Trump Terapkan Tarif Impor Baru, Ekonomi Indonesia Terancam?

Trade war Presiden Trump bukan sekedar perang dagang, tapi perang pengaruh dan dominasi ekonomi global. Bangsa ini menghadapi tantangan besar menjaga kepentingan nasional tanpa harus terjebak dalam tarik-menarik kekuatan besar. Langkah strategis perlu dirumuskan selain langkah taktis. Kita sibuk merespon dampak, tapi belum tampak visi jangka panjang. Terus berkutat pada soal sektoral, mengkonsolidasikan kekuatan, tapi melupakan perbaikan tata kelola. Akankah kita bersuara dalam forum global, atau hanya menyesuaikan diri dengan arah angin dalam politik global? Yang tidak menentukan arah akan ditentukan. Sejarah tidak akan berpihak pada yang diam,”

Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengeluarkan kebijakan tarif impor produk-produk dari negara-negara dunia yang akan masuk ke negaranya. Kebijakan ini dibuat dengan tujuan untuk memperkuat industri dan produk-produk dalam negeri AS.

Tarif resiprokal atau reciprocal tariffs pun diberlakukan untuk tiap-tiap negara. Misalnya Indonesia yang dikenai 32 persen, sementara China 104 persen.

Kebijakan tarif ini efektif diberlakukan per 9 April kemarin, mamun melihat dinamika luar biasa yang terjadi pada perekonomian global, Trump memutuskan untuk menunda 90 hari penerapan tarif impor ini dan tetap menerapkan tarif impor minimum 10 persen. Penundaan diberikan pada 75 negara mitranya, kecuali China yang justru tarif impornya makin dinaikkan, dari 104 menjadi 125 persen.

Dengan diberlakukannya kebijakan ini, praktis para produsen lokal di Indonesia yang selama ini mengekspor produknya ke AS terancam mengalami penurunan pesanan, karena tingginya tarif impor yang akan dikenakan pada produk sesampainya di tangan konsumen AS.

Lantas, bagaimana Indonesia harus mengambil langkah menghadapi gebrakan ekonomi dari Presiden Trump ini?

Para narasumber yang hadir di studio untuk Satu Meja The Forum KompasTV (9/4/2025).

Dalam program Satu Meja The Forum KompasTV (9/4/2025) yang mengangkat tema “Kebijakan Tarif Amerika, Badai Ekonomi di Depan Mata?”, sejumlah narasumber bergabung dan memberikan pandangannya terkait isu ini.

Peneliti asal Indonesia di Texas Tech University Abie Besman yang terhubung melalui sambungan virtual menjelaskan, penolakan atas kebijakan Trump sebenarnya tak hanya terjadi di luar negeri, tapi juga di dalam AS itu sendiri.

Publik Amerika Serikat terbelah, satu pihak setuju, pihak lainnya menolak. Semua tergantung dari dampak yang diterima oleh masing-masing pihak atas kebijakan tarif impor itu, apakah menguntungkan atau justru sebaliknya, merugikan.

Retorikanya America First, untuk melindungi industri dalam negeri. Namun justru ini memicu gelombang resistensi publik yang tidak hanya berasal dari kalangan progresif, tapi juga ada dari bisnis, petani, akademisi, bahkan sebagian pendukung Partai Republik ini sendiri,” kata Abie.

Partai Republik adalah partai politik yang mengusung Trump menjadi Presiden.

Abie menyebut, Gubernur Nebraska yang juga berasal dari Partai Republik, Jim Pillen, mengingatkan pemerintah pusat bahwa kebijakan ini bisa berdampak buruk bagi ekspor produk pertanian di wilayahnya. Menaikkan tarif impor mungkin bisa jadi solusi untuk meningkatkan produksi produk dalam negeri, namun kebijakan ini juga bisa memunculkan dampak-dampak ikutan. Pemerintah tak boleh mengabaikannya.

“(AS) Sangat terbelah. Jadi ada yang mendukung terhadap langkah-langkah ini, terutama di kalangan industri baja dan aluminium domestik yang merasa diuntungkan pastinya dengan karena harga kompetitor lebih mahal. Tapi ada juga pengguna-pengguna ataupun penerima kebijakan masa lalu yang memang ngerasa dirugikan dengan konsep-konsep baru yang sekarang ini (menolak kebijakan baru Trump),” jelas Abie.

Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menyebut pemerintah tengah mengupayakan berbagai hal demi menekan besaran tarif impor yang ditetapkan AS terhadap Indonesia.

Misalnya dengan mengirim surat pada pemeritnah AS dan mengutus perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) di Washinton DC untuk bertemu dengan perwakilan Kantor Perwakilan Dagang AS (USTR).

Selain itu, pemerintah Indonesia juga berencana mengirimkan 3 menteri sebagai utusan untuk bernegosiasi dengan AS dengan harapan tarif 32 persen yang sudah ditetapkan bisa diturunkan.

“Karena kita memilih jalan negosiasi,  bernegosiasi dengan pemerintah Amerika dan hasilnya nanti akan disampaikan ke publik. Tetapi yang pasti bahwa materi-materi yang dibawa oleh para menteri ini sudah kita bahas sebelumnya,” ujar Faisol.

Ia menyebut pemerintah tak bisa menentukan waktu kapan negosiasi ini akan diputuskan dan bagaimana hasilnya. Yang pasti, pihak AS memperkirakan keputusan baru akan disampaikan di pertengahan Juni 2025, karena ada lebih dari 70 negara yang mengajukan negosiasi serupa dengan Indonesia.

“Tetapi kita minta agar bulan ini (April) semua untuk Indonesia bisa selesai,” kata dia.

Belum adanya ketentuan akhir soal tarif impor ke AS menimbulkan ketidakpastian khususnya di kalangan pengusaha dalam negeri. Wakil Ketua Umum Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Benny Soetrisno sendiri belum mengetahui sampai kapan ketidakpastian ini akan berlangsung.

Para narasumber: Sukidi, M. Misbakhun, Benny Soetrisno, BDM, dan Telisa Aulia Falianty berada di back stage Satu Meja The Forum (9/4/2025).

Kegamangan pun dirasakan oleh teman-teman pengusaha, konsumen maju-mundur dalam melakukan pembelian lantaran masih menunggu harga pasti yang harus mereka bayar. Perusahaan pun dibuat galau lantaran harus tetap memenuhi biaya operasional dan produksi yang ada, termasuk menggaji para pekerja.

“Pemerintah sudah jalan negosiasi, tapi negosiasinya kan baru dimulai, belum selesai. Harapannya, akhir bulan ada kepastian. Mungkin kepastian pertama bisa enggak diubah, kepastian kedua itu kita tunggu lagi nanti,” jelas Benny.

Di tengah ketidakpastian ini, Benny yakin teman-teman pengusaha akan tetap bisa bertahan menghadapi badai kebijakan tarif impor Trump ini.

Pada 6 April 2025, Presiden Prabowo menemui Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim salah satunya membahas kebijakan resiprokal Presiden Trump yang juga diberlakukan pada Malaysia.

Ketua Komisi XI DPR-RI M. Misbakhun melihat hal tersebut sebagai upaya baik yang harus didukung. Ini adalah upaya perlawanan yang dilakukan Indonesia, selain maju secara mandiri sebagai sebuah negara, Indonesia juga bergerak menggandeng negara-negara di kawasan sekitarnya untuk menghadapi AS secara kolektif.

“Paling tidak dengan regional yang bersatu itu memberikan posisi tawaran yang lebih kuat ketika berunding dengan Amerika,” ungkapnya.

Berbeda dengan Indonesia, dalam merespons kebijakan tarif resiprokal AS China dan Kanada justru melakukan perlawanan alias retaliasi.

Membaca kebijakan masing-masing negara dalam menanggapi kenaikan tarif impor AS, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Prof. Telisa Aulia Falianty melihat strategi yang diambil tiap negara pasti sudah didasarkan pada hasil telaah mendalam menggunakan basis data yang kuat dan komprehensif.

Adapun jalur yang dipilih Indonesia, negosiasi, menurutya sudah sangat tepat mengingat Indonesia bukan negara yang masuk dalam klasifikasi big open economy seperti China ataupun Kanada.

Dan dalam proses negosiasi dengan Amerika, Telisa berharap Indonesia akan benar-benar mencermati apa yang sebenarnya dimau oleh AS dan ajukan penawaran yang sesuai dengan itu. Tidak asal mengajukan penawaran yang konyol sehingga hanya berujung penolakan sebagaimana dialami Vietnam.

“Kalau kemarin Vietnam ternyata 0 (tarif impor yang diajukan) tapi ditolak, karena dia ingin tetap non tariff barrier-nya diperbaiki. Jadi kita harus betul-betul hati-hati dan cermat,” ucap Telisa.

Kita juga harus tanggap terhadap banyaknya keluhan soal rumitnya perizinan atau peraturan impor Indonesia yang selama ini menyulitkan negara-negara lain, termasuk Amerika Serikat.

Meski demikian, kecermatan tetap harus diterapkan, jangan kita memenuhi semua hal yang diminta oleh pihak AS terkait dengan kegiatan impor, tanpa memerhatikan kepentingan dalam negeri.

“Tidak semuanya itu kita berikan 100 persen apa yang mereka mau, karena apa, kita harus mempertahankan yang harus kita lindungi juga,” sebut Telisa.

Pemikir Kebhinekaan Sukidi sempat menulis artikel di Harian Kompas sebelum Trump mengumumkan kebijakan perdagangan yang kontroversial itu. Dalam artikel itu, Sukidi mengajak semua pimpinan untuk menyadari bahwa ada kemungkinan terburuk yang mungkin dialami Indonesia di waktu mendatang.

“Kemungkinan terburuk itu bukan datang dari antek asing, tapi justru dari musuh di dalam diri bangsa. Kita menyadari betapa sulitnya perjuangan kita melawan perilaku pemimpin yang korup. Dan korupsi ini buat saya adalah pembunuh utama ekonomi bangsa,” jelas Sukidi.

Jadi, permasalahan ekonomi itu juga ada di dalam tubuh negara bangsa kita sendiri. Negara ini harus dikembalikan fungsinya untuk melayani rakyat, bukan justru untuk bertindak jahat.

Kini, sistem yang berjalan di Indonesia menurut Sukidi sudah sedemikian rusak. Tingkat kerusakan yang demikian parah itu bahkan mampu membuat orang-orang baik yang ada di dalam sistem turut melakukan kejahatan. Inilah yang harus diperbaiki terlebih dahulu, karena ini juga sangat destruktif terdahap perekonomian negara.

Faisol Riza mencoba melihat permasalahan ini dalam kacamata yang lebih luas, baginya kebijakan resiprokal AS tidak hanya menghantam Indonesia, tapi seluruh dunia. Jadi bukan hanya Indonesia yang terdampak.

Di satu sisi, isu ini memang menjadi masalah, tapi di sisi lain para pebisnis juga pasti tetap bisa melihat adanya peluang yang terbuka.

“Kalau kita bicara soal trade balance misalnya, sebenarnya masalahnya enggak serumit itu, karena Amerika hanya menginginkan trade balance supaya kita bisa membelanjakan, misalnya surplus kita 18 bilion US dollar, untuk dibelanjakan barang baru dari Amerika, diimpor ke Indonesia,” sebut Faisol.

Lagi pula, Faisol menyebut tidak semua kategori produk dari Indonesia akan dikenakan kenaikan tarif impor. Ada kategori produk yang dikecualikan, misalnya produk-produk berbahan dasar kayu, tembaga, dan emas. Jadi inilah yang saat ini tengah dinegosiasikan kepada AS.

Hal lain, degan kebijakan tarif yang baru saja diterapkan Trump, Indonesia memiliki sejumlah keuntungan dan bisa mengisi slot-slot impor yang selama ini dipenuhi oleh negara lain.

“Peluang yang sekarang ada katakan untuk TPT (tekstil dan produk tekstil) sama alas kaki yang selama ini diisi oleh Vietnam, diisi oleh China, diisi oleh Bangladesh, Kamboja itu jadi peluang kita, karena tarif mereka jauh lebih tinggi. Dan kalau kita bisa menurunkan tarif itu maka ada kemungkinan relokasi pabrik atau perusahaan dari China atau dari negara-negara sekitar kita ke Indonesia, karena pertimbangan tarif bisa terjadi,” paparnya.

Misbakhun membenarkan penjelasan Faisol. Kesempatan baru justru akan didapatkan Indonesia karena tarif yang dikenakan terhadap Indonesia lebih rendah ketimbang negara-negara lain yang selama ini banyak memasok produk TPT-nya ke Amerika Serikat.

Misalnya pabrik-pabrik yang selama ini didirikan di Vietnam dan Kamboja, karena dianggap lebih murah dari segi upah tenaga kerja, kini para investor bisa lebih mempertimbangkan masuk ke Indonesia dengan alasan tarif impor yang lebih rendah dibandingkan negara pemasok produk serupa yang lainnya.

“Ini kan justru sebenarnya kesempatan, karena tarif yang dikenakan di Indonesia itu (lebih rendah). Jadi jangan sampai kita over reacted,” sebut Misbakhun.

Semangat optimisme yang digelorakan Misbakhun juga diamini oleh Telisa. Peluang memang tetap dimiliki oleh Indonesia. Telisa menjelaskan, selain tarif impor yang lebih murah dibandingkan dengan negara Asia lainnya, produk-produk Indonesia juga ada yang dikecualikan dari kenaikan tarif impor. Di situlah kita harus mengoptimalkan permainan.

“Seperti tembaga, semikonduktor, kayu itu dikecualikan. Itu kan berarti kita bisa bermain di yang dikecualikan itu, termasuk bullion, copper, dan lain sebagainya. Jadi masih ada peluang. Di tengah tantangan ada peluang,” kata Telisa.

Budiman Tanuredjo bersama seluruh narasumber Aatu meja The Forum (9/4/2025).

Namun di luar peluang yang ada, ketidakpastian tetap menjadi salah satu ongkos mahal yang harus dibayar oleh para pengusaha. Ketidakpastian membuat penjualan tertunda, minat konsumen menurun, kegamangan menentukan banyak-sedikitnya produksi, dan lain sebagainya.

Dari sisi keuangan, Telisa juga mengkhawatirkan ketidakpastian akan berpengaruh kepada volatilitas atau gejolak perubahan harga saham atau mata uang dalam periode waktu tertentu. Likuiditas dolar juga harus diwaspadai, bagaimana ketahanan cadangan devisa kita bisa menghadapinya.

Terakhir adalah soal besaran ekspor ke AS. Memang Amerika Serikat hanya menjadi tujuan ekspor Indonesia sekitar 11 persen, sisanya ke negara-negara lain di dunia.

Namun yang perlu diingat, AS kerap menjadi negara ketiga penerima ekspor Indonesia.

“Jadi kalau misalkan kita mengekspor ke China atau mengekspor ke Vietnam atau mengekspor ke Singapura, nanti Singapura ekspor lagi ke Amerika. Jadi kita jangan lupa ada indirect effect yang cukup besar,” sebut Telisa.

Di luar itu, Rupiah kian melemah dan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) jatuh. Itu adalah permasalahan di sektor riil yang juga harus diperbaiki.

“Jadi ada hal yang di sektor riil yang harus kita jaga optimismenya, tapi di sektor keuangan ada early warning yang kita jangan abaikan. Jadi artinya kita tetap optimis, tapi bukan berarti tidak waspada,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *