Tak Minat jadi Tentara, Nasib Membawa Chappy Hakim Jadi KSAU dan Terbangkan Presiden Soeharto Sekeluarga

“Saya itu enggak kepengin jadi tentara, sama sekali. Ibu saya itu paling marah kalau anaknya jadi tentara…”

โ€” KSAU 2002-2005 Marsekal TNI Chappy Hakim

Nama Chappy Hakim tentu tak lagi asing ditelinga. Pria kelahiran Yogyakarta, 17 Desember 1947 ini merupakan perwira TNI dari matra udara yang pernah menduduki jabatan sebagai Kepala Staf TNI Angkatan Udara (KSAU) di tahun 2002-2005.

Di usianya yang sudah menginjak 77 tahun, Chappy masih aktif dengan beragam kegiatannya di luar dunia militer, salah satunya adalah menulis dan menjadi pembicara untuk membagikan ilmu dan pengalamannya di berbagai kesempatan.

Purnatugas dengan pangkat tertinggi di matranya, Marsekal TNI, Chappy ternyata tak pernah bermimpi untuk bisa jadi seorang perwira tinggi tentara. Jangankan bermimpi, ingin saja tidak. Hal itu ia ceritakan saat berbincang dengan Budiman Tanuredjo di siniar Back to BDM.

“Saya itu enggak kepengin jadi tentara, sama sekali. Ibu saya itu paling marah kalau anaknya jadi tentara. Tentara itu kasar kata ibu saya. Orang (era) perjuangan itu tahu kalau tentara itu kasar. Dan saya juga enggak kepingin jadi tentara,” kata Chappy.

Nasiblah yang membawanya masuk ke dunia militer. Ia menceritakan, semua itu berawal dari pesan sang ayah yang tak lagi sanggup membiayai kebutuhan pendidikannya selepas tamat SMA lantaran sudah memasuki usia pensiun dan masih ada adik-adik Chappy yang harus dibiayai sekolahnya.

Atas dasar itu, Chappy kemudian berniat mencari pendidikan akademi yang sesuai dengan minatnya di bidang penerbangan. Ia memang menyukai dunia itu. Mendaftarlah Chappy ke Akademi Penerbangan Indonesia (API) Curug, Banten.

“Saya daftar itu. Banyak sekali yang daftar, dan saya lulus, tetapi harus nunggu 3 bulan karena waktu itu enggak ada biaya, enggak ada dana, tahun 66 kan lagi kacau,” kisahnya.

Di tengah masa menunggu itu, Chappy mencoba beragam peruntungan demi mendapatkan tambahan biaya. Mulai dari tukang solder hingga menjadi office boy (OB) di Radio Republik Indonesia (RRI).

Pengalaman kerja serabutan itu ia ceritakan dengan penuh bangga dan bahagia di ruang tamu BDM.

“Jadi tukang solder lah. Saya belajar nyolder. Terus saya dibantu sama ayah saya juga ke RRI. Ada temennya di RRI, saya tukang bawa piringan hitam kalau siaran, OB lah. Tp lumayan ada pengalaman di RRI,” jelas Chappy.

Chappy Hakim berbincang bersama Budiman Tanuredjo dalam Back to BDM.

Masih di masa menunggu itu, Chappy kemudian diajak oleh karibnya semasa SMA untuk mendaftar di Akabri Udara (TNI AU). Sempat menolak karena alasan biaya, Chappy akhirnya ikut mendaftar karena ternyata prosesnya gratis dan masih berhubungan dengan dunia penerbangan yang ia sukai.

Niat awal hanya ikut menemani sang kawan mencoba peruntungan, nasib justru menarik Chappy untuk turut mendaftar hingga akhirnya dinyatakan lolos seleksi.

“Pada waktu Akabri Udara ini saya diajak dia, gue nemenin lo aja ya, tahu-tahu pendaftaran itu enggak bayar, di Tanah Abang itu, jadi ambil formulir, karna dilihat saya datang ya dia bagi juga (formulir pendaftaran). Saya ikut aja, kan enggak bayar. Ikut, lulus lulus lulus, akhirnya saya lulus, eh temen saya enggak lulus,” kisahnya.

Setelah dinyatakan lulus, Chappy pun berangkat ke Magelang, Jawa Tengah untuk menjalani masa penempaan selama satu tahun.

Selama masa pendidikan itu, ia mengaku layaknya “diblender” hingga hancur lebur.

“Jadi temen saya mau daftar lagi kan, jangan, jangan, saya enggak tega lihatnya,” ujar dia sambil tertawa.

Pengalaman Terbangkan Soeharto dan Keluarga

Kariernya yang gemilang menjadikannya sebagai salah satu penerbang terbaik yang dimiliki oleh TNI AU. Chappy pun menjadi salah satu Pilot VVIP yang memenuhi klasifikasi untuk menerbangkan Presiden.

Ketika itu, mertua dari Presiden Soeharto meninggal dunia di Jakarta dan harus diterbangkan ke Solo untuk dimakamkan di sana.

Chappy menjadi salah satu dari 6 atau 7 pilot yang disiapkan saat itu, namun statusnya sebagai cadangan atau reserved. Meski cadangan, ternyata pesawat yang ia bawa menjadi tipe pesawat yang dipilih oleh Soeharto dan keluarga.

“Kebetulan pesawat yang kabinnya didesain membawa presiden itu ada 2, Herkules 1341 yang satu lagi 1314. 1341 itu lebih lux lebih private, yang 1314 lebih terbuka. Last minute yang ditentukan pesawat saya. Kenapa pesawat saya? Karena bapak Presiden dan keluarga ingin satu pesawat dengan jenazah, peti matinya itu harus sama-sama keluarga dekat beliau, ya hanya pesawat saya yang bisa mengakomodir keinginan itu. Jadilah saya ketiban pulung,” ungkap Chappy.

Ia mengaku sangat berhati-hati selama menerbangkan pesawat itu. Bukan hanya berisi Presiden dan keluarga inti presiden, ia juga mengangkut jenazah dari mertua Presiden. Ada guyonan dari teman yang ia ingat, jangan sampai nabrak, kalau kecelakaan nanti mati dua kali.

BDM menyerahkan buku karyanya pada Chappy Hakim.

Dalam pesawat itu tak ada pasukan pengaman presiden, asisten, dan sebagainya. Hanya Presiden dan keluarga, karena ukuran pesawat yang tidak besar ditambah ada peti jenazah yang ikut diangkut dalam penerbangan yang sama.

“Saya bukan kali itu saja terbangin Pak Harto, tapi Pak Harto dengan keluarganya dan peti jenazah dan suasana pada waktu itu kan hening, lingkungan yang mengerikan, ketegangan yang sangat luar biasa. Tau-tau saya harus bawa ini. Waduh, akhirnya saya berusaha sebaik mungkin, pelan-pelan,” ungkapnya.

Setibanya di Solo, pimpinan saat itu Benny Moerdani menanyakan pada Chappy mengapa ia memutar pesawat sampai Selat Sunda saat berangkat dari Jakarta.

Chappy pun menyebut semua itu dilakukan atas dasar kehati-hatian ekstra, karena penumpang yang ia bawa di luar kata biasa. Kehati-hatian itu ia pertahankan sampai pada tahap pendaratan pesawat atau landing.

“Sampai mau landing, saya lihat dulu, udah bejibun orang di landasan itu, di aerodome di airport itu, waduh ati-ati,” celetuknya.

Chapy bertekad ingin mendaratkan pesawat semulus mungkin, agar Presiden dan keluarga tidak mengalami goncangan yang mengganggu. Yang menjadi masalah saat itu adalah ia tidak mengetahui berapa berat pesawat dan total bawaan yang ia angkut.

Padahal, data itu sangat penting untuk menentukan kecepatan pendaratan yang harus ia ambil. Kecepatan pendaratan ditentukan oleh berat pesawat, jika menginginkan pendaratan yang paripurna.

“Saya yakin jauh dari overload, jauh dari maksimum, kecil lah. Tapi harus dihitung, bagaimana caranya. Akhirnya load master saya, enginer saya itu orang-orang yang berpengalaman, kira-kira segini. Kita harus lihat di manual, kalau berat pesawatnya, landing weight namanya, sekian, kita waktu approach, waktu mendarat itu speed-nya harus sekian. Itulah saya pertahankan mati-matian supaya bagus, supaya smooth, setengah mati,” ia menceritakan.

“Sampai saya enggak sadar pesawat itu landing, touch-nya enggak berasa, tahu-tahu sudah touch saja, karena ketegangan saya sendiri. Itu dingin tapi kringat kaya jagung,” lanjut Chappy.

Penerbangan itu diakhiri dengan datangnya titipan pertanyaan dari Ibu Negara ketika itu, Ibu Tien Soeharto. Saat pendaratan menuju proses taxi, Ibu Tien bertanya apakah sudah mendarat atau belum.

Chappy memahami mengapa pertanyaan itu bisa terlontar dari mulut Ibu Tien, karena ia membawa pesawat dengan begitu pelan, hati-hati, dan banyak perhitungan.

“Bikin jengkel juga yang nungguin, karena saya pelan sekali kan. Dan memang taxi itu patokannya adalah walking speed, jadi enggak boleh lebih kenceng dari kecepatan orang jalan kaki, apalagi ada jenazah. Itu yang sangat mengesankan sepanjang hidup saya,” pungkasnya.


Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *