang terjadi adalah tidak ada manfaat. Jadi ini akhirnya balik ke proses negosiasi dan akhirnya kedua negara, oke kita tunda proses dari kenaikan tarif tersebut,” jelas Imad.
Proses itulah yang ia yakini saat ini tengah terjadi pada perang tarif AS-China.
Negosiasi Indonesia
Tidak seperti negara lain yang sudah tegas mengumumkan kondisi ekonominya ada dalam status waspada pasca Trump mengeluarkan kebijakan tarif resiprokal, Indonesia tampak masih santai dan menyebut semua dalam keadaan yang aman dan baik-baik saja.
Pengumuman Trump dilakukan di tengah masa libur panjang Lebaran, masa dimana pemerintah dalam kondisi yang tidak seefektif hari-hari biasanya. Hal ini mungkin berpengaruh terhadap respons yang diberikan Indonesia hingga hari ini.
Namun, ia mencoba untuk berpikir positif bahwa pasti ada langkah atau strategi yang sedang disiapkan oleh pemerintah, memikirkan langkah terbaik yang harus diambil, hanya saja tidak dibuka ke publik.
Indonesia memang tidak begitu bergantung pada ekspor ke Amerika, besarannya hanya sekitar 2 persen dari total ekspor Indonesia. Ekspor ke Amerika tidak terlalu berpengaruh pada Pendapatan Domestik Bruto (PDB) kita. Sehingga kebijakan dagang Trump yang memukul perekonomian dunia ini tak begitu besar tekanannya bagi Indonesia.
“Indonesia relatif negara yang sangat bergantung kepada ekonomi domestik. Jadi saya pikir memang satu sisi pemerintah masih wait and see melihat bagaimana respons yang terbaik,” jelasnya.

Yang paling penting, ia berharap pemerintah dapat keluar dengan strategi terbaik, sehingga Indonesia tetap dapat mengambil keuntungan atau manfaat dari perang dagang antara AS-China ini
Imad menyarankan pemerintah harus mengantisipasi dampak negatif dan jeli melihat peluang yang Indonesia miliki di tengah tingginya besaran tarif impor yang ditetapkan Amerika ini.
“Misalnya, Vietnam ini kan menjadi negara yang terpukul (karena tarifnya lebih tinggi dibanding Indonesia), sejauh mana kita bisa menarik investor dari China jangan lagi ke Vietnam tapi ke Indonesia, itu yang saya pikir lebih krusial,” ia mencontohkan.
Kini Indonesia tengah mencoba jalur negosiasi dengan mengirim 3 menteri ke Amerika, yakni Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Luar Negeri Sugiono.
Imad berpandangan mereka perlu sampaikan ke pemerintah AS bahwa penerapan tarif impor yang mereka lakukan sangat tidak berdasar.
“Ini hanya berdasarkan dari pembagi antara defisit dibagi dengan impor keluar, angka 64 dibagi 2 menjadi 32. Jadi ini kan tarif impor yang sangat tidak berdasarkan data yang valid,” ungkap dia.
Lebih lanjut, tarif yang Indonesia tetapkan selama ini untuk Amerika jauh lebih rendah dari yang Amerika terapkan untuk Indonesia.
Daya menunjukkan, tarif impor kita untuk AS ada di kisaran 2-3 persen, sementara AS menarif Indonesia 4-5 persen.
“Sebenarnya secara partner perdagangan, Indonesia sudah menjadi negara yang tanda kutip mitra yang baik. Jadi harusnya data terkait dengan penerapan tarif impor yang kemarin resipokal tarif ini perlu diperbaiki,” sebut Imad.
Selanjutnya, pemerintah juga bisa mengalihkan produk-produk yang semula diimpor dari negara lain, kini bisa diimpor dari Amerika. Misalnya LPG dan minyak. Karena, harga dua komoditas itu lebih murah ditawarkan AS daripada negara lain yang menjadi importir Indonesia selama ini.
Itu bisa menjadi penawaran lain bagi AS bahwa Indonesia sejauh ini sudah menjadi mitra dagang yang baik bagi mereka dan berkomitmen memperbaiki sistem perdagangan.
“Sehingga akhirnya tarif (impor) ini harusnya diperbaiki dan kita bisa mendapatkan manfaat juga,” sebut Imaduddin.
Tiga orang menteri diutus berangkat ke AS ini mungkin terkait dengan kekosongan kursi duta besar Indonesia di Washington DC 2 tahun terakhir. Sebagai bentuk keseriusan Indonesia menegosiasikan tarif tinggi yang diberikan Trump.
Tidak adanya duta besar memang menjadi permasalahan tersendiri, karena bagaimanapun duta besar adalah representasi pemerintah di suatu negara. Dia bisa melakukan pertemuan langsung dengan pejabat-pejabat kunci jika terjadi permasalahan antar dua negara dalam waktu yang lebih cepat, karena posisinya sudah ada di negara tersebut.
“Dan ini yang saya pikir disayangkan, artinya ketika negara-negara lain kayak Vietnam, China itu dengan duta besar di sana mereka sudah melakukan negosiasi, kita masih belum punya duta besar. Tentu pembacaan dari pemerintah US itu akan berbeda, ternyata negara-negara lain lebih mengantisipasi dan lebih menghormati proses ini,” jelas dia
“Dan dalam kondisi ini saya pikir Menteri Luar Negeri, Menteri Perdagangan yang harus maju duluan, karena enggak ada dubes untuk langsung bernegosiasi dengan pemerintah US,” lanjut Imad sebagai bentuk menunjukkan keseriusan kita.
Leave a Reply