“….masalah perizinan yang berbelit-belit kan akhirnya ada instruksi untuk kita perizinan lebih dipermudah, transparansi lebih ditingkatkan… Supaya kita tidak hancur, kita harus melakukan perbaikan,”
โGuru Besar FEB UI Prof. Telisa Aulia Falianty
Kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan Presiden Amerika Serikat Donald Trump mengundang gejolak dunia internasional. Banyak negara di dunia yang perekonomiannya akan terdampak akibat kebijakan penyesuaian tarif impor AS itu, termasuk Indonesia.
Meski penerapannya ditunda 90 hari dari yang seharusnya mulai diterapkan per 9 April 2025, namun tarif impor ke AS untuk Indonesia sudah ditentukan, yakni 32 persen.
Ini tentu akan berdampak pada harga akhir produk-produk ekspor di Amerika Serikat. Harga yang melambung tinggi akan berkorelasi dengan menurunnya permintaan dari konsumen yang akhirnya akan melemahkan usaha di dalam negeri.

Pemikir Kebhinekaan Sukidi melihat kebijakan resiprokal adalah bentuk dari watak kepemimpinan otoriter seorang Donald Trump yang dibalut dengan populisme.
Menaikkan tarif impor dinarasikan sebagai bentuk keberpihakan Trump terhadap pelaku ekonomi dalam negerinya, namun itu hanya populisme palsu atau fraudulent populism.
Di sisi lain, Trump tengah mempraktikkan perilaku otoriter yang berpandangan seolah-olah ia adalah pemimpin dunia, bisa mendikte perekonomian global, dan tiap negara harus memohon-mohon padanya agar mendapat kemudahan.
“Jadi Trump sebenarnya menghidupkan neoimperalisme. Visi neoimperialisme yang ingin terlihat di mata dunia bahwa Trump lah pemimpin dunia dan kalian semua pemimpin dari dunia harus datang ke saya untuk melakukan negosiasi,” jelas Sukidi dalam Satu Meja The Forum KompasTV (9/4/2025).
Kebijakan itu akan memperberat permasalahan PHK di Indonesia. Tanpa ada kebijakan itu saja PHK sudah dan masih terus terjadi di berbagai perusahaan di dalam negeri. Apalagi jika kebijakan tarif impor baru itu diterapkan.
“Kita menghadapi satu pukulan ganda, PHK yang telah dan sedang berlangsung kemudian ditambah dengan kemungkinan PHK baru terhadap mereka yang bekerja di perusahaan-perusahaan yang kemungkinan besar akan menerapkan PHK,” kata Sukidi.
Kekhawatiran serupa juga disampaikan oleh Wakil Ketua Kamar Dagang Indonesia (Kadin) Benny Soetrisno. Ia mencemaskan nasib para pelaku usaha dalam negeri yang mau tidak mau harus mencari pangsa pasar baru, menggantikan pasar Amerika Serikat. Suka tidakk suka, penurunan permintaan dari Negeri Paman Sam itu pasti akan terjadi.
Padahal, mencari pasar baru bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Pasar biasanya terbentuk melalui proses yang panjang, melibatkan kepercayaan dan kedekatan yang lebih dalam antara pembeli dan penjual daripada sekadar urusan perdagangan.
“Kita kan mencari pembeli yang memang butuh kita dan kita butuh mereka, dan ini hubungannya hubungan panjang. Saya punya pembeli di Jerman dari tahun 87 sampai sekarang masih setia sama saya. Jadi panjang ceritanya hubungan itu, karena mereka juga melayani publik pembeli mereka yang setia,” ungkap Benny.

Saat ini tarif impor yang berlaku masih 10 persen, sementara tarif resiprokal 32 persen belum pasti diterapkan karena AS masih membuka pintu negosiasi. Pemerintah Indonesia pun mengirimkan 3 orang menteri, yakni Menko Perekonomian Airlangga Hartarto, Menteri Keuangan Sri Mulyani, dan Menteri Luar Negeri Sugiono ke Amerika Serikat. Sembari menunggu hasil negosiasi yang dilakukan pemerintah kita dengan pemerintah AS, maka para pelaku usaha kini berada di antara ketidakpastian.
Sekarang para pengusaha tidak tahu apa yang harus dilakukan, khususnya terkait dengan tenaga kerja yang mereka miliki. Apakah harus dikurangi atau dipertahankan.
“Kalau ordernya makin banyak kan kita harus nambah orang. Kalau ordernya sedikit kita ngurangin orang. Kalau ngurangin orang pun juga harus berpikir pesangon kan juga enggak murah. Aturan main pesangon ini di Indonesia paling mahal. Jadi kita untuk ngurangin itu juga agak sulit,” ujar Benny.
Wakil Komisi XI DPR-RI M. Misbakhun mengatakan ketidakpastian adalah sebuah keniscayaan. Yang paling penting, fundamental negara tidak goyang saat menghadapi situasi seperti ini.
Fundamental itu adalah nilai-nilai kebangsaan, kegotong-royongan, kekayaan sumber daya alam, dan sebagainya yang membuat segenap bangsa menyatu. Fundamental kita tidak goyang, dibuktikan dengan kebersamaan yang dibangun oleh Presiden dengan para pelaku dunia usaha. Tak hanya itu, Presiden juga mendengarkan dan mencatat apa yang disampaikan oleh para pengusaha.
“Salah satu permintaan yang sangat mendasar itu deregulasi. Jangan sampai kita kehilangan kendali, deregulasi oke, tapi jangan menjadikan bangsa besar yang penuh kebersamaan ini menjadi sangat liberal,” ungkap Misbakhun.
Liberalisasi hanya akan merusak nilai-nilai kebangsaan.
Menanggapi kekhawatiran yang ada, Wakil Menteri Perindustrian Faisol Riza menyebut pemerintah dalam hal ini Presiden Prabowo telah melakukan dialog langsung dengan para pelaku usaha dan segenap pemangku kepentingan industri dan perdagangan di Indonesia.
Presiden menekankan kondisi sulit ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, tapi semua negara. Presiden pun berkomitmen untuk tidak lagi membiarkan terjadinya PHK. Untuk itu, dukungan dari semua pihak sangat dibutuhkan.
“Bahkan Pak Presiden menerima usul untuk dibuat Satgas PHK dari serikat pekerja, bersama-sama bukan hanya serikat pekerja, tapi juga pemerintah, pengusaha, dan semua untuk masuk di dalam Satgas PHK itu,” kata Faisol.
Melalui dialog itu, Presiden berharap ada keterbukaan antara pemerintah dan pengusaha. Pengusaha memahami posisi pemerintah di dalam situasi ini dan apa yang akan pemerintah upayakan. Sehingga tidak terjadi kesalahpahaman.
Teman-teman pengusaha juga bisa menyampaikan kegamangannya terkait kondisi yang serba tidak pasti seperti sekarang ini. Soal potensi pasar yang mungkin hilang, maka diusulkan untuk melakukan diversifikasi pasar, misalnya di Eropa dan Afrika. Sementara soal non-tariff barriers, jika sudah terselesaikan maka perjanjian Indonesia-European Union Comprehensive Partnership Agreement (IEU-CEPA) bisa segera ditandatangani.
“Bulan April ini akan ada delegasi dari Parlemen Eropa untuk menindaklanjuti IEU-CEPA dan saya kira itu bisa menjadi pertemuan terakhir sebelum kita menandatangani IEU-CEPA. Itu peluang yang besar,” ungkapnya.
Memang Presiden Prabowo telah menemui para pelaku usaha, namun bagi Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Prof. Telisa Aulia Falianty hal itu belum cukup dan perlu tindak lanjut yang lebih jauh.
Sebagai langkah awal, itu merupakan hal baik yang menunjukkan adanya kebersamaan dalam menghadapi tantangan. Jadi, pemerintah tidak memutuskan langkah yang diambil secara otoriter tanpa mendengar suara-suara dari para pengusaha yang terlibat langsung di lapangan.
Di sisi lain, adanya kebijakan resiprokal dari Trump ini menurut Telisa menjadi momen perbaikan diri bagi Indonesia. Misalnya mempermudah alur atau birokrasi impor dari Amerika Serikat yang selama ini dinilai rumit dan menyulitkan sebagaimana tercantum dalam dokumen Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR).
Ada 11 poin yang diuraikan dalam dokumen tersebut terkait hal-hal yang menyulitkan Amerika Serikat mengekspor produknya ke Indonesia.
“Benar enggak sih, kan belum tentu semuanya benar. Tapi mungkin ada yang benar, tadi masalah perizinan yang berbelit-belit kan akhirnya ada instruksi untuk kita perizinan lebih dipermudah, transparansi lebih ditingkatkan. Jadi menurut saya ini ada peluang, ada tantangan,” jelas Telisa.
Perang dagang yang terjadi saat ini jauh lebih kompleks dari yang sebelumnya. Tidak hanya Amerika Serikat dan China yang terlibat di dalamnya, namun banyak negara dunia. Ditambah lagi dengan karakter Presiden AS saat ini yang otoriter dan kerap membuat gebrakan kebijakan.
Oleh karena itu, Indonesia harus lebih aktif mencari pasar baru, memperbaiki peraturan, dan yang juga penting adalah menurunkan tingkat korupsi.
“Kalau kita tidak mau ya kita menuju kehancuran. Supaya kita tidak hancur, kita harus melakukan perbaikan,” tegas Telisa.
Sepakat mengenai rumitnya perizinan dan birokrasi yang saat ini berlaku, pemerintah bertekad untuk terus melakukan dialog dan mencari jalan keluar bersama, sehingga hasil yang didapat nantinya bukan semata-mata berasal dari kacamata pemerintah semata, tapi juga dari sudut pandang pelaku usaha.
“Pemerintah akan terus-menerus melakukan komunikasi, dialog dengan seluruh teman-teman para pelaku usaha menemukan jalan keluar baru. Misalnya apa yang menjadi keluhan, termasuk yang selama ini ada, panjangnya mata rantai birokrasi pemerintah sudah berkomitmen untuk melakukan deregulasi. Seperti juga yang diinginkan oleh para pelaku usaha dari Amerika dan oleh Trump,” jelas Wamenperin Faisol.
Terlepas dari apapun yang tengah diupayakan oleh pemerintah, kepastian benar-benar menjadi hal yang diharapkan oleh para pengusaha sekarang ini. Kepastian menjadi patokan yang sangat dibutuhkan dalam menjalankan usaha.
“Kemarin saya juga hadir di dalam sarasehan, pemerintah sudah lakukan mencari kepastian itu. Kepastian kapan datangnya, itu kita harapkan semakin cepat semakin baik,” ujar Benny mewakili suara kelompok pengusaha.

Dalam kondisi sekarang, Telisa mengatakan tugas kita semua adalah memperkuat diri, memperkuat fondasi sebagaimana disebutkan Misbakhun sebelumnya. Hal ini karena guncangan yang terjadi semakin kuat, kompleksitas kian meningkat.
“Fundamental itu harus kuat banget, termasuk ketahanan nasional. Resiliensi itu harus kita bangun dengan sumber daya alam yang kita miliki, budaya, tadi gotong-royong, social capital kita yang tinggi,” jelas Telisa.
Hal lain yang bisa dilakukan adalah menggencarkan kembali kampanye cinta produk dalam negeri. Bagi Telisa, jika produk lokal menang di pasar dalam negeri, serangan impor semasif apapun tak akan bisa menggoyang perekonomian domestik.
Dinamika perekonomian global yang seperti ini juga tak pelak menghantam masyarakat Indonesia khususnya mereka yang berada di kelas menengah dan bawah. PHK jamak, pekerjaan sulit didapat, UMKM sebagai roda penggerak perekonomian rakyat, berjalan lesu, sementara harga-harga kebutuhan hidup terus meningkat. Di sinilah seharusnya pemerintah menghidupkan kepekaannya.
Sukidi melihat efisiensi yang dilakukan justru merusak situasi masyarakat yang tengah dihimpit kesulitan ekonomi. Ia pun menyarankan pemerintah menggelontorkan bantuan sosial untuk menopang kehidupan rakyat, khususnya kelas menengah yang saat ini ada di tengah kesulitan. Ini waktu yang tepat.
“Proteksi ekonomi itu terutama memberikan bantuan langsung tunai yang hari-hari ini justru dibutuhkan, itu pertanda pemerintah hadir untuk memberikan proteksi kelas menengah dan bawah. Bukan bantuan langsung tunai yang hadir menjelang Pilpres dan saat Pilpres, tapi justru di saat ekonomi sedang terpuruk seperti ini pemerintah harus hadir, spending,” kata Sukidi.
“Karena yang menjadi mesin pertumbuhan ekonomi hari-hari ini justru adalah pemerintah,” imbuhnya.
Leave a Reply